Minggu, November 23, 2008

Pernikahan Yang Berhasil

I. PERINGATAN KEPADA SUAMI-ISTERI

Dalam Alkitab kita belajar bahwa Allah hanya menciptakan dua buah lembaga dalam dunia ini. Yang pertama adalah lembaga keluarga dan yang kedua adalah lembaga gereja. Pada waktu menciptakan kedua lembaga ini Allah menyatakan kehendaknya dan memberikan peraturannya agar kedua lembaga ini berjalan sesuai dengan rencana-Nya ini. Di samping menyatakan kehendak dan memberikan aturan-Nya, Allah juga menganugerahkan Roh Kudus-Nya yang memberi kuasa dan kemampuan (empowering) kepada manusia untuk menjalankan kedua lembaga itu sebaik-baiknya.
Karena Allah sangat mencintai manusia dan menetapkan lembaga-lembaga ini untuk pemeliharaan manusia (baik secara jasmani maupun secara rohani), Ia juga memberi peringatan-peringatan-Nya agar manusia tidak merusak kedua lembaga ini. Kita akan melihat beberapa contoh peringatan-Nya kepada manusia, baik kepada suami maupun kepada isteri.

Peringatan Kepada Suami:
Maleakhi 2:13-16 Dan inilah yang kedua yang kamu lakukan; Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan, oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya: "Oleh karena apa?" Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!
Pada ayat-ayat dalam Maleakhi di atas digambarkan perlakuan dan hukuman yang diberikan Allah kepada suami-suami yang melanggar kehendak-Nya. Suami-suami biasanya sukar menangis. Di sini tampak seorang suami yang menangis, meratap dan merintih sedemikian rupa hingga airmatanya membasahi dan menutupi mezbah Tuhan. Mengapa hal itu sampai terjadi? Dijawab: Karena Tuhan tidak mau lagi menerima persembahan mereka. Ia bahkan tidak mau berpaling atau menoleh kepada persembahan itu.
Ketika ditanyakan penyebabnya, Allah menjawab bahwa Ia menyaksikan sendiri pernikahan suami itu dengan isterinya. Ia melihat bahwa suami itu telah tidak setia kepada isterinya.
Biasanya pada suatu upacara pernikahan kita melihat seorang suami dan isteri yang baru menikah menanda-tangani surat pernikahan mereka. Pendeta yang menikahkan mereka juga ikut menanda-tangani surat itu, demikian juga dua orang saksi. Dari ayat-ayat di atas kita membaca bahwa pada saat pernikahan sepasang muda-mudi, Allah sendiri menjadi saksi (acting as a witness). Ia menjadi saksi walaupun tidak tampak membubuhkan tanda tangan-Nya!
Peringatan Allah ini juga berlaku bagi para suami masa kini. Pada waktu menikah kita mengucapkan janji nikah yang antara lain berbunyi demikian:
“... aku akan memeliharamu dalam keadaan susah dan senang, kaya dan miskin, sakit dan sehat, meninggalkan semuanya dan setia kepadamu sampai maut menceraikan kita ...”
Janji nikah ini dengan jelas menyatakan bahwa kita akan setia kepada isteri kita sampai salah satu mati, sampai diceraikan oleh maut.
Ternyata janji ini sering sudah kita langgar. Kita sudah tidak setia kepada isteri masa muda kita (isteri yang kita dapatkan pada waktu kita masih muda, 25, 27 atau 30 tahun, misalnya). Karena pelanggaran terhadap janji ini Allah tidak mau menerima persembahan kita yang menyebabkan kita menangis parah.
Mungkin kita berkata bahwa pada waktu menikah dulu kita belum seorang Kristen hingga tidak mengucapkan janji nikah seperti di atas. Mungkin memang tidak, tetapi sejak menjadi seorang Kristen kita telah banyak menyaksikan upacara pemberkatan nikah di gereja dan mendengar janji itu diucapkan. Janji nikah itu dibuat berdasarkan kehendak Allah dan berlaku untuk tiap pasangan suami-isteri. Kesetiaan dan kasih antara suami-isteri dalam pernikahan merupakan kehendak Allah bahkan juga untuk tiap pasang suami-isteri yang bukan Kristen! Pengkhianatan dalam pernikahan sangat tidak dikehendaki Allah.
Dalam ayat-ayat di atas dengan tegas Allah juga menyatakan sikapnya terhadap perceraian: “Aku membenci perceraian.” Karena sikap Allah terhadap perceraian yang seperti inilah maka Gereja juga selayaknya membenci perceraian. Gereja tidak pernah dibenarkan menganjurkan perceraian sebagai jalan keluar untuk mengatasi konflik dalam pernikahan. Sebagai suami-isteri kita juga sebaiknya tidak gampang mengeluarkan kata-kata, “Kalau begitu kita cerai saja” dan tidak menggunakan cerai sebagai ultimatum.
Ayat-ayat di atas juga menyatakan bahwa Allah membenci orang yang “menutupi pakaiannya dengan kekerasan.” Allah tidak menghendaki seorang suami menggunakan kekerasan (main tampar, main pukul) terhadap isteri dan anak-anaknya.
Apakah Allah serius dengan peringatan-Nya dalam perikop di atas? Apa celakanya, apa ruginya kalau Allah tidak mau menerima persembahan kita?
Dalam I Petrus 3:7 Allah juga memberi peringatan yang serupa:
Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.
Tampak di sini satu lagi peringatan Allah kepada kita para suami. Kita diperintahkan untuk hidup bijaksana dan menghormati isteri kita yang adalah “kaum yang lebih lemah” (pukulan dan tamparan suami biasanya lebih keras daripada tamparan isteri karena memang suami lebih berotot daripada isteri).
Justru untuk isteri yang lebih lemah inilah Allah memberikan suatu perlindungan khusus. Ia memberi peringatan yang keras terhadap para suami yang memperlakukan isterinya dengan sewenang-wenang, melecehkannya serta tidak menghormatinya: SUPAYA DOAMU JANGAN TERHALANG. Bila kita melanggar peringatan Allah ini, Ia tidak akan mendengar doa kita. Doa kita seakan-akan hanya mengenai plafon rumah kita dan kemudian terpantul kembali ke bawah.
Seriuskah peringatan Allah ini? Bersungguh-sungguhkah Allah ketika memperingatkan seperti ini?
Suatu ketika sepasang suami-isteri muda datang kepada penulis untuk konseling. Mereka belum lama menikah (mungkin baru lima tahun). Putri mereka yang kecil baru berumur kira-kira dua tahun. Mereka mempunyai sebuah perusahaan yang tidak begitu besar tetapi juga tidak terlalu kecil. Dari pembicaraan tampak bahwa sang suami mempunyai kebiasaan suka mengkritik isterinya. Isterinya selalu dipersalahkannya untuk apapun yang tidak memuaskannya dalam rumah tangga. Putri mereka yang masih kecil itu sering pilek atau batuk, tetapi tiap kali batuk isterinya selalu kena makiannya dan sekali-kali tangannya melayang menampar. Bila sudah agak sore dan putrinya belum mandi, sang isteri kena marah lagi, walau sang suami sendiri tidak mau ikut turun tangan memandikan anak mereka.
Tentunya menikah dengan suami seperti ini tidak akan membawa kebahagiaan. Kapan isterinya merasa tenang? Bila suaminya pergi bekerja pukul delapan pagi. Pada waktu itu sang isteri bisa menikmati kaset-kaset rohani. Tetapi bila waktu telah mendekati pukul lima sore, ia mulai cemas. Setelah suaminya pulang ia merasa takut karena akan kena marah lagi.
Mendengar penjelasan mereka seperti ini penulis membuka ayat-ayat di atas untuk memperingatkan sang suami. Bila ia tidak mau berubah dengan memperlakukan isterinya secara bijaksana, menghormatinya serta menanggalkan “pakaian kekerasannya,” Allah tidak akan mau mendengarkan doa-doa dan permintaannya. Jawab suami itu, “Ya, ya, saya akan coba.”
Tidak lama setelah itu, hanya beberapa hari sesudahnya, suatu malam penulis menerima telepon dari suami ini. Nadanya menandakan kecemasan. Ia berkata, “Tolong bapak pendeta berdoa untuk usaha saya. Tangan kanan saya, orang yang saya percayai pada saat ini, sedang kabur. Ia pergi dengan membawa uang perusahaan saya sebesar hampir tiga ratus juta rupiah. Tolong bantu doa agar ia kembali atau ditemukan.” Bagi penulis, uang sejumlah itu besar sekali, bagi suami ini, tiga ratus juta merupakan jumlah yang cukup besar. Apa yang harus penulis lakukan mengenai permintaan doa ini? Sebagai pendeta, penulis mendoakan kasus ini melalui telepon.
Beberapa hari setelah itu, suami ini menelepon lagi. Ia mengatakan bahwa orang kepercayaannya itu benar-benar menghilang. Tempat pemondokannya telah kosong dan ia pergi tanpa memberi tahu alamat barunya. Suami ini berkata, “Tiap bulan saja bunga yang harus saya bayar di bank cukup besar. Sekarang saya kehilangan hampir 300 juta dan tiap bulan saya harus tetap membayar bunga untuk 300 juta ini ...”
Seriuskah Allah dengan peringatan-Nya? Tentu saja! Walaupun seorang pendeta membantu seorang yang melanggar firman-Nya dengan berdoa, firman itu (supaya doamu jangan terhalang) akan tetap digenapi. Allah tidak akan membatalkan kehendak-Nya hanya karena seorang pendeta membantu berdoa sedangkan suami ini masih tetap dengan pola hidupnya yang tidak menghormati isterinya dan memperlakukan isterinya secara sewenang-wenang. Segala doa seorang suami tetap tidak akan didengar Allah selama ia tetap melanggar firman Allah! Ia akan menjadi makanan empuk bagi orang-orang yang berniat menipunya. Allah tidak akan melindunginya.
Terhadap seorang yang mencengkeram orang lain (misalnya suami terhadap isteri), apa yang harus dilakukan Allah untuk melepaskan cengkraman seperti itu? Apa yang akan dilakukan seorang bapak bila anak lelakinya yang besar menarik-narik rambut adik perempuannya serta tidak mau melepaskannya walaupun adik itu telah menangis?
Suatu ketika seorang bapak mendatangi penulis setelah penulis berkhotbah tentang hal di atas. Ia menanyakan apa yang harus dilakukan Allah untuk melepaskan cengkraman suami terhadap isterinya seperti itu? Penulis menanyakan balik, kira-kira apa yang harus dilakukan Allah dan apakah ia mempunyai pengalaman dalam hal itu.
Bapak ini kemudian menceritakan kasusnya sendiri. Ia mengakui bahwa ia dahulu juga adalah seorang suami yang kasar dan selalu mempersalahkan dan mengkritik isterinya. Walau ia sudah seorang Kristen, entah mengapa ia selalu suka marah-marah terhadap isterinya. Ia selalu menekan isterinya. Isterinya banyak mengalami stres. Apapun yang dilakukan isterinya selalu dicelanya.
Pada waktu itu ia adalah seorang yang sangat kaya. Usahanya ialah jual-beli emas, bukannya membuka toko emas, tetapi melihat harga emas dan melakukan transaksi, kadang-kadang hanya melalui telepon atau surat saja.
Oleh Allah ia dibiarkan sampai bangkrut. Semua uangnya habis. Setelah semua miliknya dijual, ia masih mempunyai hutang yang besar, sampai mendekati setengah milyar rupiah. Ia dan keluarganya terpaksa harus kontrak sebuah rumah kecil. Ia hanya berdiam diri di kamar di belakang. Ia takut keluar rumah karena takut dikejar para kreditornya atau tukang pukul mereka. Bila telepon berdering, ia menjadi berdebar-debar karena takut dimaki-maki orang yang tidak dapat dibayar kembali hutangnya.
Karena dulu kaya sekali dan setelah itu jatuh dalam hutang yang besar, hatinya terasa sakit sekali. Kalau sakitnya tidak tertahankan, ia membentur-benturkan kepalanya di tembok hingga berdarah. Bagi seorang normal tentunya hal itu tampak sebagai tindakan yang aneh dan bodoh tetapi ia mengatakan bahwa walaupun kepalanya sakit, rasa sakit di hatinya jauh melebihi sakit di kepalanya dan untuk meringankan rasa sakit di hati, ia membenturkan kepalanya itu. Suatu saat, ia bercerita, ia melihat sebuah obeng di meja. Ia berpikir, betapa enaknya kalau ia berani mengambil obeng itu dan menusuk jantungnya sendiri. Ia sudah sering memikirkan untuk bunuh diri karena rasa sakit dan hilangnya harga diri yang begitu parah.
Ia tentunya tidak sampai bunuh diri. Allah akhirnya menolongnya. Ketika bertemu dengan penulis, ia adalah seorang yang biasa saja, tidak kaya.
Memang Allah serius sekali memberikan peringatan-Nya dan kita akan babak belur bila ingin melawan Allah yang mengasihi kita dan menginginkan kita menjadi seperti Anak-Nya, Yesus Kristus. Tindakan pasif Allah seperti dalam kasus pertama di atas (Allah berdiam diri dan tidak mendengar doa kita) sudah parah sekali akibatnya bagi kita. Apalagi bila Allah aktif mendisiplin kita dengan menghajar dan menyesah kita (karena cinta-Nya pada kita juga) seperti dalam Ibrani 12:5-11.
Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih oleh-Nya.

