Kamis, Januari 15, 2009

Etos Postmodern

Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.

Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan. Seperti proyek bangunan Pruitt-Igoe, pemikiran dan kebudayaan modernisme sedang hancur berkeping-keping. Ketika modernisme mati di sekeliling kita, kita sedang memasuki sebuah era baru - postmodern.

Fenomena postmodern mencakup banyak dimensi dari masyarakat kontemporer. Pada intinya, Postmodern adalah suasana intelektual atau "isme"- postmodernisme.

Para ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernism. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten. Mereka menggantikan semua ini dengan sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan lokal) serta membuang yang universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, postmodernisme adalah anti-modern.

Tetapi kata "postmodern" mencakup lebih dari sekedar suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud dalam banyak dimensi dari masyarakat kini. Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, dan drama. Postmodernisme telah merasuk ke dalam seluruh masyarakat. Kita dapat mencium pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.

Postmoderisme menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas menunjuk kepada era yang sedang muncul, era di mana kita hidup, zaman di mana postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah era di mana ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - ketika postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern. Tujuan kita dalam bab ini adalah melihat dari dekat fenomena postmodern dan memahami sedikit tentang etos postmodernisme. Apakah tanda-tanda ekspresi budaya dan dimensi hidup sehari-hari dari "generasi mendatang ini?" Apakah buktinya bahwa pola pikir baru sedang menyerbu kehidupan masyarakat sekarang ini?

FENOMENA POSTMODERN

Postmodernisme menunjuk kepada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang sedang mendominasi masyarakat kini. Sekonyong-konyong kita sedang berpindah kepada sebuah era budaya baru, postmodernisme, tetapi kita harus memperinci apa saja yang tercakup dalam fenomena postmodern.

KESADARAN POSTMODERN

Bukti-bukti awal dari etos postmodernisme senantiasa negatif. Etos tersebut merupakan penolakan terhadap pola pikir Pencerahan yang melahirkan modernisme. Kita dapat melacak etos postmodern di mana-mana dalam masyarakat kita. Yang terpenting, postmodernisme telah merasuk jiwa dan kesadaran generasi sekarang ini. Ini merupakan perceraian radikal dengan pola pikir masa lalu.

Kesadaran postmodern telah melenyapkan optimisme "kemajuan" (progress) dari Pencerahan. Postmodern tidak mau mengambil sikap optimisme dari masa lalu. Mereka menumbuhkan sikap pesimisme. Untuk pertama kalinya, anak-anak pada masa kini berbeda keyakinan dengan orang tuanya. Mereka tidak percaya bahwa dunia akan menjadi lebih baik. Dari lubang yang besar di lapisan Ozon sampai kepada kekerasan antar remaja, mereka menyaksikan permasalahan semakin besar. Mereka tidak lagi percaya kalau manusia dapat menyelesaikan masalahnya dan kehidupan mereka akan lebih baik daripada orangtua mereka.

Generasi postmodern yakin bahwa hidup di muka bumi bersifat rawan. Mereka melihat bahwa model "manusia menguasai alam" dari Francis Bacon harus segera digantikan dengan sikap kooperatif dengan alam. Masa depan umat manusia sedang di persimpangan jalan.

Selain sikap pesimis, orang-orang postmodern mempunyai konsep kebenaran yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Pemahaman modern menghubungkan kebenaran dengan rasio sehingga rasio dan logika menjadi tolok ukur kebenaran. Kaum postmodern meragukan konsep kebenaran universal yang dibuktikan melalui usaha-usaha rasio. Mereka tidak mau menjadi rasio sebagai tolok ukur kebenaran. Postmodern mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada rasio. Mereka menemukan cara-cara nonrasial untuk mencari pengetahuan, yaitu: melalui emosi dan intuisi.

Keinginan mencari model kooperatif dan penghargaan kepada cara nonrasional menciptakan sebuah dimensi holistik bagi kaum postmodern. Postmodern dengan holismenya menolak cita-cita Pencerahan, individu yang tidak berperasaan, otonom, dan rasional. Orang-orang postmodern tidak berusaha menjadi individu-individu yang mengatur dirinya secara penuh, tetapi menjadi pribadi-pribadi "seutuhnya".