Peringatan Kepada Isteri:
Tetapi tidak semua isteri lebih lemah dibandingkan suaminya. Banyak juga isteri yang lebih kuat daripada suaminya. Ada juga isteri-isteri yang kecil mungil tetapi mempunyai mulut yang begitu tajam sehingga menundukkan suaminya. Suaminya mungkin tinggi besar dan galak di perusahaannya tetapi begitu sampai di rumah ia menjadi lemah, tidak berdaya dan merasa kecil di hadapan isterinya.
Suatu ketika seorang ibu yang bertubuh besar datang ke kantor penulis untuk konsultasi (untuk memudahkan pembahasan dalam buku ini, penulis memberi nama secara acak saja: ibu Tulus). Mendengar percakapannya sebentar saja penulis sudah tahu bahwa ia sangat dominan. Suaranya keras dan ia tidak segan-segan menggunakan kata-kata makian. Ia marah kepada suaminya yang telah mengkhianatinya dengan mempunyai seorang isteri muda. “Saya baru tahu saya sudah kecolongan selama dua tahun. Ia bahkan sudah mempunyai anak dengan perempuan itu.”
Setelah mendengarkannya cukup lama dan ia mulai reda emosinya, penulis bertanya, “Apa andil ibu hingga suami kabur seperti ini?”
“Ya tidak tahu. Suami saya orangnya sangat lemah. Kalau di rumah ia seperti tikus. Ia tidak bisa mengambil keputusan, diam saja. Itu sebabnya saya bisa sampai kecolongan selama dua tahun ini. Saya tidak menyangka ia berani dengan perempuan lain.”
“Mungkin suami ibu seorang yang lemah, tetapi pertanyaan saya tetap: ‘Apa andil ibu hingga suami kabur seperti ini?’ ”
“Tidak tahu. Tetapi bukankah ia hidup dalam perzinahan? Bukankah ia hidup dalam dosa? Memang ia dulu sering ke gereja, tetapi akhir-akhir ini ia tidak mau lagi.” Ibu ini mengomel lagi.
“Memang suami ibu mungkin hidup dalam perzinahan, dalam dosa dan tidak diperkenan Allah, tetapi pertanyaan saya tetap: ‘Apa andil ibu hingga suami kabur seperti itu?’ ” “Yah, saya tidak tahu.”
“Oke, kalau memang tidak tahu, lain kali bila ibu datang ke sini, tolong bawa salah seorang anak ibu. Saya akan menanyakan beberapa hal kepadanya.”
Pada saat pertemuan berikutnya, ibu Tulus benar-benar membawa anaknya perempuan berusia kira-kira 12 tahun. Penulis meminta ibu ini keluar meninggalkan kami berdua. Ternyata anak ini berani berbicara. Ketika ditanyakan kira-kira mengapa sampai ayahnya kabur seperti itu, ia menjawab, “Wah, payah oom. Kalau saya jadi papa, saya sudah kabur dulu-dulu.”
“Mengapa begitu. Bagaimana hubungan papa dan mama?”
“Susah, oom. Di rumah, Mama kalau panggil papa ‘si bego, si bego.’ Mama cerewet sekali orangnya”
Mendengar dua jawaban di atas, tentunya kita sudah dapat menduga bagaimana kira-kira hubungan antara ibu ini dengan suaminya. Tampak jelas bahwa sang isteri lebih dominan dari suaminya. Kita juga dapat memperkirakan kehendak Allah yang mana yang dilanggar dalam pernikahan ini hingga terjadi hubungan yang buruk seperti itu.
Setelah anak itu keluar dan ibu Tulus masuk kembali, penulis menanyakan lagi pertanyaan yang sama: Apa andil ibu ini hingga suaminya kabur seperti itu. Tentunya ia juga sudah memikirkan jawabannya selama ini. Ia menjawab, “Jangan-jangan saya terlalu galak.”
“Ya, ibu suka memaki suami, bego-begoin dia? Selalu membuat ia stres, tertekan dan kehilangan harga dirinya sebagai lelaki?” Ia mengangguk.
Penulis kemudian membayangkan hubungan mereka seperti ini, “Bila sebelah kiri saya adalah ibu, saya adalah bapak. Hubungan ibu dan bapak adalah hubungan yang resmi, yang legal, yang direstui jemaat dan hubungan yang dikehendaki Allah. Bahkan mereka yang di luar jemaatpun tahu bahwa hubungan ini yang baik.
Sebaliknya di sebelah kanan saya adalah si isteri muda. Hubungan bapak dan isteri mudanya bukanlah hubungan yang direstui, baik oleh jemaat Tuhan, maupun oleh Tuhan. Bahkan orang di luar jemaatpun tahu hubungan ini adalah hubungan yang tidak dapat dibenarkan. Bila bapak membutuhkan sesuatu, tentunya seharusnya ia berpaling ke kiri, ke isterinya. Tetapi mengapa ia malah berpaling ke kanan? Apa yang ada pada ibu yang tidak ada pada isteri mudanya, sebaliknya apa yang ada pada isteri muda itu yang tidak ada pada ibu?”
Ibu Tulus menjawab lagi, “Mungkin saya terlalu galak, ya?”
Penulis meneruskan, “Pengalaman apa yang didapat bapak bila ia pergi ke kiri, kepada isterinya, untuk mendapatkan kebutuhannya? Menyakitkan atau menyenangkan?”
“Menyakitkan,” jawabnya.
“Mungkin ia baru berbicara satu kalimat, ibu sudah memberondongnya dengan sepuluh kalimat, ditambah dengan kata-kata kasar pula. Sebaliknya apa pengalamannya bila ia pergi ke rumah isteri mudanya? Mungkin ia akan mendapat kopi dan pisang goreng. Ia akan mendengar kata-kata manis dan sanjungan. Mungkin juga (maaf, tetapi ini realita) ia mendapat paha, kepalanya di elus-elus dan ubannya dicabuti dengan kasih sayang. Bila ini situasinya, mana yang ia pilih, mendekati isteri tuanya atau isteri mudanya?” Ibu ini diam.
Adalah suatu fakta bahwa makhluk hidup biasanya akan menghindari pengalaman yang menyakitkan atau mematikan dan mengulang pengalaman yang indah dan menyenangkan. Bahkan pada binatang yang jauh lebih rendah dari manusiapun, seperti cacing atau tikus, sudah ada naluri itu. Contohnya sebuah percobaan dengan tikus:
Kita masukkan seekor tikus ke dalam sebuah sangkar kawat yang sudah dihubungkan dengan sebuah kabel ke sumber aliran listrik. Aliran yang diberikan kecil saja dan tidak mematikan tetapi agak menyakitkan dan tidak enak bagi tikus tersebut. Kita kemudian menyalakan sebuah lampu merah dan beberapa detik kemudian listrik dinyalakan pula. Tikus yang kesakitan itu akan melompat-lompat dalam sangkarnya tetapi tidak dapat melarikan diri. Di salah satu sisi sangkar itu kita letakkan sebuah papan kayu kecil. Bila secara tidak sengaja tikus itu melompat ke atas papan itu, ia tidak merasa sakit lagi.
Lampu kemudian dimatikan dan aliran listrik dihentikan. Tikus itu turun kembali ke bawah. Tidak lama setelah itu lampu dinyalakan lagi dan beberapa detik kemudian arus listrik diberikan. Tikus itu melompat-lompat dan secara tidak sengaja ia berpijak pada papan kayu itu. Ia terhindar lagi dari rasa sakit. Lampu merah dimatikan dan arus listrik dihentikan.
Tikus itu akan cepat sekali belajar menghindar dari pengalaman yang tidak menyenangkan. Setelah beberapa kali percobaan seperti ini bila kemudian lampu merah dinyalakan, sebelum aliran listrik diberikan ia sudah cepat-cepat melompat ke papan kayu.
Seperti itu juga, pengalaman yang menyakitkan dalam hubungan pernikahan akan menyebabkan seorang mudah sekali tergoda untuk melarikan diri dari hubungan itu. Memang bila seorang pria (ataupun wanita) lari dari hubungan yang benar dan menjalin hubungan yang berdosa, ia melanggar kehendak Allah. Ia pasti akan mengalami akibat yang buruk dari perbuatan dosanya.
Seorang yang masih teguh imannya akan menghindari hubungan yang berdosa itu karena ia tahu rasa bersalah yang besar akan dialaminya walaupun mungkin dorongan dan tarikan kearah itu besar sekali. Dorongan timbul karena rasa sakit dalam hubungannya dengan pasangannya dan tarikan ada karena rasa nikmat dalam hubungan affairnya. Ia tahu bahwa ia akan berhadapan dengan Bapa Sorgawinya yang tidak akan memperkenan perbuatannya. Seperti telah dibahas di atas, Allah yang mengasihinya tidak akan “berpaling kepada persembahannya.” Doa-doanya akan terhalang dan bahkan bila perlu Allah akan menghajarnya. Ia tahu konsekuensi perbuatannya akan pahit sekali kelak.
Rasa bersalah dan rasa takut akan Allah tidak akan begitu besar pada seorang yang kurang dewasa imannya hingga ia lebih mudah terlibat dalam hubungan yang berdosa itu. Remnya “blong.” Rem yang seharusnya menghalanginya berbuat dosa kurang “pakem” (kurang kuat) bila ia tidak bertuhankan Kristus dan Roh Kudus tidak ada dalam hidupnya.
Seorang suami Kristen yang terlibat dalam sebuah affair, seharusnya tahu ia terlibat dalam hubungan yang berdosa dan sadar akan perbuatannya yang tidak benar itu. Ia tahu bahwa ia sedang hidup dalam dosa dan kegelapan. Bila seorang bertanya kepadanya mengapa hal itu dilakukannya, jawabannya mungkin di luar dugaan kita. Orang banyak mungkin mengira bahwa “Memang dia orang brengsek. Overseks barangkali.” Memang ada banyak orang yang mempunyai dorongan seks yang menggebu-gebu yang menyebabkan mereka nyeleweng. Ada juga orang-orang yang mempunyai pandangan yang salah (misbelief, lihat buku “Mengatasi Masalah Hidup,” pasal IX) seperti: “Rugi hanya menikmati seorang perempuan seumur hidup.” Orang yang mempunyai misbelief seperti ini tidak akan pernah puas dengan seorang isteri saja.
Tetapi ada juga suami-suami yang tulus--tidak mempunyai masalah dalam seksualitasnya dan juga tidak mempunyai misbelief seperti di atas--yang nyeleweng. Bila ditanya, mereka menjawab: “Isteri saya sudah tidak mengerti saya lagi,” atau “Isteri saya sangat pencemburu, saya tersiksa dengan tuduhannya nyeleweng terus menerus. Ini sudah berjalan lima belas tahun,” ataupun “Isteri saya selalu menghina dan membuat saya terus stres. Ia selalu berteriak-teriak menuntut uang lebih banyak lagi. Saya sudah bekerja semaksimal saya tetapi masih dirasanya kurang juga. Hubungan kami sangat menyakitkan. Saya tidak tahan lagi hidup dengannya.”
Kadang-kadang kita melihat suatu hal yang terasa “janggal” seperti ini: seorang suami mempunyai seorang isteri yang cantik, mungil, langsing seperti seorang bintang film sedangkan isteri mudanya jauh lebih tua dari isteri tuanya, lebih gemuk, lebih jelek. Orang-orang yang tidak mengerti akan mengatakan, “Bodohnya bapak itu. Punya isteri seperti bintang film ditinggalkan untuk isteri muda jelek seperti itu!” Mungkin sukar dimengerti tetapi pasti ada dinamika yang menyebabkannya masuk akal. Mungkin seperti ini:
Bila ada seekor anjing pudel Perancis (French poodle) yang bulunya digunting indah sekali, dimandikan dengan sabun wangi, dikeringkan dengan handuk, diberi minyak wangi dan pita merah, tetapi tiap kali kita ingin membelainya tangan kita digigitnya, apakah kita ingin membelai-belai anjing itu? Tentunya tidak. Sebaliknya bila ada seekor anjing kampung yang kulitnya banyak lukanya, kurus kering dan tulang iganya kelihatan menonjol, tetapi bila kita membelainya ia kegirangan dan ekornya dikibas-kibaskan; bila kita beri ia makan ia girang sekali dan menunjukkan terima kasihnya dengan melonjak-lonjak. Anjing mana yang akan kita belai-belai? Tentunya bukan si anjing pudel Perancis.
Ilustrasi seperti ini dapat menerangkan hal yang kelihatannya saja tidak masuk di akal seperti di atas. Tentunya walaupun ada dinamika yang menyebabkan perbuatan itu masuk akal, firman Allah tidak dapat membenarkan perbuatan itu. Orang itu tetap hidup dalam dosa dan dosa tidak mungkin diperkenan Allah.
Mengetahui bahwa ibu itu seorang Kristen yang sudah lama dan seharusnya sudah mengenal Firman Allah, penulis kemudian menanyakan padanya demikian, “Kira-kira Firman Allah mana yang ibu langgar dalam situasi ini?”
Ia menjawab, “Barangkali Efesus 5?”
“Ya, Efesus 5:22 yang berkata ‘Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan’ ”
“Apakah saya harus tunduk kepada suami saya yang lemah sekali itu seperti saya tunduk kepada Kristus?”
“Ya, memang itulah kehendak Allah, bukan kata-kata atau perintah saya.”
Bila rasa sakit itu menjadi terlalu besar pada orang beriman atau orang yang sudah bertekad untuk tidak nyeleweng, ia mungkin akan “keluar” dari rumahnya. Firman Allah telah memperingatkan hal seperti itu juga. Firman Allah telah memprediksi hal apa yang akan terjadi. Dalam Amsal 21:9, 19 dikatakan:
Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.
Lebih baik tinggal di padang gurun dari pada tinggal dengan perempuan yang suka bertengkar dan pemarah.
Pada zaman Alkitab, rumah-rumah di Israel mempunyai atap yang datar. Tinggal di dalam rumah pada pagi hari masih nyaman karena belum terlalu panas, tetapi pada siang dan sore tidak tertahankan karena tentunya pada waktu itu belum ada AC. Pada sore hari, walau matahari sudah mulai menurun, udara dalam rumah masih sangat panas hingga orang-orang naik ke atas atap yang datar itu untuk “cari angin.”
Ayat 9 mengatakan bahwa bagi seorang suami lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah daripada diam dalam rumah dengan isteri yang suka bertengkar. Dalam ayat 19 malah dikatakan bagi suami itu lebih baik tinggal di padang gurun yang kering, gersang dan panas daripada tinggal dengan isterinya yang pemarah dan suka bertengkar.
Tentunya di bumi Indonesia yang subur ini sukar mencari padang gurun untuk “melarikan diri.” Karena rumah-rumah kita mempunyai atap segitiga, sukar juga bagi para suami untuk bertengger di atasnya. Tetapi peringatan dan prediksi firman Allah akan tetap berlaku dan akan digenapi. Para suami mungkin akan melarikan diri di kantor mereka atau di klub-klub dan di bar-bar ataupun di rumah-rumah “pacar” mereka.
Banyak pria di kota-kota besar seperti Jakarta menjadi “workaholic,” seorang pecandu kerja. Mereka bekerja “gila-gilaan” tanpa mengenal waktu. Ada yang berangkat ke kantor pukul 7.00 pagi dan belum pulang pukul 7.00 malam. Dua belas jam kerja. Ada yang baru pulang pukul 10.00 malam atau lebih, lima belas jam bekerja tiap harinya! Memang ada pria-pria yang menjadikan Mamon (uang) sebagai tuhan mereka, tetapi ada banyak yang menjadi pecandu kerja seperti itu karena tidak tahan akan situasi rumah tangga mereka, karena banyaknya masalah dalam pernikahan atau keluarga mereka.
Misalkan ada seorang pegawai di suatu kantor, seorang suami yang mempunyai isteri yang pemarah atau sering mengajak bertengkar. Ia menjadi pecandu kerja. Setelah kantornya tutup pukul lima sore, ia akan meminta kepada atasannya untuk kerja lembur karena kalau pulang ke rumah “akan diajak bertengkar oleh isteri.” Atasannya memberi pekerjaan untuk mengetik atau memasukkan data-data penting di komputer sampai pukul 9.00 atau 10.00 malam. Ia pulang ke rumah dan hanya tinggal mandi, makan malam, nonton TV sebentar dan langsung tidur. Demikian dilakukannya esok dan seterusnya untuk menghindari pertengkaran di rumah.
Pada suatu hari misalnya, ada pesta di kantornya. Pesta selesai pukul 3.00 siang dan kantor tutup untuk hari itu. Pegawai-pegawai lain langsung pulang. Seharusnya ia juga pulang. Tetapi untuk menghindari isteri yang pemarah di rumah, ia meminta pekerjaan pada atasannya. Atasannya menjawab, “Hari ini pesta di kantor. Tidak ada kerja lembur. Yang lain pulang, anda juga pulang.” Kata karyawan itu di hatinya, “Yah, masih pagi. Pulang sekarang pasti akan bertengkar lagi di rumah, pasti akan diomeli lagi oleh isteri.” Dengan motornya ia berputar-putar di pertokoan. Lama berkeliling ia menjadi haus dan di pinggir jalan tidak ada yang menjual minuman dingin.
Ia kemudian melihat sebuah bar. “Orang Kristen tidak boleh minum-minum di bar,” hati nuraninya mengingatkan. “Tetapi saya tidak minum minuman keras, saya hanya pesan coca cola saja, masa tidak boleh.” Akhirnya ia masuk dan memesan segelas coca cola. Sang pelayan wanita datang membawa minuman pesanannya. Karena bar masih kosong, hari masih sore dan belum banyak langganan datang, sang pelayan menemani si suami ini ngobrol. Mereka berbicara dan bercanda.
Tiba-tiba timbul dalam pikiran si suami, “Enak juga berbicara dengan wanita muda ini. Omongan kita nyambung. Lain sekali dengan yang di rumah. Di rumah sudah nggak nyambung. Saya baru bicara satu kalimat saja, dia sudah masuk sepuluh kalimat. Kata-katanya kasar pula. Di sini kata-katanya baik.”
“Di rumah saya sudah di lecehkan. Kalau saya bicara malah diledek. Di sini kalau saya bicara, ia selalu memperhatikan dengan matanya yang gede, bikin gemes.”
“Bila saya cerita lucu ia tertawa renyah atau senyum manis. Lain dengan yang di rumah, kalau saya ajak bercanda dan bercerita lucu, ia cemberut saja. Betapa bahagianya kalau yang di depan ini menggantikan yang di rumah.”
Pria seperti di atas dikatakan “vulnerable,” rentan, mudah tergoda dan jatuh. Seperti dibahas dengan percobaan tikus di atas, secara psikologis seorang akan cenderung menghindari pengalaman-pengalaman yang menyakitkan dan menginginkan lagi pengalaman-pengalaman yang menyenangkan.
Suami di atas akan mengingat pengalamannya yang menyenangkan dengan si pelayan di bar itu. Bila suatu saat situasi di rumah sudah tidak tertahankan lagi, atau ia sedang “iseng,” ia akan pergi ke bar tadi atau menghubungi si pelayan untuk bertemu dan berkencan. Bila si pelayan memang sedang mencari situasi yang lebih mantap dalam hidupnya dan memang juga tertarik kepada suami itu, hubungan mereka akan terjalin.
Suami yang rentan seperti ini digambarkan bagai seorang yang sedang mempunyai luka yang pedih. Ia membutuhkan seorang yang mau memberinya salep yang menyejukkan dan menyembuhkan. Tetapi apa yang didapatnya bila ia pergi kepada isterinya? Isterinya malah mengucurinya dengan jeruk nipis yang menyebabkan lukanya lebih pedih lagi. Dalam keadaan seperti itu suami ini akan mudah jatuh kepada seorang wanita yang mau memberinya salep itu. Memang berbahagialah seorang suami bila isterinya mau memberinya salep bila ia membutuhkannya.
Ibu Tulus kemudian bertanya kepada penulis, “Kalau sudah begini, bagaimana pak pendeta?”
Penulis balik bertanya, ”Kalau sudah begini bagaimana? Apa maunya ibu?”
“Saya ingin suami saya balik, meninggalkan isteri mudanya dan pulang kepada saya dan anak-anak.”
“Sungguh-sungguh? Misalkan seluruh komisi wanita di gereja mau berdoa dan berpuasa bagi ibu agar suami bertobat dan Roh Kudus mendengarkan doa para wanita itu. Misalkan Roh Kudus bersedia mengembalikan suami ibu tetapi dengan satu syarat: Ibu tunduk kepada suami seperti dalam Efesus 5:22.”
“Bagi Roh Kudus ada 1001 cara yang dapat dilakukan-Nya untuk mengembalikan suami ibu. Mungkin ayah dari si isteri muda jatuh sakit parah di NTT, isteri muda itu pulang membawa anaknya dan tidak kembali ke Jakarta. Atau isteri muda itu bertemu seorang pemuda yang mencintainya dan menikahinya. Mungkin isteri muda itu sakit dan kemudian meninggal. Bapak kemudian bertobat, dan sesuai dengan Firman Allah, ia diampuni, dikuduskan putih bersih seperti salju dari ujung rambut sampai telapak kakinya, dan dilupakan Allah dosanya. Bapak kemudian pulang ke rumah dengan seorang anak kecil.
Bagaimana bila Roh Kudus siap melakukan hal itu, hanya saja dengan satu syarat: ibu sudah berubah. Ibu tidak lagi suka melecehkan dan memaki suami dan ibu tunduk kepadanya seperti Efesus 5:22. Ibu menghormatinya seperti janji nikah ibu dahulu. Bila Roh Kudus menantang ibu, apakah ibu sudah dapat berubah dalam satu bulan ini agar Roh Kudus dapat membawa suami balik?”
Ibu Tulus cepat menjawab, “Belum bisa pak pendeta. Berubah kan sulit.”
“Bagaimana kalau tiga bulan?”
“Mungkin belum bisa juga. Saya memangnya galak seperti ini sejak kanak-kanak. Bahkan abang-abang saya pun tidak berani pada saya. Saya maki-maki kalau mereka berani pada saya.”
“Kalau enam bulan?” Ibu Tulus terdiam, tidak menjawab.
Sungguh berbahagia seorang suami bila isterinya mau tunduk kepadanya, bila isterinya adalah seorang yang sabar dan memiliki ketenangan yang dalam, bila isterinya dapat menyediakan baginya sebuah rumah tangga yang sejuk dan menyenangkan, tidak panas dan penuh pertengkaran. Ia akan kerasan tinggal di rumah, gairah kerjanya di kantor akan meningkat. Ia akan lebih kreatif dan pada waktunya ingin cepat pulang kepada isteri yang mengasihinya. Ia akan menjadi suami yang jauh lebih menyenangkan.
Kita melihat bahwa Allah sungguh-sungguh menginginkan keberhasilan lembaga keluarga yang diciptakan-Nya. Ia memberi kepada kita peringatan-peringatan yang tidak boleh kita langgar. Kita akan banyak menderita bila kita melanggar kehendak-Nya.
Tentunya ada banyak lagi kehendak Allah bagi suami dan isteri yang bila dilanggar merupakan tindakan berdosa dan akan menimbulkan konflik dan penderitaan. Ada banyak tanggung jawab yang harus dilakukan yang bila tidak dilakukan akan menyebabkan hubungan yang bermasalah. Contohnya misalnya: malas, tidak mau bekerja mencari nafkah atau tidak mau mengusahakan kebersihan rumah, tidak peduli terhadap kesejahteraan anak, memboroskan keuangan keluarga, mempunyai kebiasaan buruk seperti berjudi, mabuk dan memakai obat bius, main perempuan (atau lelaki), cemburu dan curiga terus menerus, mendendam dan tidak mau mengampuni. Tingkah laku berdosa seperti ini tentu saja akan merusak lembaga keluarga yang diciptakan Allah.


II. HARGA PERNIKAHAN HARMONIS

Sering anggota jemaat bertanya tentang pernikahan yang bahagia atau harmonis. Mereka bertanya tentang bagaimana mempertahankan cinta mereka terhadap pasangan. Keluhannya adalah dengan berjalannya waktu, cinta mereka berkurang dan bahkan hilang. Memang ketika sedang berpacaran ataupun baru menikah, rasanya cinta kepada pasangan menggebu-gebu. Baru saling remas tangan saja “stroom”nya sudah tinggi. Setelah menikah “stroom” itu mulai menurun. Lima tahun menikah sudah menurun banyak. Sepuluh tahun lebih banyak lagi. Lima belas dan duapuluh tahun rasanya sudah tidak ada gairah lagi. Yang tinggal adalah rasa bosan dan kejenuhan. Sekarang sudah melihat segalanya dan melakukan segalanya dan tidak ada “stroom” lagi. Rasanya cinta sudah pudar ...
Pertanyaannya adalah: cinta macam apakah itu yang akan pudar dengan berjalannya waktu? Inilah contoh cinta eros yang telah kita bahas. Inilah cinta yang banyak dinyanyikan di radio dan TV. Inilah “cinta monyet” atau “puppy love” (cinta anak anjing). Cinta ini indah tetapi tidak akan mampu menopang suatu pernikahan dan keluarga. Tentunya cinta ini juga kita usahakan untuk tidak hilang sama sekali seperti kita sudah bahas dalam pasal VI.
Selain adanya kasih eros yang secara alami akan memudar, pernikahan yang bahagia ditandai dengan kasih agape. Kasih inilah yang harus selalu tumbuh dalam suatu pernikahan. Dengan berjalannya waktu, pasangan suami-isteri menjadi lebih dewasa dan matang dalam iman mereka. Juga kasih agape mereka akan menjadi matang dan dewasa.
Contoh kasih agape yang dinyatakan dalam tindakan kasih yang nyata tampak pada perumpamaan “Orang Samaria yang Murah Hati” dalam Lukas 10:30-35.
Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Tampak dalam perumpamaan ini tindakan kasih orang Samaria itu. Ketika si iman dan orang Lewi dihadapkan pada orang sebangsanya yang sedang celaka, mereka tidak mengulurkan tangan untuk menolongnya. Mungkin ada alasan yang cukup kuat dan masuk akal mengapa mereka tidak menolong orang yang celaka tersebut.
Hambatan Pertama: alasan keselamatan. Tempat orang yang dirampok itu mungkin adalah tempat yang rawan. Si imam dan orang Lewi mungkin berpikir: “Bila saya berlama-lama menolong orang itu, para perampok mungkin akan keluar dari persembunyian mereka dan merampok serta memukuli saya. Resiko untuk menolong orang Yahudi itu terlalu besar. Nanti pasti ada satu rombongan orang lain yang lewat jalan ini. Biarlah mereka itu yang menolongnya. Lebih aman dan lebih mudah”
Hambatan Kedua: alasan religius. Pada masa itu bait Allah tempat mereka berbakti hanya ada satu saja di Yerusalem, sedangkan para imam dan orang Lewi ada banyak sekali. Kesempatan seorang imam atau seorang Lewi untuk melayani di Bait Allah sedikit sekali. Mungkin saja seorang Lewi atau imam hanya boleh melayani, misalkan setahun sekali saja.
Bila mereka menolong orang yang celaka itu, mereka membutuhkan paling sedikit satu malam. Bagaimana bila mereka terlambat sampai di Yerusalem? Mereka akan kehilangan kesempatan untuk melayani di Bait Allah selama satu tahun. Tempat mereka akan digantikan oleh orang lain dan mereka akan rugi besar.
Hambatan Ketiga: juga alasan religius. Ada peraturan dalam Alkitab tentang penyucian orang yang najis karena menyentuh mayat yang harus dilakukan selama tujuh hari dalam Bil. 19:11, 12
Orang yang kena kepada mayat, ia najis tujuh hari lamanya. Ia harus menghapus dosa dari dirinya dengan air itu pada hari yang ketiga, dan pada hari yang ketujuh ia tahir. Tetapi jika pada hari yang ketiga ia tidak menghapus dosa dari dirinya, maka tidaklah ia tahir pada hari yang ketujuh.
Memang pada saat itu orang Yahudi yang dirampok itu masih setengah mati, tetapi apa yang terjadi bila sementara dirawat ia mati. Tentunya si imam atau orang Lewi itu akan najis selama tujuh hari. Mereka tidak akan diperkenan untuk melayani Allah di Bait Suci.
Hambatan Keempat: harga pengurbanan. Terlalu mahal harga untuk menolong orang yang celaka itu.
Sama seperti itu juga si orang Samaria mempunyai paling tidak 4 alasan mengapa ia seharusnya tidak menolong orang Yahudi tersebut.
Hambatan Pertama: juga alasan keselamatan. Orang Samaria ini juga harus mengambil resiko untuk dirampok bila ia ingin menolong orang yang celaka itu.
Hambatan Kedua: kerugian finansiil. Untuk menolong orang yang celaka itu, mungkin si orang Samaria harus menderita kerugian. Mungkin ia seorang pengusaha (ia tidak dapat berlama-lama di tempat penginapan untuk merawat si sakit). Dengan menolong orang itu ia akan kehilangan satu hari yang mungkin merugikan bisnisnya (tidak dapat memenuhi janji bisnis?).
Hambatan Ketiga: pengurbanan. Ia juga harus berkurban besar untuk menolong orang Yahudi itu. Pertama ia harus membersihkan luka-luka si sakit dengan minyak dan anggur, kemudian membalut luka-lukanya. Setelah itu ia menaikkan si sakit ke atas keledainya, menjaganya agar tidak jatuh sedangkan ia sendiri harus berjalan kaki selama beberapa kilometer sampai mereka mendapatkan sebuah rumah penginapan.
Tentunya pada waktu itu belum ada rumah sakit. Ia harus merawat sendiri si sakit. Tengah malam jika si sakit mengerang atau haus atau lapar ia harus merawatnya. Malam itu tidurnya mungkin tidak lelap. Pagi hari setelah keadaan si sakit tidak kritis lagi dan karena urusan bisnisnya, si orang Samaria barulah dapat meninggalkan penginapan itu.
Ia juga harus membayar ongkos penginapan, perawatan dan belanja untuk si sakit serta menjanjikan akan kembali ke penginapan itu untuk membayar kekurangan ongkos perawatan. Memang untuk menolong si sakit secara tuntas, pengurbanannya besar yang menyebabkan si imam dan orang Lewi tidak mau melakukannya.
Hambatan Keempat: suku musuh. Ternyata orang yang hendak ditolongnya dari suku yang memusuhi bangsanya. Orang Yahudi menganggap hina orang Samaria. Mereka dianggap sudah tidak murni lagi keturunan Abraham. Pengurbanan yang dilakukan si orang Samaria adalah pengurbanan kepada musuh.
Dengan perumpamaan ini Kristus menunjukkan contoh kasih agape yang memerlukan pengorbanan yang besar. Si orang Samaria itu harus mengalahkan keempat hambatan itu untuk bisa menolong si Yahudi.
Berbeda dengan eros yang dilandasi oleh emosi, kasih agape yang matang dilandasi oleh kehendak (will). Seorang harus mengatakan “Aku menghendaki untuk mengasihi. aku menghendaki untuk menolong.”
Berbeda dengan eros yang sering dilakukan dengan menggebu-gebu, kasih agape yang matang ini dilakukan dengan kepala dingin. Kasih ini mempertimbangkan segala harganya dan walaupun harganya mahal, mengambil keputusan untuk membayar harga tersebut.
Dalam Wahyu 2:4 Jemaat di Efesus dicela karena telah meninggalkan kasih mula-mula (first love) mereka kepada Allah:
Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula.
Namun perlu diperhatikan resep yang diberikan Allah dalam ayat 5:
Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat.
Di sini kita, para pendeta, sering salah. Kita menganjurkan jemaat untuk kembali kepada kasih mula-mula itu. Hal ini ternyata tidaklah mungkin dan kita menyebabkan frustrasi pada jemaat. Kita sendiri juga tidak mampu mengembalikan kasih yang mula-mula itu dalam diri kita.
Memang kehendak Allah tidaklah demikian. Kita diminta untuk melakukan lagi “apa yang semula engkau lakukan.” Yang diperintahkan kepada kita adalah bertindak, melakukan lagi apa yang dulu kita lakukan ketika kita masih merasakan kasih yang semula. Ini yang dapat dan harus kita lakukan. Dan ternyata banyak orang Kristen yang dewasa telah melakukan jauh lebih banyak dari apa yang mereka lakukan pada waktu mereka masih merasakan kasih mula-mula itu. Seperti si orang Samaria.
Kristus juga melakukan tindakan kasih yang nyata dan luar biasa di taman Getsemani (Lukas 22:41-44):
Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kataNya: "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.
Ini adalah contoh kasih agape yang luar biasa. Kasih ini kasih dewasa dan matang. Hanya seorang yang telah dewasa dan matang yang mau dan mampu membayar harga mengasihi seperti ini.
Kasih ini tidak berlandaskan emosi. Yesus tidak bersiul-siul menghadapi salib. Dikatakan bahwa ia “sangat ketakutan.” Kecemasan yang dirasakan-Nya sangat tinggi hingga “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.”
Kasih ini memperhitungkan harganya dan dengan kesadaran dan kepala dingin mengambil keputusan untuk membayar harga tersebut. Dari keinginan-Nya sendiri Kristus tidak menghendaki meminum cawan penderitaan itu tetapi karena kasih-Nya kepada manusia, untuk menyelamatkan manusia, Ia memutuskan untuk menyelaraskan kehendak-Nya dengan kehendak Bapa-Nya dan naik ke salib. Itu adalah contoh agape yang paling puncak.
Jadi kasih agape antara suami-isteri adalah kasih yang didasarkan pada kehendak, bukan perasaan/emosi. Kasih ini menghitung harga pengurbanan yang besar dan mengambil keputusan untuk membayar harga pengurbanan itu. Kasih seperti ini hanya bisa dilakukan oleh seorang yang telah matang dan dewasa dalam kepribadian dan kerohanian, bukan mereka yang masih kekanak-kanakan.
Seorang bapak dan suami adalah seorang pegawai negeri yang tidak terlalu tinggi jabatannya. Ia pulang pergi ke kantornya dengan menggunakan sepeda motor.
Pada suatu pagi pukul enam, seperti biasanya ia bangun untuk bekerja, tetapi hujan turun deras sekali. Ia mulai segan bangun, “Selimutnya masih hangat, air mandinya dingin dan nafsu makannya belum ada untuk sarapan. Enaknya tetap tidur saja.” Tetapi karena ia tahu bahwa isteri dan anaknya membutuhkannya untuk bangun dan bekerja, ia bangun, mandi dan sarapan juga, walau dengan ogah-ogahan. Setelah itu ia mendorong sepeda motornya keluar, melihat hujan masih rintik-rintik. Ia menggerutu, “Wah hujannya masih lama nih,” tetapi tetap memakai baju hujannya dan naik motornya ke kantor.
Bagaimana tindakan bapak ini? Apakah ia mengasihi keluarganya? Tentu saja. Ini adalah contoh pengurbanan Agape: melakukan yang harus dilakukan walau harganya mahal.
Seorang isteri yang mempunyai Cinderella Complex, mungkin tidak bisa menerima tindakan suami yang menggerutu. “Kalau sungguh cinta tidak perlu menggerutu. Kalau ada menggerutunya bukan cinta. Cinta harus dilakukan dengan senang hati.” Ini tentunya tidak tepat.
Bila suami itu seorang yang kurang dewasa dan kurang bertanggung jawab, ia mungkin terus menutupi kepalanya dengan selimut setelah mengetahui di luar hujan deras. Mendekati jam kerja kantor ia berkata kepada isterinya, “Tolong telepon boss. Katakan kepada boss bahwa suamimu sedang meriang. Tidak bisa masuk kantor hari ini.”
Anak seorang ibu terkena demam berdarah. Ia segera dibawa ke rumah sakit. Ketika ibu ini hendak pulang, jururawat di rumah sakit melarangnya pulang. Anaknya harus dijaga malam itu di bangsal rumah sakit dimana banyak anak lain yang juga terkena demam berdarah. Tentunya tidak enak menjaga anak di rumah sakit semalaman. Ibu itu hanya bisa tidur dengan kepala diletakkan di tempat tidur anaknya. Nyamuk banyak dan udara panas.
Penjagaan ini dilakukan selama tiga malam sampai masa kritis anak itu lewat. Pada hari ketiga itu ibu itu merasa lelah sekali. Ia menggerutu, “Lelah sekali jaga malam seperti ini. Rasanya saya mau sakit flu.”
Apakah ibu ini melakukan tindakan agape? Tentu saja. Ini adalah tindakan agape walaupun ada gerutu keluar dari mulutnya. Memang jauh lebih enak tidur di rumah di kamar yang ber-AC, di kasur spring bed yang empuk dan tanpa gangguan nyamuk. Tetapi karena cintanya kepada anaknya yang sedang sakit parah, ia rela melakukan pengorbanan itu.

Ketika seorang bertanya kepada saya tentang apa rahasianya mempunyai pernikahan yang harmonis, saya menjawab sebagai berikut:
1. Tambah banyak suami dan isteri melakukan tindakan-tindakan kasih, tambah bahagia dan tambah harmonis hubungan mereka.
2. Tetapi begitu mereka tidak mau melakukan tindakan-tindakan kasih, hubungan mereka akan mengalami stagnasi (macet, mandeg) dan mulai merosot kebahagiaannya.
3. Sebaliknya tambah banyak mereka melakukan tindakan-tindakan kebencian (memaki, memukul, melecehkan, dll.) hubungan mereka akan merosot cepat.
Prinsip di atas berlaku untuk semua pasangan: pasangan muda, pasangan menengah dan pasangan yang sudah tua juga. Jadi, ingin memiliki hubungan yang harmonis dan berbahagia? Lakukanlah sebanyak-banyaknya tindakan kasih. Prinsip ini tidak ada jalan pintasnya.