Postmodern dengan holisme-nya mencakup integrasi seluruh dimensi dari kehidupan pribadi - perasaan, intuisi, dan kognitif. Keutuhan juga mencakup kesadaran akan lingkungan dari mana kita berasal. Tentu saja area ini mencakup "alam" (ekosistem). Tetapi ia juga komunitas. Konsep "keutuhan" postmodernisme mencakup aspek-aspek agama dan kerohanian. Postmodernisme menegaskan bahwa keberadaan diri dapat dikenal dalam lingkup ketuhanan.

Karena setiap orang selalu termasuk dalam konteks komunitas tertentu, maka memahami kebenaran haruslah bersama-sama. Keyakinan dan pemahaman kita akan kebenaran, berakar kepada komunitas dimana kita berada. Mereka menolak konsep Pencerahan yang universal, supra-kultur, dan permanen. Mereka lebih suka melihat kebenaran sebagai ekspresi dari komunitas tertentu. Mereka yakin bahwa kebenaran adalah aturan-aturan dasar yang bertujuan bagi kesejahteraan diri dan komunitas bersama- sama.

Dalam pengertian ini, kebenaran postmodern berhubungan dengan komunitas. Karena ada banyak komunitas, pasti ada kebenaran yang berbeda-beda. Banyak kaum postmodern percaya bahwa keanekaragaman kebenaran ini dapat hidup berdampingan bersama-sama. Kesadaran postmodern menganut sikap relativisme dan pluralisme.

Tentu saja, relativisme dan pluralisme bukanlah barang baru. Tetapi jenis pluralisme dan relativisme dari postmodern ini berbeda. Relatif pluralisme dari modernisme bersifat individualistik: pilihan dan cita rasa pribadi diagung-agungkan. Mottonya adalah "setiap orang berhak mengeluarkan pendapat."

Sebaliknya postmodernisme menekankan kelompok. Kaum postmodern hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang memadai, dengan bahasa, keyakinan, dan nilai-nilainya tersendiri. Akibatnya pluralisme dan relativisme postmodern menyempitkan lingkup kebenaran menjadi "lokal". Suatu kepercayaan dianggap benar hanya dalam konteks komunitas yang meyakininya.

Karena itu ketika kaum postmodern memikirkan tentang kebenaran. Mereka tidak terlalu mementingkan pemikiran yang sistematis atau logis. Apa yang dahulu dianggap tidak cocok, kaum postmodern dengan tenang mengawinkannya. Mereka mengkombinasikan sistem-sistem kepercayaan yang dulu dianggap saling berbenturan, Misalnya, seorang Kristen postmodern percaya kepada doktrin-doktrin gereja sekaligus juga percaya kepada ajaran non-Kristen seperti reinkarnasi.

Orang-orang postmodern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka benar dan orang lain salah. Bagi mereka, masalah keyakinan/kepercayaan adalah masalah konteks sosial. Mereka menyimpulkan,"Apa yang benar untuk kami, mungkin saja salah bagi Anda," dan "Apa yang salah bagi kami, mungkin saja benar atau cocok dalam konteks anda."

KELAHIRAN POSTMODERNITAS

Sebenarnya postmodernisme telah mengalami masa-masa inkubasi yang cukup lama. Meskipun para ahli saling berdebat mengenai siapakah yang pertama kali menggunakan istilah tersebut, terdapat kesepakatan bahwa istilah tersebut muncul pada suatu waktu pada tahun 1930-an.

Salah satu pemikir postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya "Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana" (1934), de Onis memperkenalkan istilah tersebut untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme.

Yang lebih sering dianggap sebagai pencetus istilah tersebut adalah Arnold Toynbee, dengan bukunya yang terkenal berjudul "Study of History". Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri berubah pikirannya mengenai awal munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau semenjak tahun 1870-an.