Walaupun sepasang suami-isteri telah menikah dengan berbahagia selama empat puluh tahun dan mereka sudah menjadi kakek-nenek, begitu mereka mulai melanggar prinsip di atas, hubungan mereka akan mulai merosot. Begitu mereka mulai melakukan tindakan-tindakan kebencian begitu mulai menyakitkan hubungan mereka.
Seorang juga tidak dapat berpikir: Asal saya aktif dalam pelayanan, menjadi singer atau pemimpin pujian di gereja, pasti pernikahan saya bahagia. Ini tidak benar, sebab begitu ia dan pasangannya mulai melanggar prinsip di atas, mulai merosot juga hubungan mereka.
Tidak benar juga berpikir: “Kalau saya jadi pendeta pasti pernikahan saya berbahagia,” atau “Kalau saya menikah dengan seorang pendeta, saya akan berbahagia.” Ternyata banyak pendeta yang tidak berbahagia dalam pernikahan mereka.
Mengapa masa berpacaran, terasa berbahagia sekali? Karena ada banyak tindakan kasih antara sepasang muda mudi itu.
“Kamu ke kampus pukul berapa besok?
“Wah, pagi sekali. Sebelum kuliah kami akan rapat senat dulu. Jam enam saya sudah harus berangkat dari rumah.”
“Tunggu di rumah ya, nanti saya antar ke kampus.” Jam 5.30 pagi si pemuda sudah menunggu untuk mengantarkan gadisnya ke kampus.
“Nanti pulang jam berapa dari kampus?”
“Wah, nanti malam ada praktek di laboratorium. Bisa-bisa pulang jam 8.00 malam.”
“Jangan pulang sendiri. Tidak aman bagi seorang wanita pulang malam sendirian di Jakarta.” Pukul 7.30 si pemuda sudah menunggu di kampus.
“Haus ya, mau kopi atau teh, atau dibelikan coca cola ya?”
Tidak heran masa berpacaran adalah masa bahagia. Keduanya banyak melakukan tindakan kasih. Sayangnya begitu hubungan mereka diberkati di gereja begitu mereka melanggar prinsip di atas mengenai hubungan yang harmonis dan berbahagia.
Masing-masing mulai berpikir: “Nggak usah ya. Sekarang tidak perlu berbuat seperti dulu lagi. Toh dia sudah milikku.” Ini adalah kesalahan besar banyak suami-isteri. Begitu menikah mereka langsung melanggar prinsip di atas yang dulu sudah mereka lakukan secara trampil dan ahli. Mereka mulai kehilangan keharmonisan dalam hubungan mereka.
“Penjual roti tadi tidak mampir. Tolong belikan roti di toko untuk anak-anak.”
“Panas ah, ogah,” walaupun toko roti hanya satu blok dari rumah.
“Besok anak-anak tidak ada roti untuk sekolah.”
“Kasih saja uang, biar jajan di sekolah.”
Dulu ketika berpacaran sang pemuda bolak-balik tiga atau empat kali seminggu dari Bekasi ke Jakarta Barat. Setelah menikah, ogah untuk berjalan satu blok saja dari rumah. Bagaimana suami ini—dan banyak suami-isteri lain—mengharapkan kebahagiaan dalam pernikahan bila ia tidak mau tetap membayar harga keharmonisan itu dengan tindakan agape? Mustahil!
Suatu saat saya membimbing sebuah kelompok kecil yang terdiri dari tujuh pasang suami-isteri, jadi dengan saya sendiri kami berlima belas. Kami bertemu selama dua belas minggu, seminggu sekali di rumah salah seorang anggota kelompok. Tujuan pertemuan hanya satu: bagaimana mempunyai pernikahan yang bahagia.
Dalam pertemuan-pertemuan itu saya memberikan masukkan yang kemudian dibahas bersama, ada tanya jawab dan diskusi kasus dalam kelompok kecil, ada role playing, dll. Tiap kali sebelum suatu pertemuan berakhir saya memberi suami-isteri itu suatu pekerjaan rumah (PR), yaitu suatu tindakan kasih yang harus dilakukan suami dan isteri paling tidak selama seminggu, kalau bisa sepanjang pernikahan mereka.
Saya katakan kepada peserta kelompok bahwa minggu depan saya akan mengecek apakah PR mereka sudah dilakukan. Pada pertemuan berikutnya saya sungguh-sungguh mengeceknya.
Saya dapatkan bahwa suami-isteri yang sungguh-sungguh melakukan PR yang diberikan, hubungan mereka menjadi lebih baik dan mulai meningkat. Sebaliknya ada juga suami-isteri yang tidak bersungguh-sungguh melakukan PR mereka. Hubungan mereka tetap mandeg.

Pada suatu pertemuan saya mengadakan kegiatan seperti ini: Kami membuat dua buah lingkaran dari kursi-kursi, satu besar dan satu kecil di dalamnya. Mula-mula para isteri duduk di kursi-kursi di lingkaran dalam dikelilingi para suami. Para isteri saya minta untuk meneruskan kalimat ini: “Saya merasa dicintai bila …”
Mula-mula para isteri itu ragu-ragu karena ada suami-suami mereka disana tetapi tambah lama mereka tambah berani. Tiap isteri paling sedikit menjawab satu kali. Tentunya ada banyak tertawa. Saya berkata kepada para suami untuk memperhatikan kata-kata para isteri tentang apa yang menyebabkan mereka merasa dikasihi, tetapi terutama kata-kata isteri mereka.
Setelah itu situasi dibalik dengan para suami duduk di kursi di lingkaran dalam dan para isteri di kursi luar. Kemudian saya minta para suami itu untuk menyelesaikan kalimat yang sama: “Saya merasa dicintai bila …” Ketawa lebih banyak lagi. Setiap jawaban suami-isteri itu saya catat.
Sebelum pertemuan itu berakhir, masing-masing saya beri selembar kertas dengan tulisan seperti ini:

Dengan anugerah Allah saya akan ____________________________________________________ __________________________________________________________________________________________
Tanda tangan: ___________________________

Para anggota kelompok saya minta untuk menentukan dan menuliskan sendiri PR mereka setelah mendengar apa yang dikehendaki pasangannya.
Beberapa yang mereka tulis akan saya bahas sebagai contoh konkrit tindakan kasih agar pembaca buku ini dapat melihat apa yang saya maksudkan sebagai tindakan kasih dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang suami menulis demikian:
Saya akan membantu isteri saya menyiram tanaman di rumah seminggu sekali
Komitmen seperti ini tentunya tidak berlaku untuk semua pasangan suami-isteri. Contohnya dalam keluarga kami. Saya dan isteri saya tidak mempunyai hobi tanaman. Halaman depan dan belakang rumah kami gundul saja. Tetapi mungkin isteri dari pria ini senang sekali dengan tanaman. Bukan saja halaman depan dan belakang dipenuhi tanaman hidup yang penuh dengan bunga tetapi juga dalam rumah digantung pot-pot bunga hidup. Tentunya tanaman dalam rumah itu juga harus di siram secara berkala.
Misalkan suatu petang sang isteri sudah lelah sekali dan ia duduk di sofanya. Tiba-tiba ia melihat tanaman di pot-pot bunganya mulai kering tanahnya. Daun-daun mulai layu dan menguning. Karena sudah lelah ia berkata kepada suaminya, “Tolong dong, sirami pot-pot bunga itu.” Selama ini sang suami menjawab. “Enggak ah, itu kan proyekmu. Kamu yang sirami sendiri.” Mendengar itu sang isteri hanya diam saja sambil merasa jengkel sekali.
Sang suami sudah sadar dan mengambil komitmen seperti di atas. Misalnya pada suatu petang, tanpa diminta isterinya ia mengambil air se gayung dan mulai menyiram pot-pot bunga isterinya. Melihat tindakan suaminya, sang isteri menjadi senang dan mungkin membuatkan kopi susu dan menggoreng pisang. Jadi tindakan kasih suami itu adalah menyiram tanaman isterinya yang dibalas dengan kopi susu dan pisang goreng oleh isterinya. Keduanya melakukan tindakan kasih dan hubungan mereka naik setingkat.
Seorang suami lain menulis demikian:
Saya akan berhenti memberi komentar tentang wanita cantik
Ada isteri-isteri yang bersikap, “Peduli amat, emangnya gua pikiran,” bila suami mereka memuji wanita lain. Tetapi mungkin isteri pria ini tersinggung bila suaminya memuji wanita lain seperti: “Wah, cakep juga cewek itu,” atau “Aduh sexynya,” atau “Lihat langsingnya perempuan itu,” dll.
Selama ini suami itu mungkin membanggakan diri: “Pokoknya saya mau jujur, dalamnya hitam. Luarnya harus ngomong hitam. Dalamnya putih, luarnya harus putih. Saya tidak mau bohong. Peduli amat apa kata orang.” Apakah ini Alkitabiah?
Di dalam Efesus 4:15 diajarkan kepada kita: “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih … (Speaking the truth in love—Berkata benar dalam kasih).“ Tidak diperintahkan kepada kita: Berkata benar. Tidak diajarkan hanya: “Speaking the truth” saja. Ada saringan yang dilupakan oleh suami tersebut yaitu saringan kasih. Tanpa saringan ini seorang bisa saja berbicara ceplas-ceplos, menyinggung ke sana, menyinggung ke sini.
Suami ini sadar akan kesalahannya yang suka menyinggung perasaan isterinya dan kemudian ia mengambil komitmen untuk memperbaiki dirinya. Tindakan kasih bagi suami ini adalah: plester mulutnya bila ia ingin memuji wanita lain.
Seorang isteri menulis demikian:
Saya tidak akan mengkritik ibunya lagi
Ini adalah kasus khusus. Ibu dari sang suami ternyata pernah mengalami stres yang berat yang tidak cukup rawat jalan. Ia harus dirawat selama kira-kira tiga bulan di rumah sakit jiwa, tetapi setelah itu sembuh sepenuhnya. Peristiwa ini terjadi sebelum sang suami menikah.
Tetapi sang isteri akhirnya tahu peristiwa tersebut dan menggunakan hal itu untuk “mengalahkan” suaminya bila sedang bertengkar. Memang bertambah lama kita menikah dengan pasangan kita, bertambah banyak kita mengetahui kelemahannya. Sayangnya bila kita bertengkar dengan pasangan kita, kita cenderung berbuat seperti “mites/pencet” semut, secara total ingin melumatkan lawan kita. Kita berusaha menggunakan kata-kata yang paling menyakitkan untuk menghabiskan lawan kita.
Selama ini sang isteri menggunakan kata-kata yang menyinggung rahasia keluarga suaminya, misalkan, “Mamanya edan, anaknya …” bila mendengar kata-kata seperti itu, sang suami akan meledak marahnya. Mungkin sang isteri merasa bangga bisa menang (“Jangan berani main-main dengan saya, kalah, nggak!”)
Tetapi siapa yang sebenarnya kalah? Sang suami yang disakiti hatinya seperti itu tentunya akan berusaha membalas dendam. Apakah pada malam itu ia mau bermesraan dengan isterinya? Tentunya tidak. Sepanjang malam ia hanya memberi isterinya punggungnya saja. Besok malam setelah pulang kantor, apakah ia mau segera pulang ke rumah? “Kok enak.” Sengaja ia akan pulang malam sampai pukul sepuluh atau sebelas malam main domino di rumah temannya: “Bila isteri marah-marah, ayo bertengkar lagi.”
Bila kemudian sang suami menerima “uang kejutan”—uang yang tidak disangka-sangka akan diterima, bukan gaji yang diketahui isteri berapa jumlah dan kapan akan diterimanya—apakah ia akan membaginya dengan isterinya? Misalkan ia menerima empat ratus ribu, seharusnya suami dan isteri itu masing-masing mendapat hak dua ratus ribu. “Kok enak, isteri yang menyakitkan hati diberi uang. Toh dia tidak tahu adanya uang ini.”
Tentunya dalam hal seperti itu, keduanya kalah dan hubungan mereka akan makin merosot. Ini sesuai dengan prinsip di atas: tambah banyak suami/isteri melakukan tindakan kebencian, tambah merosot hubungan mereka.
Baiknya sang isteri sudah sadar dan memutuskan untuk melakukan komitmen dengan plester mulutnya sendiri bila ingin menyinggung perasaan suaminya.
Seorang suami lain menulis:
Saya akan berkata "I love you" dengan mesra sebelum tidur kepada isteri saya
Seorang anggota jemaat memberi komentar, “Yah, pak pendeta, masa begitu. Kita kan orang Timur, masa ‘I luv yu, I luv yu-an? Kan orang Bule yang pinter romantis-romantisan: Honey, thank you, love? Malu ah, kalau harus begituan.”
Tetapi bila isteri kita membutuhkan kata-kata manis, bagaimana? Memang seorang pria, tidak membutuhkan banyak kata ‘I love you.’ Sekali-sekali bila isteri mengatakan demikian, ya enak juga, tetapi kebutuhan akan kata-kata mesra tidak terlalu besar. Seorang isteri lebih membutuhkannya.
“Yah, tapi kita kan tidak biasa, muka kita ditaruh dimana? Apalagi kalo bahasa Indonesia: ‘Aku cinta padamu’ Ih panjangnya, ngeri.”
“Bagaimana kalau diganti dengan ‘sayang,’ ‘Aku sayang padamu.’ Atau diganti dengan satu kata saja: ‘say.’ Panggil isteri minimum sehari sekali: ‘say.’”
“Ya masih gengsi juga.”
Betul, tetapi bukankah dalam Kristus kita sudah belajar menyalibkan gengsi kita juga?
Seorang isteri lain menulis:
Saya akan membangunkan suami saya tiap pagi dengan ciuman di pipi
Suaminya adalah seorang yang sangat senang nonton televisi. Kejadiannya sebelum krismon ’98, ‘99 dimana stasiun televisi bisa ada sampai pukul 3 atau 4 pagi. Tetapi suami ini biasanya tidak tidur sebelum semua stasiun tutup. Akibatnya tentunya ia susah bangun tidur pada pagi hari karena masih mengantuk.
Tetapi sang isteri tidak kira-kira bila membangunkan suaminya. Ia masuk kamar tidur, menarik selimut suaminya dengan kasar sambil berteriak, “Bangun, sudah siang!.”
Sang isteri kembali lagi ke dapur untuk masak bagi anak-anak mereka. Seperempat jam kemudian ia belum mendengar suaminya bangun dan ia menjadi tambah jengkel. Ia masuk kamar tidur, tarik lagi selimut suaminya, berteriak, “Bangun, malas” lalu keluar membanting pintu kamar tidur. Suaminya kaget dan bangun, tetapi dengan jantung berdebar-debar. Suasana hatinya (moodnya) sudah dirusak.
Apakah ia bisa civilized, bertingkah laku baik dan ramah? Tentunya tidak. Ia akan segan mengajak isterinya berbicara. Wajahnya ditekuk. Bila diajak berbicara, jawabnya hanyalah: “Hah,” “Heh,” atau “Terserah sono.”
Apakah ia mau memandang wajah isterinya di meja makan? Dengan suasana hati yang dirusak seperti itu tentunya tidak mau. “Mana KOMPASnya,” Lalu ia makan sambil membaca koran, menutupi wajah isterinya dengan koran pagi.
Sang isteri mulai sadar dan mengambil komitmen untuk melakukan tindakan kasih: “Membangunkan suaminya tiap pagi dengan ciuman di pipi. Atau tentunya kita sudah belajar dari TV untuk membangunkan suami kita dengan kopi.
“Yah pak pendeta, pak pendeta tidak tahu tiap pagi di rumah kami seperti kapal pecah. Saya harus cepat-cepat siapkan makanan. Setelah itu membangunkan kedua anak kami yang masih kecil-kecil, memandikan dan mengeringkan mereka, mengenakan pakaian sekolah pada mereka, dudukkan mereka di meja makan lalu memasukkan sebanyak-banyaknya nasi ke dalam perut mereka. Setelah itu mempersiapkan mereka untuk antar jemput ke sekolah. Masa harus membuat kopi untuk suami? Kan dia sudah gede?”
“Tetapi membuat kopi sekarang kan gampang. Sudah ada paket three in one, sudah ada kopi, krim dan gulanya. Tinggal disedu dengan air panas, diaduk lima menit sudah selesai. Lalu sementara suami masih tidur, letakkan kopi di dekat hidungnya. Agar ia bangun dengan suasana hati yang baik”
“Yah, tapi itu kan nambah kerjaan?”
“Benar sekali. Tindakan kasih berarti “nambah kerjaan.”
Inilah contoh-contoh membayar harga untuk mempunyai pernikahan yang berbahagia dan harmonis.
Setelah menikah lebih dari 11 tahun, pada suatu hari saya sedang berjalan-jalan santai dengan isteri saya di sebuah mal. Kami hanya berduaan saja. Tiba-tiba, tanpa sengaja, saya menaruh lengan saya di punggung isteri saya dan tangan saya memegang pundaknya. Apa respons isteri saya? Ia memegang tangan saya dan berkata, “Yah ini yang enak.”
Kami sudah menikah begitu lama dan saya baru tahu bahwa enak bagi isteri saya bila tangan saya melingkar di pundaknya. Setelah tahu itu sering saya sengaja, entah “in the mood” atau tidak untuk melingkarkan tangan saya di pundaknya (memang biasanya “in the mood.”)
Saya harap dengan beberapa contoh yang dijelaskan seperti di atas, pasangan-pasangan suami-isteri tahu apa yang saya maksudkan dengan tindakan kasih. Mereka kemudian dapat melakukannya sendiri dalam keunikan hubungan mereka masing-masing.

Penyesuaian Dalam Pernikahan

Dalam Kejadian pasal 1, setiap mengakhiri satu hari penciptaan, Allah melihat bahwa yang diciptakan-Nya itu baik. Beberapa kali hal itu dinyatakan dalam pasal ini (ayat 4, 9, 18, 25). Bahkan setelah menciptakan manusia sebagai mahkota ciptaan-Nya, menurut gambar dan rupa-Nya, Ia melihat bahwa yang diciptakan itu "sungguh amat baik" (Kej 1:31). Tetapi di Taman Eden itu Allah melihat sesuatu yang tidak baik dan mengatakan, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kej 2:18). Ketidak-baikan itu karena manusia masih seorang diri saja.
Tentunya ayat ini tidak dapat digunakan untuk membuktikan bahwa keadaan menikah lebih mulia daripada keadaan tidak menikah. Sebaliknya, pernyataan Rasul Paulus dalam I Korintus 7:7 (Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku: tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu) juga tidak dapat digunakan untuk membuktikan bahwa keadaan tidak menikah lebih mulia daripada menikah. Seperti ayat di atas, Paulus dan juga Kristus mengajarkan bahwa setiap orang memiliki karunia dan panggilan yang berbeda-beda (Mat 19:12).
Untuk menghadapi setiap situasi hidup, kita memerlukan anugerah Allah. Supaya dapat hidup melajang dengan baik kita memerlukan anugerah Allah; demikian pula supaya dapat hidup dalam pernikahan dengan baik. Ada orang yang memang tidak mampu melajang seumur hidup sehingga ia menikah dan sebaliknya ada orang yang memang sebaiknya tidak menikah karena ia tidak mampu hidup dalam pernikahan dengan baik (misalnya orang yang cenderung menyebabkan penderitaan pada pasangannya dan merusak anak-anaknya).
Ada juga yang mampu hidup dengan baik, entah dalam keadaan melajang atau dalam keadaan menikah, tetapi sayangnya ada juga orang yang tidak dapat hidup dengan baik, entah ia menikah atau melajang. Memang ia memiliki kepribadian yang bermasalah.
Dalam Kejadian 2:18 kita melihat bahwa Allah sendiri yang membawa Hawa kepada Adam. Jadi, dengan iman kita juga dapat berkata bahwa Allah yang akan mempertemukan kita dengan seorang penolong yang tepat bagi kita. Memang sebagai seorang Kristen kita dapat menyerahkan diri kepada Allah agar Ia mengatur kita, termasuk pilihan teman hidup. Kita dapat yakin bahwa Dialah yang mempertemukan kita dengan suami/isteri kita. Dialah yang memberikan seorang yang baik dan tepat bagi kita.
Dalam hal ini kita harus berhati-hati dengan pemakaian kata-kata "Jodoh di tangan Tuhan.” Kata-kata ini tidak ada dalam Alkitab. Ini hanya populer di masyarakat, jadi ada kemungkinan ini adalah konsep yang salah dan kita tidak perlu mempromosikan atau meyakini konsep tersebut.
Pandangan Kristen tentang "jodoh" dan "takdir" juga tidak bersifat fatalis seperti pengertian sekuler atau beberapa agama lain. Kehidupan kita sepenuhnya ada di dalam tangan Tuhan yang melakukan semuanya itu demi kebaikan kita. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan fatalis atau "Yang akan terjadi biarlah terjadi" (Que sera-sera).
Iman Kristen tidak akan berkata, "Kalau memang saya ditakdirkan beruntung, ya akan beruntung. Kalau tidak, ya terima saja," atau, "Bintang kita memang suram tahun ini, kita tidak dapat berbuat apa-apa." Kita juga tidak berkata, "Saya memang sudah dijodohkan dengan dia dan ditakdirkan tidak akan bahagia," atau "Saya sudah dijodohkan dengannya dan memang ditakdirkan bahagia; jadi, biar bagaimanapun 'nakalnya', akan tetap bahagia."
Bagi orang-orang Tionghoa Kristen, kita juga tidak berkata, "Memangnya saya 'ciong' dengannya, makanya selalu cekcok seperti ini." Kebahagiaan pernikahan kita juga tidak ada kaitannya dengan shio, she, hari nikah, pertanda sial, bintang dan sebangsanya. Iman Kristen percaya sepenuhnya bahwa Allah yang mengasihi akan mengatur segala sesuatu demi kebaikan orang-orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28).
Allah adalah agape (1 Yohanes 4:8). Ia menghendaki, merencanakan, dan melaksanakan yang baik bagi kita, kekasih-Nya. Juga dalam hal pilihan teman hidup. Ia akan memberikan pasangan yang baik dan tepat bagi kita. Hanya dalam hal ini perlu kita menyadari bahwa yang baik bagi kita BUKAN berarti yang cantik, yang ganteng, yang kaya, yang sudah mantap karirnya, yang sudah memiliki kerohanian tinggi, yang sudah sangat dewasa, yang paling sabar, yang paling memahami kita dan sebagainya.
Yang baik bagi kita adalah yang tepat bagi kita dan kita baginya. Tidak semua kita adalah orang yang cantik atau ganteng. Sering juga kita dan pasangan kita bukan orang yang sabar, bukan yang sudah sepenuhnya dewasa, yang karirnya belum menentu, yang masih belum dapat mengendalikan emosinya. Justru dengan segala kekurangan yang ada pada kita, Allah yang maha tahu dan maha bijak mempersatukan kita dengan pasangan kita supaya bersama-sama kita menjadi dewasa sesuai dengan rencana-Nya.
Dalam pernikahan itulah--yang ada kecocokan dan ketidakcocokannya, yang ada penyesuaian dan ada konfliknya--makin lama kita makin menjadi dewasa. Memang pernikahan dengan segala gesekan dan benturan di dalamnya, menjadi alat yang ampuh dan efektif dalam tangan Allah untuk mendewasakan kita, untuk menjadikan kita seperti Kristus (Christ-like, Roma 8:29).
Mungkin bila dipasangkan dengan orang yang paling sabar di dunia, sifat kita yang sewenang-wenang justru tidak akan hilang. Mungkin dengan orang yang terlalu sabar justru tidak baik bagi kita. Allah yang mengetahui keadaan dan kebutuhan kita dengan tepat dapat mempertemukan kita dengan pasangan yang paling baik bagi kita.
Dalam Kejadian 2:18 Allah menjanjikan bagi kita seorang penolong yang sepadan dengan kita. Hawa diciptakan Allah untuk menjadi penolong Adam, bukan untuk menyainginya, menekannya, mengalahkannya, atau menindasnya. Tetapi sepadan tidak berarti sama. Jelas seorang pria tidak sama dengan seorang wanita. Secara fisik, baik dari luar ataupun dari dalam berbeda sekali. Fungsi alat-alat tubuh juga banyak berbeda. Secara psikis juga banyak berbeda.
Kesepadanan atau kecocokan itu dapat kita kiaskan antara anak kunci dengan induknya/kuncinya. Anak kunci sangat berbeda bentuknya dengan induknya. Tetapi agar mereka dapat berfungsi dengan baik, mereka harus pas satu dengan yang lain. Kalau tidak pas/cocok keduanya kehilangan kegunaannya. Hanya kalau pas, mereka dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tetapi untuk menjadi pas diperlukan proses dan usaha.
Kalau misalnya anak kunci itu rusak atau patah, kita pergi ke tukang kunci. Pertama-tama harus dicari bentuk anak kunci yang kira-kira cocok. Setelah itu anak kunci harus dibentuk, dipotong dengan mesin potong, dan dihaluskan dengan sebuah kikir. Baru setelah melalui proses yang "menyakitkan" itu, anak kunci itu cocok dengan induknya. Dan mereka dapat berfungsi menurut "panggilan" mereka.
Pasangan yang diberikan Allah kepada kita, dan kita sendiri, harus juga melalui proses penyesuaian yang memerlukan usaha keras dan konflik yang "menyakitkan," agar dapat tercapai keharmonisan seperti yang dikehendaki Pencipta kita. Pasangan kita dan kita sendiri adalah bahan dasar yang sepadan. Melalui usaha keras dalam hubungan suami-isteri, kita dibentuk oleh Allah sehingga menjadi dewasa sesuai dengan kehendak-Nya (Ef 4:13-15). Kebahagiaan dalam keluarga TIDAK datang secara otomatis karena kita dijodohkan Allah, tetapi pada kita diberi potensi untuk bahagia. Dan dalam Kristus kita menerima Roh-Nya yang akan membantu kita dalam proses penyesuaian ini.


PENYESUAIAN DALAM PERNIKAHAN

Coba kita pelajari usaha penyesuaian dalam pernikahan:
Pertama kita menarik sebuah garis yang kita sebut garis nol (lihat gambar 5a). Bila hubungan sepasang suami-isteri terletak di atas garis nol ini, maka mereka berbahagia. Makin jauh di atas garis nol (titik A), makin tinggi ting¬kat kebahagiaan mereka. Sebalik¬nya bila hubungan seorang dengan pasangannya terletak di bawah garis nol, itu berarti mereka tidak berbahagia. Makin jauh di bawah garis nol (titik D), makin tidak berbahagia pasangan itu.
Keadaan bahagia itu terjadi di mana ada keserasian, menjadi seperti yang dikehendaki Allah bagi kita, serta banyaknya emosi-emosi positif seperti kasih sayang, sabar, lemah lembut, tenang, damai. Sebaliknya ketidak-bahagiaan ditandai dengan konflik terus-menerus yang tidak terselesaikan dan banyaknya emosi-emosi negatif seperti: kemarahan, kesedihan, kepahitan, iri, cemburu, benci dan dendam untuk waktu yang lama.
Dalam pernikahan banyak hal yang dapat menyebabkan berkurangnya kebahagiaan, yang dalam gambar di atas dinyatakan dengan panah ke bawah, dan banyak pula yang menambah kebahagiaan (panah ke atas). Untuk menjelaskan penyesuaian dalam pernikahan, kita akan melihat contoh tentang beberapa faktor yang mungkin bersifat negatif (menurunkan penyesuaian dan mengurangi kebahagiaan) dan kemudian beberapa faktor yang bersifat positif (meningkatkan penyesuaian dan menambah kebahagiaan). Faktor-faktor ini bersifat relatif, artinya bagi satu pasangan sebuah faktor mungkin bersifat negatif, sedang bagi pasangan lain, hal yang sama justru bersifat positif.
Suami isteri merupakan dua orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Mereka dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dengan nilai, prioritas dan kebiasaan yang berbeda. Karena perbedaan-perbedaan ini maka di antara mereka, sedikit banyak akan ada konflik.
Pepatah “Asam di gunung, ikan di laut bertemu dalam belanga” menggambarkan perbedaan suami-isteri itu dalam pernikahan. Meskipun akhirnya bertemu di belanga dan di bawah olahan seorang koki dapat menjadi masakan yang enak, tetapi yang satu adalah asam dari gunung dan yang lain adalah ikan dari laut. Yang satu dari daerah tinggi, sejuk dan kering; yang lain dari daerah rendah, panas dan basah.
Contoh perbedaan yang mungkin dapat menimbulkan faktor negatif tampak pada gb. 5b.
Yang pertama ialah adanya perbedaan PENDIDIKAN yang besar. Perbedaan seperti ini mudah menjadi faktor negatif dalam penyesuaian suami-isteri.
Seorang isteri mungkin putus sekolah waktu di kelas 2 SMA, jadi ijazahnya adalah ijazah SMP, sedangkan suaminya adalah seorang ahli bedah. Mereka bertemu waktu suami masih mahasiswa tingkat pertama dan menikah sebelum ia lulus menjadi dokter. Sementara suaminya kuliah, isterinya bekerja.
Lingkungan suami adalah lingkungan intelektual medis di sebuah rumah sakit sehingga dalam aktivitas sosial mereka, isteri dapat merasa terasing. Kalau ada pesta di rumah sakit dan suami mengajak isterinya, si isteri mungkin akan merasa rendah diri di tengah para dokter dan jururawat. Mungkin ia berpikir, "Saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Kenapa mereka tiba-tiba tertawa. Kalau saya berbicara sedikit saja dengan jururawat-jururawat, akan ketahuan bodohnya saya ini."
Akibatnya, dalam pesta itu ia menyendiri saja duduk di pojok, dan hanya berbicara kalau diajak berbicara. Lama kelamaan suaminya mungkin akan menjadi malu karena isterinya. Akhirnya si isteri mungkin segan datang ke pesta-pesta di rumah sakit. Tentunya suami yang sendiri datang ke pesta-pesta bukan merupakan hal yang baik. Godaan perselingkuhan akan besar.
Selain itu perbedaan pendidikan yang besar menyebabkan perbedaan dalam cara berpikir, menalar, mengambil kesimpulan dan mengambil keputusan. Suami jengkel melihat cara isteri mengambil keputusan yang "kekanak-kanakan" dan isteri tidak mengerti cara suami mengambil keputusan.
Hal yang sama berlaku pula bila isteri yang pendidikannya jauh lebih tinggi dari suaminya. Suaminya yang akan menjadi minder. Itulah sebabnya pilihan calon suami bagi wanita-wanita yang sudah sarjana menjadi berkurang (pria yang berpendidikan lebih rendah akan minder mendekati wanita yang berpendidikan lebih tinggi).
Tidak adanya penyesuaian seperti ini dapat dikurangi bila pasangan yang berpendidikan formal lebih rendah memiliki kecerdasan yang cukup tinggi dan mau terus belajar dan membaca hingga ia dapat mengimbangi pendidikan pasangannya.
Perbedaan KEBIASAAN yang pasti ada antara sepasang suami-isteri, mungkin merupakan faktor negatif yang besar.
Seorang isteri dibesarkan dalam sebuah keluarga besar oleh seorang ibu yang perfectionist, yang menghendaki semuanya harus sempurna dan tepat. Karena itu, segala sesuatu di rumah harus berfungsi pada tempatnya. Sepatu-sepatu harus diletakkan di rak sepatu kalau tidak dipakai. Perabot-perabot harus selalu teratur, tetap letaknya dan rapi. Lantai bersih mengkilap. Setiap bangun tidur anak-anak harus segera membenahi tempat tidur masing-masing. Tempat tidur hanya digunakan untuk tidur, tidak boleh untuk tempat bermain, bergurau ataupun membaca. Pakaian-pakaian bersih dimasukkan dalam lemari masing-masing dan ada tempat tersendiri untuk pakaian kotor.
Sebaliknya suami adalah anak tunggal yang dimanjakan oleh ibunya. Waktu pulang sekolah dulu, sementara masuk rumah, bajunya yang basah oleh keringat dilepaskan dan diletakkannya di sofa depan. Ia melepaskan sepatu dan kaos kakinya di ruang tamu. Sementara itu, ia menceritakan pengalamannya hari itu kepada ibunya yang sedang mempersiapkan makan siangnya. Setelah itu, masih tanpa baju, ia duduk di meja makan, sambil ditemani ibunya yang telah rindu pada anaknya setelah ditinggal setengah hari. Ia tahu bahwa nanti ibu atau pembantunya yang akan mengumpulkan baju, sepatu, kaos kakinya, dan ibunya akan melakukannya dengan senang untuk anak tunggal ini.
Di tempat tidurnya anak tunggal ini sering belajar, mendengarkan CD-nya, ngobrol dengan teman-temannya dan sekali pernah mengadakan rujak party. Ia tidak pernah harus merapikan kamar tidurnya.
Setelah keduanya menikah, si isteri selalu mengomel kalau suami tidak menggantungkan pakaiannya di tempat semestinya. Ia menjadi perfectionist seperti ibunya dan menganggap cara ibunyalah yang paling baik, karena itulah satu-satunya cara yang diketahuinya. Ia marah kalau sehabis mandi suaminya meletakkan handuk basah di tempat tidur. Suatu saat tulang keringnya terantuk keras pada laci lemari yang oleh suaminya lupa didorong masuk seluruhnya. Ia sangat marah, melihat suaminya yang berpendidikan tinggi "tidak masuk akal.” "Selamanya dan di mana saja laci itu setelah selesai dipakai harus didorong masuk sepenuhnya." Sang suami menganggap isterinya tidak masuk akal.
Sebaliknya sang suami tidak dapat mengerti mengapa isterinya marah-marah kalau ia mengangkat anaknya dan bergelut dengannya di tempat tidur ("Jangan main di tempat tidur. Tempat tidur hanya untuk tidur. Namanya saja tempat tidur. Sudah sarjana masih belum mengerti juga.") Bantahannya: "Ini tempat tidur kita. Kita beli dengan hasil keringat kita sendiri. Mengapa tempat tidur hanya untuk tidur ? Mau kita bakar juga urusan kita. Penjualnya malah senang kita harus beli lagi."
Si suami juga merasa jengkel ketika berusaha mengajar isterinya untuk memencet tapal gigi/odol mereka dari ekornya, tetapi tidak pernah berhasil. Si isteri selalu memencet odol di leher atau perut. Memang si suami selalu melihat ayahnya memencet odol dari ekor. Kemudian setelah setengah habis, ayahnya menggunakan pangkal sikat gigi untuk menekan bagian yang telah kosong lalu secara rapi melipatnya ke depan. Dengan demikian tidak ada odol yang terbuang. "Mengapa memencet odol selalu di leher atau perutnya. Kenapa tidak di ekornya?.” Si isteri kemudian menjawab, "Ini odol kita sendiri, kita beli dengan hasil keringat kita sendiri. Mau dipencet di lehernya atau kita bakar juga urusan kita.'
Hal-hal seperti ini rasanya kecil, tetapi sering menjadi sumber konflik dan dapat menjadi pertengkaran yang tidak selesai-selesai. Dalam hal ini siapa yang harus kita salahkan? Siapa yang benar, siapa yang salah. Apakah ada bimbingan Firman Allah? Tidak ada. Memang tidak ada yang salah. Suami dan isteri itu mempunyai pendidikan dan latar belakang yang berbeda, kebiasaan-kebiasaan yang mereka lihat dan serap juga berbeda; sebab itu keyakinan mereka tentang “tingkah laku yang tepat” berbeda pula.
Kemungkinan faktor negatif lain dalam pernikahan ialah perbedaan SOSIAL EKONOMI keluarga asal mereka (lihat gb. 5b).
Perbedaan lingkungan sosial yang tajam, misalnya dari kalangan ningrat menikah dengan seorang dari kalangan buruh atau petani, dapat menyebabkan perbedaan nilai, etiket, dan etika; cara berbicara dan perbendaharaan kata mereka, cara menanggapi dan memecahkan suatu masalah hidup. Bahkan perbedaan cara makan pun ditentukan oleh perbedaan lingkungan sosial masa lampau seseorang.
Suatu ketika waktu masih menjadi mahasiswa di Kansas City, saya pernah diundang makan di rumah seorang teman gereja. Teman ini sebaya dengan saya dan waktu itu ia sudah menikah dan mempunyai seorang putra. Setelah makan kami masih duduk di sekitar meja makan sambil bercakap-cakap. Piring dan alat-alat makan lainnya belum disingkirkan. Sementara kami bercakap-cakap itu, tiba-tiba teman saya mengambil garpunya dan menggunakannya untuk menggaruk punggungnya. Melihat itu isterinya merasa malu dan marah padanya. Ia meminta maaf pada saya untuk perbuatan suaminya.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mungkin teman saya itu dibesarkan oleh seorang bapak yang juga sering menggaruk dengan sendok, garpu atau pisau makan. Seorang anak yang dibesarkan oleh orangtua yang sering meludah di lantai atau di tanaman hias, atau membuang sampah di sebarang tempat, tidak akan merasa bersalah dan tidak akan merasa malu dilihat orang lain melakukan hal-hal yang sama juga.
Memang kita tidak lagi hidup di jaman Siti Nurbaya, di mana pernikahan antara dua orang dari kedudukan sosial yang berbeda tidak dikehendaki, tetapi kepribadian dan kebiasaan kita tidak lepas dari bentukan lingkungan hidup dan nilai-nilai orang penting, terutama orangtua, dalam hidup kita. Ini berlaku juga di masyarakat modern.
Seorang pendeta pernah bercerita kepada saya tentang temannya yang dari keluarga ningrat di Yogya. Pemuda ini belajar di Australia. Di sana ia menikah dengan seorang wanita kulit putih Australia. Setelah menyelesaikan studi, mereka kembali ke Indonesia dengan maksud menetap di sini. Ternyata tidak lama kemudian mereka harus kembali ke Australia dan menetap di sana.
Tidak ada kecocokan antara ibu dengan isteri pemuda ini. Salah satu penyebabnya ialah kebiasaan wanita kulit putih ini. Ia suka bertolak pinggang--bukan karena menantang dan tidak menghormati, tetapi karena suatu kebiasaan yang lazim baginya sebagai wanita barat, bahkan suatu pose yang menarik dalam dunia peragaan. Mertuanya yang melihat hal itu tidak dapat menerimanya. Bertolak pinggang adalah suatu hal yang tabu bagi mereka, terutama di kalangan ningrat.
Hal lain ialah cara duduknya. Pernah satu kali ibu mertua ini keluar dari kamarnya untuk duduk di ruang depan. Ia melihat menantunya sudah duduk di sana dengan celana pendek dan kaki yang di silang tegak lurus, juga suatu cara duduk yang lazim bagi wanita barat itu. Melihat hal ini, ibu itu diam-diam masuk lagi ke kamarnya sambil mengelus-elus dadanya.
Masih banyak perbedaan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang menyebabkan wanita Australia itu tidak betah tinggal di Indonesia sehingga akhirnya mereka balik ke Australia.
Perbedaan nilai disebabkan oleh perbedaan sosial keluarga asal mereka, juga merupakan faktor yang peka dalam usaha penyesuaian dalam pernikahan. Mungkin perbedaan ini lebih tajam daripada perbedaan tata cara dan etiket. Perbedaan nilai ini juga dapat disebabkan karena perbedaan taraf ekonomi keluarga asal suami-isteri itu. Nilai-nilai menentukan tujuan hidup, filsafat hidup dan apa yang diutamakan dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Hal ini tentunya mempengaruhi hirarki keluarga dan prioritas hidup.
Seorang yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang berlimpah dengan uang akan mempunyai nilai yang berbeda sekali terhadap uang dibandingkan dengan seorang dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Kekikiran dan keborosan suami/isteri sering menyebabkan konflik-konflik yang tajam dalam keluarga.
Demikian pula suami isteri yang berasal dari bangsa atau suku yang berbeda (lihat gb. 5b). Perbedaan BANGSA/SUKU BANGSA ini dapat menjadi faktor negatif yang besar. Dalam hal ini perlu saya tekankan bahwa saya tidak menentang perkawinan campuran bangsa atau suku bangsa, tetapi kita harus melihat faktor-faktor negatif yang mungkin timbul dalam perkawinan antar suku/bangsa secara realistis.
Setiap bangsa atau suku mempunyai temperamen atau sifat sendiri, dan hal itu mempengaruhi dan membentuk kepribadian tiap anggota suku/bangsa itu. Bila sepasang suami-isteri berasal dari suku/bangsa yang mempunyai temperamen, adat, kebudayaan dan kebiasaan yang sangat berbeda, maka mereka mungkin sekali mengalami kesulitan dalam penyesuaian.
Jikalau kita mengadakan konseling pra-nikah dengan sepasang muda-mudi yang akan menikah, kita wajib membicarakan semua hal yang kelak mungkin menjadi hambatan dalam usaha mereka menuju kebahagiaan keluarga. Kita membicarakan perbedaan latar belakang mereka dan kalau kita mengetahui mereka berasal dari bangsa atau suku sangat yang berbeda adat dan budayanya, kita perlu menyediakan waktu untuk membahas perbedaan itu.
Perbedaan temperamen, adat, dan kebudayaan bangsa/ suku yang besar mungkin menyebabkan faktor negatif yang besar pula sedangkan perbedaan yang kecil mungkin tidak akan begitu berpengaruh. Misalnya konflik dalam pernikahan dari seorang asal Jawa Timur dan Jawa Tengah mungkin tidak akan sebesar konflik pernikahan seorang dari suku Batak dengan seorang suku Jawa dari Solo. Konflik-konflik karena perbedaan suku/bangsa ini tentunya harus diatasi dengan kedewasaan suami-isteri itu juga. Meskipun kita hidup di negara Bhinneka Tunggal Ika, tetapi sumber konflik karena perbedaan adat dan budaya suku akan masih ada.
Perbedaan temperamen suku bangsa sering tidak tampak pada dua sejoli yang sedang mabuk eros. Tampaknya perbedaan ini bukan masalah yang besar. Setelah mereka menikah dan cemerlang eros tidak lagi menutupi mata mereka, barulah mereka melihat konflik-konflik besar karena perbedaan temperamen dan adat suku. Untuk mengatasi konflik-konflik ini diperlukan agape.
Ada beberapa buku yang telah membahas temperamen, kepribadian dan cara berpikir suku-suku bangsa dalam negara kita (misalnya sudah ada buku-buku tentang orang Jawa, Minangkabau, Bali, keturunan Tionghoa dan lain-lain). Sebagai konselor kita perlu mempelajari perbedaan-perbedaan temperamen ini untuk dapat memberi konseling pra-nikah dengan baik kepada pasangan yang berbeda suku.
Suatu sumber konflik lain yang tidak digambar pada gb. 5b ialah TUJUAN HIDUP. Perbedaan tujuan hidup yang tajam dapat menimbulkan konflik. Bahkan tujuan hidup yang sama tetapi tidak diselaraskan pun dapat menimbulkan konflik. Misalnya sepasang suami-isteri bintang film mempunyai tujuan yang sama: menjadi tenar. Bagi mereka, tujuan yang sama ini dapat menjadi persaingan yang tajam, apa lagi kalau sang isteri melesat jauh lebih tenar dari suami dan sang suami menjadi minder.
Hal yang mirip dapat terjadi pada sepasang suami-isteri yang sama-sama bekerja dan berusaha memajukan karir, tetapi pendapatan isteri jauh lebih tinggi daripada pendapatan suaminya. Keadaan ini mungkin menyebabkan suami merasa rendah diri dan tidak dibutuhkan lagi, sedangkan isteri tergoda untuk menjadi dominan, merasa lebih dari suaminya, tidak mau tunduk lagi kepadanya, ataupun mempunyai perasaan "tidak membutuhkan" suaminya lagi.
Konflik karena perbedaan tujuan hidup ini tampak pula kalau suami atau isteri lebih mementingkan karirnya daripada keluarganya, lebih mementingkan pelayanan kepada orang lain, gereja dan masyarakat daripada melayani dan mengasihi pasangan dan anak-anak mereka. Mungkin suami mempunyai suatu tujuan untuk menyerahkan diri bagi panggilan hidupnya, misalnya pelayanan sosial, atau pelayanan dalam ladang Tuhan, sedangkan isterinya tidak mempunyai panggilan hidup yang sama, tidak memahami suaminya, atau malahan mempunyai keinginan yang berlawanan.
Seorang dokter yang idealis mempunyai panggilan hidup untuk melayani masyarakat di daerah terpencil dan minus. Ia sangat dihormati oleh orang-orang di desanya. Ia merasa dirinya sangat terpenuhi hidupnya. Tidak demikian dengan isterinya, seorang anak kota, Jakarta, dari keluarga kaya. Ia mempunyai hobi bermain piano dan suka sekali shopping di mal. Ketika sedang berpacaran mereka tenggelam dalam cinta eros. Si gadis bangga dengan calon suaminya walaupun mendekati saat pernikahan mereka, gadis ini mulai merasa cemas dan was-was.
Selama dua, tiga tahun si isteri dapat memaksa dirinya untuk ikut berkorban, tinggal di desa tanpa listrik, piano dan mal. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka tampak banyak konflik. Pada tahun ke empat si isteri merasa dirinya hampir menjadi gila. Ia kemudian memberi ultimatum kepada suaminya: kembali ke kota atau berpisah. Setahun kemudian mereka berpisah, isteri kembali ke kota dan suami tetap di daerah yang terpencil karena ia lebih memilih panggilan hidupnya daripada isterinya.
Dalam kasus seperti ini kita tidak dapat mudah mempersalahkan sang suami atau isteri. Kasus yang serupa sering terjadi pada seorang pendeta yang mempunyai isteri yang tidak dapat mengerti panggilan hidupnya. Konflik seperti ini bukan hanya terjadi pada pendeta yang bertugas di daerah yang gersang dan minus, tetapi juga di kota-kota besar. Isteri yang tidak merasakan "panggilan" sebagai seorang isteri pendeta, tidak akan dapat menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang mempunyai banyak batasan seperti itu. Dalam hal inipun kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak.
Pada pernikahan, ada satu hal lagi yang merupakan sumber konflik luar biasa, yaitu: PERBEDAAN AGAMA. Kalau kita dapat mengukur besar faktor-faktor negatif di atas, perbedaan agama jauh lebih besar daripada faktor negatif lainnya. Banyak agama yang menyadari hal ini sehingga melarang perkawinan campur agama.
Alkitab juga dengan tegas melarang hal ini. Di dalam Perjanjian Lama, Allah sudah memberikan petunjuk tentang hal ini dengan jelas dalam Kel. 34:16; Ul. 7:3, 4; Ezra pasal 10 dan Neh. 13:26, 27;. Tujuan dari larangan ini adalah pencegahan supaya umat Allah tidak menyembah berhala setelah mengambil suami/isteri asing. Kecenderungan untuk menyembah berhala ini sangat besar dalam pernikahan dengan pasangan yang masih menyembah berhala.
Larangan Allah bagi anak-anak-Nya untuk menikah dengan orang yang tidak bertuhankan Kristus seperti dalam Perjanjian Lama masih berlaku sampai sekarang. Di hadapan Allah nilai keselamatan kekal jauh lebih tinggi daripada seluruh isi dunia ini. "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Mat. 16:26). Yang dimaksudkan dengan "seluruh dunia" termasuk seorang suami atau isteri, yang bagaimanapun tampan atau cantiknya, berkedudukan tinggi, kaya, dan "baik,” tetapi menyebabkan kita berpaling dari Kristus. Nyata sekali bahwa keselamatan kita lebih penting dan lebih utama daripada hubungan kita dengan seseorang.
Begitu kuatnya kebenaran ini sehingga Allah dalam firman-Nya mengizinkan perceraian bagi pernikahan yang mengancam keselamatan seseorang. "Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat..." (1 Kor. 7:15).
Kalau suami/isteri yang tidak beriman kepada Kristus memberi ultimatum kepada pasangan yang beriman seperti ini: “Tinggalkan Kristus atau engkau akan kuceraikan, pilih aku atau Kristusmu,” maka yang beriman boleh menerima perceraian itu. Tetapi bila yang tidak beriman mau tetap hidup dengan pasangannya yang beriman, maka yang beriman tidak boleh menceraikan yang tidak beriman. Jadi, perceraian tidak boleh datang dari pihak yang beriman kepada Kristus. Memang kalau seorang dipaksa untuk memilih antara Kristus atau pasangannya, diharapkan Kristus lebih penting baginya daripada apa pun atau siapa pun.
Perlu diingat bahwa I Korintus 7:12-16 menggambarkan situasi sepasang suami-isteri yang pada waktu menikah keduanya belum beriman, tetapi kemudian seorang di antaranya menjadi Kristen. Untuk orang-orang beriman yang belum menikah, berlaku perintah Allah untuk tidak menikah dengan orang yang tidak bertuhankan Kristen seperti dalam II Korintus 6:14,15 dan I Korintus 7:39.
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat dalam antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?"
"Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya."
Sebuah faktor lain yang dapat menjadi faktor negatif dalam pernikahan ialah KEUANGAN. Keadaan keuangan yang selalu kurang dalam keluarga dapat melenyapkan kebahagiaan keluarga. Tentunya tidak adanya uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama keluarga akan sangat mempengaruhi hubungan suami-isteri itu. Mereka mungkin sering merasa cemas, frustrasi, rendah diri, dan menderita dalam kemiskinan yang parah. Jadi, penghasilan keluarga juga banyak menentukan kebahagiaan suatu keluarga.
Penghasilan keluarga ini sangat erat hubungannya dengan pendidikan dan ketrampilan pencari nafkah dalam keluarga itu. Memang secara umum, ada kaitan antara kebahagiaan keluarga dengan pendidikan suami atau isteri dalam keluarga itu. Dari penelitian didapatkan bahwa pendidikan suami-isteri yang tinggi akan menyebabkan kebahagiaan pernikahan yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan suami-isteri dengan pendidikan rendah.
Keadaan yang sebaliknya juga mungkin berlaku dimana kelimpahan uang yang luar biasa dapat menjadi faktor negatif suatu pernikahan. Dengan banyaknya uang, anak-anak dapat menjadi terlalu manja dan memiliki nilai-nilai buruk. Dengan berlimpahnya uang, keinginan untuk berdosa dapat timbul (misalnya hadirnya seorang PIL atau WIL—pria atau wanita idaman lain.)
Kembali kepada gb. 5b, kalau suami/isteri mempunyai faktor-faktor negatif besar seperti itu, dan misalnya kita dapat mengukur faktor-faktor negatif itu sebesar -50, maka dengan keadaan seperti itu, kemungkinan besar mereka tidak akan mempunyai pernikahan yang bahagia. Mereka mungkin akan bercerai, ataupun kalau tidak bercerai secara de jure (secara hukum), akan bercerai secara de facto (secara kenyataan).
Tetapi syukurlah, terutama bagi mereka yang dalam Kristus, karena ada faktor-faktor positif yang dapat mengimbangi faktor-faktor negatif itu. (lihat gb. 5c).

Satu faktor positif yang utama ialah kasih AGAPE. Agape akan banyak sekali menutupi kekurangan-kekurangan yang disebabkan oleh faktor-faktor negatif yang di sebelah kiri. Di samping agape, kasih EROS dan kasih FILIA juga merupakan faktor-faktor positif dalam pernikahan meskipun tidak sebesar agape.
Setelah itu, MENGAMPUNI adalah suatu faktor yang sangat diperlukan dalam pernikahan. Dalam hubungan sehari-hari sebagai suami/isteri akan banyak sekali tampak kelemahan dan kesalahan pasangan kita. Kesalahan dan kelemahan itu akan nyata dalam cara bertindak, berpikir, ataupun sikapnya. Sebaliknya kelemahan dan kesalahan kita juga akan tampak oleh pasangan kita. Setelah mengetahui kesalahan dan kelemahan ini, kita dapat menyimpannya di hati kita sehingga kita menjadi kecewa, kehilangan penghargaan terhadapnya, menjadi pahit dan getir, benci dan mendendamnya.
Kita dapat juga bertindak lain, yaitu mengampuni serta melupakan kelemahan dan kesalahan-kesalahan itu. Dengan demikian kita akan terhindar dari kepahitan dan kegetiran. Dengan mengasihi dan mengampuninya, kita akan dapat menerima kelemahan-kelemahannya sebagaimana adanya.
Memang sukar mempunyai faktor mengampuni ini, tetapi suami/isteri yang memilikinya akan dapat mengatasi banyak problema pernikahan dan tidak memberi kesempatan timbulnya banyak sumber konflik. Banyak pernikahan hancur, atau paling sedikit tidak bahagia, karena tidak adanya faktor ini.
Sering dalam perselisihan, kita mendengar suami/isteri mengungkit-ungkit kembali kesalahan pasangannya yang dilakukan seminggu, sebulan, setahun yang lalu, bahkan kesalahan yang dilakukan waktu mereka masih berpacaran. Sakit hati masa lampau diungkit kembali yang tentu saja akan semakin membakar dan mengobarkan perselisihan antar mereka.
Dalam Matius 18:21-35 Yesus Kristus memerintahkan agar kita mengampuni seseorang bukan saja sekali, tiga kali, atau tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Siapa yang mungkin bersalah kepada kita sampai 70 x 7 x itu? Hampir tidak ada, kecuali pasangan hidup kita dan mungkin anak atau orangtua kita. Kita mendengar seseorang berkata, mungkin dengan bangga, "Saya ampuni suami saya sekali, dua kali, bahkan sampai tiga kali. Sesudah itu, jangan harap saya mengampuninya lagi." Yesus meminta jauh lebih dari tiga kali saja dari orang beriman, bagi warga negara Kerajaan Allah.
Kalau kita bersalah terhadap pasangan kita satu kali seminggu saja--ini sudah sedikit sekali--maka setahun sudah 52 kali dan dalam sepuluh tahun sudah lebih dari 70 x 7. Lalu apakah ia boleh mulai mendendam dan menceraikan kita setelah lebih dari sepuluh tahun menikah? Yesus masih memerintahkan mengampuni lebih dari itu: 70 x 7 x, masih kali lagi, seterusnya, sama seperti Bapa kita di Surga tanpa batas, tak henti-hentinya mengampuni kita.
Faktor positif lain ialah MINTA AMPUN. Sering seorang suami atau ayah merasa bahwa dengan meminta ampun jika ia melakukan suatu kesalahan akan menghilangkan penghargaan isteri dan anak-anaknya terhadap dirinya. Sebab itu ia tidak akan minta ampun meskipun anaknya, isterinya, dirinya, dan bahkan para pembantu di rumah tahu bahwa ia yang bersalah.
Pandangan ini keliru sekali. Ia malah akan kehilangan respek isteri dan anak-anaknya jika ia tidak mau mengaku salah bila ia bersalah dan bersikeras menjalankan kehendaknya. Kalau hal ini terus terjadi, maka bukan saja isteri dan anak-anaknya akan kehilangan penghargaan terhadapnya, mereka malah akan benci kepadanya.
Seorang ayah dalam keadaan lelah pulang dari pekerjaannya mendapatkan putranya yang sulung ribut berkelahi dengan adiknya. Ayah itu langsung memukul si sulung sehingga anak itu menangis dan lari masuk kamarnya. Kemudian dari isterinya ia mendengar bahwa sebenarnya yang bersalah dan yang memulai perselisihan itu adalah si adik.
Apa yang sekarang dilakukan oleh ayah itu? Kalau ia berkata. "Biar, pukulan itu untuk waktu-waktu yang lalu ketika ia nakal dan tidak dihukum," mungkin ia mulai menumbuhkan rasa "tidak adil" dan sakit hati yang lama-lama bisa menjadi benci dalam diri si sulung.
Sebaiknya ia masuk kamar anaknya dan berkata, "Nak, ampuni ayah. Tadi ayah tanpa memeriksa lebih dulu langsung memukul kamu. Kata mama kamu tidak bersalah." Si sulung akan bisa mengampuninya dan rasa hormatnya terhadap ayahnya tidak akan berkurang. Lebih dari itu ia akan belajar bahwa ayahnya bukan Allah yang tidak bisa berbuat salah, tetapi manusia biasa saja. Anak itu akan memasuki suatu tahap penting dalam pendewasaan seseorang: sadar bahwa ayahnya bukan “Allah” yang tidak bisa melakukan kesalahan tetapi ayahnya juga bukan “iblis” yang jahat dan selalu sewenang-wenang.
Karena dalam hubungan suami/isteri kita sering bersalah dan berdosa terhadap pasangan kita, maka kita tidak boleh segan-segan meminta maaf dan ampun kepadanya. Permintaan ampun ini akan banyak meredakan kepahitan, benci, dan dendam.
Faktor positif lain ialah KESETIAAN pada pasangan.
Sebelum menikah, pada masa akan menentukan calon teman hidup kita, kita sering bingung dan bertanya-tanya melihat banyaknya pilihan yang ada. Kalau kita seorang pria, mungkin kita berpikir, "Mana pilihan yang tepat? Nita cantik dan anggun, Sinta sexy dan populer, Maria rasanya sangat rohani dan aktif di gereja. Mana yang baik buat saya?" Kemudian kita berpikir, "Nanti kalau saya sudah menikah, problema godaan ini pasti tidak akan ada lagi. Setelah menikah, wanita-wanita lain tidak akan menarik lagi karena saya akan sangat mengasihi isteri saya."
Tetapi kenyataannya tidak demikian, karena setelah menikah wanita-wanita yang tadinya menarik itu akan tetap menarik: Nita tetap anggun dan cantik, Sinta tetap sexy, dan Maria tetap rohani. Meskipun kita mencintai pasangan kita, godaan-godaan itu tetap ada. Godaan ini akan lebih parah lagi kalau ada perselisihan yang mendalam dan kekecewaan terhadap pasangan. Timbul pikiran-pikiran: "Apakah saya tidak salah pilih? Kalau saya menikah dengan Maria yang sabar itu, mungkin tidak seperti ini. Apa waktu menikah dulu saya ada dalam kehendak Tuhan?"
Bila godaan akan tetap ada, apa yang menyebabkan seorang suami tetap pulang setiap petang kepada isterinya? Jawabannya ialah: Kesetiaan. Meskipun di kantornya ia dikelilingi oleh wanita-wanita muda yang cantik, apa yang menyebabkannya tetap setia kepada isterinya yang sudah tidak muda itu? Jawabannya ialah: Komitmennya untuk setia. Ini adalah unsur ketetapan hati dan ketetapan kehendak. Kesetiaan suami/isteri kepada pasangannya sangat membantu kestabilan suatu pernikahan.
Ada suatu pepatah dalam bahasa Inggris yang mengatakan "Grass is greener on the other side of the fence." (Rumput dibalik pagar tampaknya lebih hijau daripada rumput di halaman kita, lihat buku “Mengatasi Masalah Hidup,” ps. VII). Memang apa yang bukan milik kita kadang-kadang kelihatannya lebih menarik, lebih indah, lebih cantik, dan lebih memuaskan daripada apa yang kita miliki. Setelah menikah, ada pria dan wanita yang kelihatannya lebih menarik daripada pasangan kita. Membanding dengan orang lain, kadang-kadang kita merasa bahwa pasangan kita kalah jauh dengan mereka, terutama kalau kita sedang berada dalam masalah yang lama tak terselesaikan. Kita akan tergoda untuk berpikir, "Betapa nikmatnya kalau saya memiliki Sinta, sayang tidak."
Banyak orang yang kemudian mewujudkan pikiran itu. Tetapi banyak dari mereka yang kemudian merasa kecewa karena setelah apa yang bukan miliknya itu menjadi miliknya, ternyata kemudian tampak tidak menarik lagi. Setelah "rumput" di balik pagar halaman tetangga itu masuk dalam halaman kita, "rumput" itu kelihatannya tidak hijau segar lagi. Apa yang dulu menggiurkan, ternyata setelah didapat sekarang, tidak menggiurkan lagi. Malah karena sekarang harus membiayai dua rumah tangga, isteri muda yang ternyata banyak permintaan itu, kelihatan jelek dan menjadi beban seperti lintah yang telah melekat.
Sebagai pengikut-pengikut Kristus, tentunya kita harus melawan godaan-godaan ini. Usaha ini akan lebih mudah dilakukan kalau didasarkan iman kepada firman Allah dan bukan hanya ketetapan hati belaka. Pada permulaan pasal ini kita melihat bahwa Allah tidak memberikan kepada kita pasangan yang cantik, yang sabar, yang dewasa dalam iman, dan sebagainya, tetapi yang baik dan tepat bagi kita.
Roma 8:28 memberi keyakinan kepada kita bahwa bagi kita yang sudah menikah, Allah bekerja untuk kebaikan kita ketika kita dulu menikah. Peristiwa itu bukan suatu kebetulan, bukan suatu kesalahan, dan bukan suatu yang luput dari pengetahuan Allah. Allah yang mahatahu itu sudah mengetahuinya berjuta-juta tahun sebelumnya. Soalnya sekarang ialah, apakah kita membiarkan godaan-godaan menghancurkan kita, atau, apakah janji nikah dan komitmen kita waktu pernikahan kita diberkati tetap berlaku?
Pertanyaan kunci yang menentukan sikap, tingkah laku dan kata-kata kita ialah bagaimana pernikahan kita dapat menjadi kebaikan bagi kita dan pasangan kita, menjadikan kita dari hari ke hari semakin dewasa di dalam Kristus? Bagaimana seharusnya sikap kita menghadapi konflik dan gejolak pernikahan sehingga godaan-godaan itu tidak menghancurkan kita, tetapi malah membuat kita menjadi lebih sabar, lemah lembut, mengasihi, baik dan pandai menguasai diri?
Selanjutnya, DAMAI sejahtera dan KESABARAN juga merupakan unsur positif. Kalau suami-isteri itu mempunyai damai sejahtera yang ada dalam Kristus sendiri dan yang sudah dijanjikannya bagi anak-anak-Nya, maka pernikahan mereka tidak akan mudah goyah.
Yoh. 14:27 "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu, Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu"
Bila damai sejahtera yang ada dalam Kristus hadir dalam diri sepasang suami-isteri, mereka tidak akan mudah merasa frustrasi atau cemas menghadapi segala peristiwa dan ancaman dalam hidup. Mereka seperti air yang tenang dan tak mudah bergejolak. Mereka tahan menghadapi hantaman-hantaman dalam hidup dan tidak mudah panik. Kesabaran adalah sifat yang penting pula yang berhubungan dengan damai sejahtera.
Faktor positif lain dalam pernikahan ialah KELEMAH-LEMBUTAN. Masing-masing tidak kasar terhadap pasangannya. Mereka tidak menunjukkan kekerasan fisik dan ketajaman kata-kata yang menyakitkan, tetapi kesabaran dan kelemah-lembutan. Biasanya bila bertengkar, kita berusaha memilih kata-kata yang dapat menghantam setelak-telaknya dan menyebabkan rasa sakit yang sedalam-dalamnya. Setelah menikah bertahun-tahun, kita tahu kelemahan-kelemahan pasangan kita sehingga pilihan kata-kata kita bisa kejam sekali. Suami/isteri yang mempunyai kelemah-lembutan tidak akan memilih kata-kata yang menyakitkan, melukai, menghina, meremehkan, apalagi yang membunuh harga diri pasangannya.
Untuk ini perlu juga faktor positif PENGUASAAN DIRI. Suami/isteri dapat menguasai atau mengendalikan dirinya, baik dalam ucapan, perbuatan, pikiran, maupun keinginannya. Tangan tidak suka melayang untuk menyakiti, mulut dapat dikuasai, dan keinginan-keinginan dapat dikendalikan.
Bila sebelum menikah, misalnya, kita suka sekali akan sepeda motor dan setiap tahun berusaha menukarkan sepeda motor lama dengan model terbaru, maka setelah menikah, kita mungkin tidak selalu dapat menuruti keinginan itu. Suatu saat kita mungkin mengetahui bahwa atap rumah kita harus diganti seluruhnya karena sudah lapuk dan dimakan rayap. Kalau kita memperbaiki atap, kita tidak dapat mempunyai sepeda motor yang baru tahun ini. Kalau menukarkan sepeda motor, atap tidak dapat diganti. Mana yang kita pilih? Sepeda motor akan terlihat oleh banyak orang dan membanggakan sedangkan atap yang diganti tidak akan kelihatan indahnya. Bila kita sudah dewasa dan dapat menguasai diri kita, mungkin kita akan memilih atap yang harus diperbaiki.
Penguasaan diri ini juga perlu untuk hal-hal yang tampaknya remeh dan kecil, seperti pulang tepat pada waktunya, menahan kritik atau memberi pujian, menahan emosi, menggunakan uang serta waktu secara dewasa, dan lain-lain.
Kalau faktor-faktor positif dalam contoh di atas kita kumpulkan dan kalau kita dapat menilainya, misalnya sebanyak +130 sedangkan jumlah negatifnya sebanyak -50 (lihat gb. 5c), maka masih ada kelebihan +80. Dengan demikian letak penyesuaian suami-isteri itu masih jauh di atas garis nol, artinya mereka berbahagia dalam pernikahan mereka. Meskipun ada faktor-faktor negatif dalam hubungan mereka--dan dalam semua pernikahan pasti ada--faktor-faktor positif yang ada cukup besar untuk dapat mengatasi konflik-konflik karena beberapa faktor negatif di atas.
KESEMBILAN BUAH ROH
Jika kita melihat kembali faktor-faktor positif tadi: agape, kesetiaan, damai sejahtera, kesabaran, kelemah-lembutan, dan penguasaan diri, kita teringat sembilan buah Roh seperti tertulis dalam Galatia 5:22,23: "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri." Memang buah Roh inilah yang dapat mengatasi konflik dalam hubungan dengan sesama kita, tetapi bagaimana kita memperolehnya?
Dalam Yohanes 15:1-8 Yesus memberi perumpamaan Pokok Anggur yang Benar. Di situ diajarkan bahwa hanya jikalau kita, sebagai ranting-ranting-Nya, melekat pada Kristus, pokok anggur yang benar itu, maka kita dapat berbuah. Jika tidak, kita akan layu, kering, dan mandul. Memang hanya kalau kita ada dalam persekutuan dengan Kristus, kita akan mengeluarkan ke 9 buah Roh itu. Jika kita berada di luar Kristus, kesembilan buah Roh itu juga tidak ada di dalam kita.
Mungkin kita sudah pernah mengalami sendiri, adanya buah Roh itu jika kita mempunyai persekutuan yang erat dengan Kristus. Jika kita baru saja keluar dari kamar setelah suatu persekutuan yang indah dengan Allah di mana kita berkomunikasi dengan-Nya dalam doa dan firman-Nya lalu kita melihat pasangan kita, maka kita melihatnya dengan kasih, kita mudah mengampuni kesalahannya, mudah menerimanya, dan serasa ingin memeluknya. Semuanya terasa beres karena hati kita mempunyai damai sejahtera Kristus. Bila anak-anak kita sedang ramai bermain-main di lantai, kita ingin ikut bermain-main juga dengan mereka di lantai.
Tetapi, jika kita sudah lama tidak bersekutu dengan Allah, tidak ke gereja, tidak membaca firman Tuhan, tidak berdoa, tidak bersaat teduh; kemudian pada suatu siang kita pulang dari kantor dalam keadaan lelah dan marah karena atasan marah-marah, maka kita frustrasi dan mudah merasa iritasi. Setibanya di rumah, isteri yang salah sedikit saja akan kita bentak, kucing yang menggesek-gesekkan diri di kaki kita akan kita tendang, dan anak-anak kita yang ramai bermain di lantai akan kita hardik. Sebenarnya suasananya sama, anak-anak itu sama ramainya, tetapi hati kita yang berbeda; yang satu penuh dengan buah Roh karena ada persekutuan dengan Kristus, yang lain penuh dengan kemarahan, dendam, frustrasi, dan emosi.
Faktor-faktor positif yang disebut ke sembilan buah Roh hanya ada dalam Kristus. Tanpa adanya buah Roh dan faktor mengampuni serta minta ampun dalam Kristus, maka faktor positif yang ada pada gb. 5c hanyalah Eros dan Filia. Keduaya tidak cukup untuk mengatasi faktor-faktor negatif yang ada. Bahkan eros mungkin lenyap ditelan konflik-konflik hidup dan digantikan dengan kebencian. Contohnya adalah apa yang disebut "pernikahan Hollywood.”
Suatu saat mungkin kita membaca dalam suatu majalah film tentang aktris A dan aktor B yang kelihatannya begitu mesra datang bersama-sama ke pesta-pesta. Mulai timbul desas-desus tentang hubungan mereka, apakah mereka akan menikah? Benar juga, enam bulan kemudian mereka menikah dengan pesta besar-besaran. Banyak tamu bintang film tenar yang diundang. Surat-surat kabar menulis tentang pasangan yang serasi ini. Aktris yang cantik dan tenar dengan aktor yang tampan serta sukses. Pernikahan itu dipuji sebagai "pernikahan paling ideal dalam dasa warsa ini."
Tetapi setahun kemudian kita membaca bahwa si aktris, berlibur di Bahama sedang si aktor berlibur di Roma. Kita merasa heran, mengapa mereka seakan-akan memisahkan diri sejauh-jauhnya untuk berlibur? Enam bulan kemudian kita membaca bahwa mereka sudah menghadap pengadilan dan perceraian mereka sudah disahkan.
Mengapa terjadi kegagalan ini? Mereka kelihatannya begitu mesra dan cocok, tetapi mengapa pernikahan mereka tidak langgeng? Dulu mereka tampak romantis, eros tampak tinggi menggebu-gebu. Tetapi apakah eros yang tidak stabil itu dapat mengatasi segala macam konflik hidup ini?" Banyak memang pernikahan seperti ini, yang hanya didasarkan pada eros, yang akhirnya kandas. Pernikahan ini akan langgeng kalau di tengah-tengah konflik hidup yang tajam, suami-isteri itu sadar akan perlunya faktor-faktor positif lain selain eros untuk mengatasi konflik hidup.
Sayangnya ada orang yang sudah kawin cerai beberapa kali dan masih belum memahami hal itu. Setiap kali mereka akan menikah lagi, mereka berkata, "Ini dia. Dia adalah laki-laki/wanita idealku, idamanku. Dialah yang kucari-cari selama ini," dan tak lama setelah menikah mereka gagal lagi.
Di sini jelas bahwa memang masuk akal mengapa Allah memberikan syarat pertama bagi anak-anak-Nya yang akan memilih teman hidupnya: hanya dengan orang-orang yang beriman kepada Kristus. Alasannya ialah supaya iman kita tidak hanya tetap terpelihara dan tidak mendapat tantangan dari orang yang paling penting dalam hidup kita, tetapi juga demi kebahagiaan pernikahan kita. Justru karena Allah mengasihi kita umat-Nya, Ia membatasi pilihan teman hidup kita. Ia menghendaki kita berbahagia dan mempunyai hidup yang dipuaskan.
Orang-orang yang secara tetap mempunyai banyak faktor positif seperti diuraikan di atas sering juga disebut sebagai orang-orang yang sudah dewasa. Tentunya di sini bukan dewasa secara umur, tetapi dewasa dalam iman dan kepribadian.
Saya mengakui bahwa faktor-faktor positif di atas juga bisa diperoleh melalui disiplin pribadi, melatih pengendalian diri sehingga menyerupai apa yang disebut buah Roh Kudus. Tetapi sebetulnya hasilnya berbeda. Yang satu adalah buatan sendiri sedang yang lain adalah anugerah dan pemberian Allah. Yang satu adalah buah kedagingan, yang lain buah Roh Kudus. Yesus membedakan hal ini waktu Ia berkata, ”... apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu ..." (Yoh. 14:27). Buah pemberian dunia selalu ada ulatnya.
Dalam ceramah-ceramah kepada kelompok-kelompok pemuda dan remaja tentang memilih teman hidup, sering saya menekankan pentingnya syarat kedua ini yaitu: pilihlah pria/wanita yang sudah dewasa iman dan kepribadiannya. Kemungkinan kita akan berbahagia sangat lebih besar kalau menikah dengan seorang yang dewasa daripada dengan seorang yang masih kekanak-kanakan.
Mari kita berandai-andai: misalkan kelak dapat ditemukan sebuah alat kecil seperti kalkulator yang bila kita arahkan pada seseorang dan kita tekan salah satu tombolnya, alat ini akan menunjukkan sebuah angka yang menggambarkan tingkat kedewasaan kepribadian orang tersebut. Dengan alat yang dapat mengukur kedewasaan seorang seperti itu, sebaiknya bila kita ingin memilih teman hidup, kita memilih seorang yang angka kedewasaannya tinggi.
Misalnya bila kita arahkan alat itu pada seorang pemuda, ternyata ia memiliki angka kedewasaan yang tinggi: +80 (skala antara –100 dan +100, antara sangat tidak dewasa dan sangat dewasa). Pemuda ini seorang yang dewasa. Ia berbakti dan aktif dalam sebuah jemaat di komisi pemudanya dengan anggota 60 orang. Seandainya dalam komisi ini ada 20 pria dan 20 wanita yang aktif dalam pelayanan.
Untuk menentukan teman hidupnya pemuda itu ditutup matanya dengan saputangan, kemudian ke 20 wanita itu diatur berdiri melingkarinya. Setelah itu pemuda ini diputar. Kemudian secara acak, dengan mata masih tertutup rapat, ia "memilih"—dengan menjamah--seorang di antara ke 20 wanita itu dan mereka dinikahkan. Kemungkinan besar mereka akan berbahagia; kecuali kalau wanita itu sangat kekanak-kanakan dan memiliki kepribadian bermasalah. Pemuda yang dewasa itu akan dapat berbahagia dengan sebagian besar dari ke 20 wanita itu.
Sebaliknya bila pemuda itu tidak dewasa, misalnya hanya memiliki faktor positif +10, maka untuk sedikit berbahagia saja ia harus dipilihkan seorang yang paling dewasa dari ke 20 wanita itu. Apalagi bila nilainya -50: ia seorang pemabuk dan penjudi, atau ia seorang tanpa nilai moral yang baik, atau seorang yang suka “main perempuan,” atau seorang morfinis, dan sebagainya, maka akibatnya lebih parah lagi. Memang tidak akan berbahagia menikah dengan orang-orang semacam ini.
Sering dalam ceramah-ceramah kepada para remaja dan pemuda saya mengatakan demikian: ada orang-orang yang sebaiknya tidak menikah sebab bila mereka menikah, mereka akan menyebabkan penderitaan yang dalam pada pasangannya. Para pemuda/remaja itu kemudian bertanya:
“Apakah mereka kemudian tidak akan menikah?”
“Kebanyakan dari mereka akan menikah. Hanya saja jangan dengan anda. Amit-amit menikah dengan orang seperti itu”
Celakalah pria dan wanita yang terperangkap dalam suatu pernikahan dengan mereka yang nilai minusnya besar.
Sayangnya belum ada alat semacam kalkulator atau komputer kecil seperti itu. Bagaimana kalau begitu kita dapat melihat kedewasaan seseorang? Dalam buku “Berpacaran dan Memilih Teman Hidup” saya menganjurkan para muda/i membuka mata mereka lebar-lebar ketika berkenalan dan berpacaran. Jangan malah "buta,” seperti dalam “cinta itu buta.”
Sudah ada beberapa tes psikologi yang dapat mengukur bermacam aspek kepribadian seorang, seperti: kemungkinan masalah dalam kepribadian, pengenalan seorang akan emosinya, keuletan seorang menghadapi tantangan hidup, optimis-pesimis seorang, kedewasaannya, kemungkinan penyesuaian dengan orang pilihannya, dll. Test-test ini sudah dipakai dan sebaiknya dianjurkan oleh beberapa konselor dalam konseling pra-nikah.

TIGA MASA DALAM PERNIKAHAN

Norman Wright dan M. Inmon (1978), dalam "Preparing Youth for Dating, Courtship and Marriage," mengatakan bahwa ada tiga masa dalam pernikahan, yaitu Masa Bulan Madu, Masa Konflik, dan masa Dewasa

Masa Bulan Madu
Masa Konflik
a. Fase Dilusi
b. Fase Putus Asa
Masa Dewasa

1. MASA BULAN MADU
Pada masa ini suami-isteri itu baru menikah dan digambarkan sebagai ada di surga ketujuh. Mereka belum turun ke dunia, belum melihat realita dan belum berhadapan dengan segala masalah pernikahan. Mereka belum sungguh-sungguh bergumul dengan tanggung jawab, usaha ke arah kedewasaan dan hubungan yang langgeng. Kalau mereka harus menceritakan pernikahan mereka, mereka menggunakan kata-kata seperti: sempurna, kita cocok sekali, jodoh dari Allah, surga dunia, dan sebagainya. Mereka memang masih terpukau oleh cinta berahi itu (eros), dan masing-masing mengidolakan pasangannya.
Masa ini relatif singkat dibandingkan kedua masa berikutnya. Ini bisa berlangsung setahun, enam bulan atau bisa singkat sekali, tiga bulan, sebulan, dua minggu. Bahkan tiga hari setelah pulang dari perjalanan berbulan madu ada yang mulai sadar bahwa kenyataan yang ada berbeda dengan fantasi masa remaja mereka. Waktu itu mereka memasuki masa berikutnya: masa Konflik.

2. MASA KONFLIK
Masa ini dibagi dalam dua fase: Dilusi dan Putus Asa.
a. Fase Dilusi:
Pada fase ini mereka mulai sadar bahwa kenyataan hidup lain dengan yang ada dalam dongeng anak-anak. Pasangan yang diimpikan dulu sebelum menikah ternyata tidak seperti yang diharap-harapkan. Mereka merasa kecewa. Mereka merasa serba salah, frustrasi, dan kecewa yang tidak kunjung hilang. (“Cilaka, saya tidak tahu suami saya ternyata suka main pukul dan suka godain cewek.” “Wah, ternyata isteri saya cerewet sekali, judes, pemarah, dan cemburunya berlebihan.”)
Pada fase ini mereka berusaha keras untuk mendapatkan keinginan mereka. Mereka berusaha mengubah dan membentuk pasangannya agar menjadi seperti yang mereka kehendaki, seperti impian mereka.
Tetapi cepat atau lambat mereka akan sadar bahwa tidak mudah mengubah pasangan mereka. Mereka sadar bahwa tidak akan ada seorang peri dengan tongkat wasiatnya yang dapat membantu mereka menyulap dan mengubah pasangannya serta melenyapkan semua persoalan dalam sekejap mata. Sebaliknya, mereka sendiri tidak mau dan tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan pasangan mereka sehingga pasangan itu juga akan kecewa. Akhirnya mereka mungkin masuk ke fase berikutnya (Putus Asa), atau sadar dan masuk ke masa berikutnya (masa Dewasa).

b. Fase Putus Asa
Mereka mulai merasa putus asa karena tidak mendapatkan apa yang mereka idam-idamkan. Suami tidak akan pernah menjadi si pangeran tampan berkuda putih dan isteri tidak akan pernah menjadi secantik, semurni, atau sesabar Cinderella. Mereka sadar dan tahu bahwa pasangan mereka tidak akan berubah meskipun telah dirayu, diminta, ditangisi, atau dihina, diancam, diomeli, dicereweti, dipaksa, dan dikerasi ataupun diacuhkan dan didiamkan. Tambah diperlakukan demikian, pasangannya terasa tambah melawan, menentang dan keras.
Mereka mulai merasa putus asa dan timbullah kebencian. Mereka kehilangan rasa hormat dan mulai menghina. Mereka merasa terjebak, hidup dalam neraka di dunia, pahit, tanpa harapan secara mendalam. Mereka mungkin memikirkan perceraian meskipun hal ini membuat mereka takut; atau bahkan sudah memulai prosedur perceraian sampai benar-benar bercerai.
Ada pula yang dalam keputus-asaannya berpikir sebagai seorang martir. "Memangnya ini nasib jelek saya, ini salib saya, tetapi katanya tidak boleh cerai. Ya udah, saya akan menanggung ini seumur hidup"--tetapi sementara itu ia menyimpan kebencian dalam atau tetap bertengkar terus menerus. Sebaliknya, mereka juga bisa sadar dan memasuki masa berikutnya: masa dewasa.
Masa konflik ini bisa singkat sekali--tiga atau enam bulan ataupun setahun saja--dan karena kedua-duanya dewasa atau memiliki potensi menjadi dewasa, mereka langsung memasuki masa berikutnya. Kalau terjadi demikian, mungkin pasangan suami-isteri itu tidak sadar akan adanya masa konflik dalam pernikahan mereka (“Kami rasanya selalu berbahagia, tidak pernah konflik.”).
Tetapi masa konflik ini juga bisa lama--lima atau sepuluh tahun. Dalam situasi seperti ini seorang konselor perlu menyadarkan mereka akan ilusi mereka dan mengarahkan mereka ke kedewasaan.
Masa konflik ini juga bisa dibawa sampai akhir pernikahan itu, yaitu sampai mereka bercerai atau salah seorang meninggal. Ada pasangan-pasangan tua, kakek-nenek, yang tidak dapat hidup bersama meskipun mereka secara hukum belum bercerai. Mereka harus hidup terpisah karena kalau bertemu mereka pasti akan segera bertengkar, bahkan untuk hal-hal sepele dan rasanya tidak masuk akal.
Seorang nenek tinggal bersama cucunya di Surabaya sedangkan suaminya tinggal di Denpasar, Bali bersama cucu yang lain. Pada suatu saat ada pernikahan salah seorang cucu mereka di Surabaya. Si kakek dibawa ke Surabaya dan tinggal bersama lagi dengan isterinya. Satu bulan setelah segala upacara dan perayaan selesai, si nenek yang kemudian pindah dan tinggal di Denpasar.
Ketika salah seorang cucu ditanya mengapa kakek dan nenek itu berpisah lagi, cucu itu malu-malu bercerita: Pada suatu hari terjadi pertengkaran hebat antara kakek dan nenek itu. Nenek itu mengejar suaminya dengan golok. Setelah dilerai, mereka dipisahkan lagi. Ternyata si nenek mencemburui suaminya yang rambutnya sudah semuanya putih “bermain gila” dengan pembantu di rumah.
Beberapa bulan kemudian terdengar bahwa si nenek telah meninggal di Bali.
Tampak pada contoh di atas sepasang suami isteri yang setelah menikah memasuki masa Bulan Madu tetapi kemudian mereka memasuki masa Konflik. Mereka sempat memiliki beberapa anak tetapi tidak pernah sesungguhnya keluar dari masa Konflik itu sampai mereka mati.

3. MASA DEWASA
Ini adalah masa yang menjadi tujuan pernikahan. Mereka dapat saling menerima pasangan mereka, meskipun tahu sedalam-dalamnya semua kelebihan dan kekurangan pasangannya. Mereka bahkan mengasihi karena melihat kekurangan-kekurangan itu juga. Mereka seakan-akan bertumbuh bersama dan bergandengan tangan menuju ke kedewasaan. Mereka rela berusaha keras untuk pertumbuhan masing-masing. Rela, bahkan bersuka-cita menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk kebahagiaan dan pertumbuhan pasangannya. Mereka merasakan kasih yang jauh lebih dalam daripada kasih bulan madu yang mereka anggap sebagai "cinta monyet.”
Mereka merasa tenang dan tenteram berdampingan dalam pernikahan. Mereka merasa aman dan tidak perlu bersandiwara. Mereka merasa bebas sebagaimana adanya karena diterima oleh pasangannya. Ada keyakinan kuat seperti ini: "Kami bersama-sama akan berhasil. Aku butuh dia dan aku dibutuhkannya. Aku mencintai dan aku dicintai." Hidup ini indah. Masa ini bisa dibawa terus sampai mereka tua dan meninggal.
Gambaran mereka adalah sepasang kakek-nenek yang duduk di serambi depan di kursi goyang mereka masing-masing sambil berpegangan tangan. Bila ada remaja-remaja yang lewat, mereka mungkin tertawa, “Lihat kakek-nenek porno itu. Udah tua dan keriput masa masih cinta. Cinta itu milik kami, anak muda.”
Bila kakek-nenek itu mendengar kata-kata itu, mungkin mereka berkata dalam hati, “Yah, itu sih cinta remaja, cinta yang belum di tes, cinta yang belum tahan menghadapi rumah yang terbakar, menghadapi di PHK, menghadapi kebangkrutan, menghadapi tugas berat membesarkan dan membimbing anak-anak hingga berhasil. Memang itu cinta indah tetapi belum tahan banting.”
Kita perlu mengetahui adanya masa-masa ini, supaya kita yang akan atau baru menikah tidak terkejut atau putus asa bila suatu saat memasuki masa konflik setelah masa bulan madu berakhir. Konflik yang kita alami adalah hal biasa, tidak unik, aneh, dan pernikahan kita bukan satu-satunya yang mengalami konflik dan masalah berat. Pengalaman pahit yang kita alami tidaklah aneh karena pernikahan-pernikahan lain juga mengalami hal yang serupa.
Dengan mengetahui adanya masa dewasa, timbullah pengharapan, karena ada suatu tujuan yang harus dicapai. Pernikahan-pernikahan yang bahagia, suami-isteri yang harus saling menyesuaikan diri dan ternyata mampu melakukannya, sudah ada sejak zaman purba dan akan tetap ada sampai milenium ke empat pun (bila Kristus belum datang kembali). Mereka selalu berinteraksi secara dinamis ke arah keserasian, penyesuaian dan kedewasaan.
Dengan memahami ketiga masa ini, keinginan untuk setiap hari bertumbuh dalam kedewasaan pun dapat dibangkitkan, dan kemauan untuk membayar harganya dilaksanakan--dengan tenaga, waktu, uang, perhatian.
Mengetahui hal ini kita dapat menilai dan mengoreksi pernikahan kita sendiri. Apakah kita masih terjebak dalam masa konflik atau sudah memasuki masa dewasa? Bila masih dalam masa konflik, sudah berapa lama kita berada dalam masa ini? Berapa lama lagi kita ingin tinggal dalam masa konflik ini?
Sebaliknya bila kita sudah dalam masa dewasa, apakah kita akan mundur lagi ke masa konflik karena kita melupakan faktor-faktor positif dalam penyesuaian pernikahan? Memang banyak pernikahan yang bolak-balik antara masa dewasa dan masa konflik. Setelah mendengar suatu ceramah, atau membaca suatu buku pernikahan, suami-isteri itu bertekad memperbaiki hubungan mereka. Mereka berhasil selama beberapa bulan tetapi setelah itu kembali jatuh ke dalam konflik yang mereka biarkan tidak terselesaikan dengan membolehkan benci, amarah, cemburu dan emosi negatif lainnya untuk menguasai hubungan mereka lagi.
Kemudian masing-masing pasangan perlu bertanya: berapa banyak waktu dan usaha yang rela saya korbankan untuk pertumbuhan pasangan saya dan untuk pertumbuhan diri saya sendiri melalui persekutuan dengan Kristus?
Bagi pembaca buku ini seharusnya sudah jelas bahwa kunci kebahagiaan dalam pernikahan Kristen ialah kerja dan usaha keras dalam Kristus. Jadi, kebahagiaan bukan tergantung pada jalannya bintang-bintang atau nasib dan "takdir," shio, she atau tanggal lahir yang di luar pilihan dan kehendak kita. Untuk mengasihi, mengampuni, menguasai diri, dan sebagainya kita harus mempunyai tekad dalam Kristus untuk melakukan hal-hal yang positif itu. Dengan demikian konsep yang kita bawa dari masa kanak-kanak, yang didapat dari dongeng penuh fantasi--bahwa setelah sang pangeran tampan bertemu dengan si gadis suci, keduanya akan hidup berbahagia selamanya--harus hilang.
Mungkin mereka yang masih suka akan fantasi tidak suka mendengar hal yang tidak romantis ini. Namun mereka yang dewasa dan hidup dalam kenyataan malah akan senang karena ada harapan untuk kebahagiaan. Mereka tahu bahwa kebahagiaan tidak tergantung dari faktor-faktor lain di luar kita, tetapi pada kemauan dan usaha kita dalam Kristus yang ditopang oleh Roh Kudus.