Menurut analisa Toynbee, era postmodern ditandai dengan berakhirnya dominasi Barat dan semakin merosotnya individualisme, kapitalisme, dan Kekristenan. Ia mengatakan bahwa transisi ini terjadi ketika peradaban Barat bergeser ke arah irasionalitas dan relativisme. Ketika hal ini terjadi, kekuasaan berpindah dari kebudayaan Barat ke kebudayaan non- Barat dan muncullah kebudayaan dunia pluralis yang baru.

Meskipun istilah ini muncul pada tahun 1930-an, postmodernisme sebagai sebuah fenomena kultural belum menjadi sebuah momentum sampai 40 tahun setelahnya. Ia muncul pertama-tama dalam lingkup kecil masyarakat. Selama tahun 1960-an, suasana yang menandai postmodernisme sangat menarik bagi para seniman, arsitek, dan pemikir yang sedang mencari alternatif untuk melawan dominasi kebudayaan modern. Bahkan beberapa teolog ikut tertarik dengan trend tersebut, antara lain William Hamilton dan Thomas J.J. Altizer yang "mengundang arwah" Nietzsche untuk memberitakan matinya Allah. Perkembangan yang beraneka ragam ini membuat "pengamat kebudayaan" Leslie Fiedler pada tahun 1965 menambahkan istilah "post" kepada kata modern sehingga menjadi postmodernisme yang menjadi simbol kontra-kultural pada zaman itu.

Selama tahun 1970-an tantangan postmodern menembus kepada arus budaya utama. Pada pertengahan tahun tersebut, muncullah seorang pembela postmodern yang paling konsisten mempropagandakan ide postmodern, yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan postmodernisme dengan eksperimentalisme dalam bidang seni dan ultra teknologi dalam bidang arsitektur.

Tetapi etos postmodern secara tepat menjalar terus ke bidang-bidang lain. Profesor-profesor di universitas dalam berbagai fakultas mulai berbicara mengenai postmodernisme. Bahkan beberapa di antara mereka tenggelam dalam konsep-konsep postmodern.

Akhirnya penerimaan etos baru begitu menjalar terus ke mana-mana sehingga istilah "postmodern" menjadi label yang digunakan bagi berbagai fenomena sosial dan budaya. Gelombang postmodern menyeret berbagai aspek kebudayaan dan beberapa disiplin ilmu, khususnya sastra, arstektur, film, dan filsafat.

Pada tahun 1980-an, pergeseran dari lingkup kecil kepada lingkup besar terjadi. Secara bertahap, suasana postmodern menyerang budaya pop bahkan juga hidup sehari-hari masyarakat. Konsep-konsep postmodern bahkan bukan hanya diterima tetapi populer: sangat menyenangkan menjadi seorang postmodern. Akibatnya, para kritikus kebudayaan dapat berbicara mengenai "nikmatnya menjadi seorang postmodern." Ketika postmodernisme diterima sebagai bagian dari kebudayaan, lahirlah postmodernitas.

PENCETUS POSTMODERNITAS

Antara tahun 1960 dan 1990, postmodernisme muncul sebagai sebuah fenomena kebudayaan. Mengapa? Bagaimana kita menjelaskan munculnya etos ini dalam masyarakat kita? Banyak pengamat menghubungkan transisi ini dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada paruh kedua dari abad ke-20. Faktor pencetus terbesar adalah lahirnya era informasi. Penyebaran postmodernisme sejajar dan bergantung kepada transisi ke era informasi.

Banyak sejarahwan menyebut era modern sebagai "era" industrialisasi, karena era ini didominasi oleh produksi barang-barang. Karena fokusnya pada produksi material-material, modernisme menghasilkan masyarakat industri. Simbolnya adalah pabrik. Sebaliknya era postmodern mengarahkan fokus kepada informasi. Kita sedang menyaksikan sebuah transisi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Simbolnya adalah komputer.

Statistik kerja membuktikan bahwa kita sedang mengalami perubahan dari masyarakat industri kepada masyarakat informasi. Pada era modern, mayoritas lapangan pekerjaan terbuka dalam bidang produksi barang. Pada tahun 1970-an, hanya 13% dari buruh-buruh di Amerika bekerja dalam produksi barang; 60% bekerja dalam bidang informasi. Pelatihan untuk karir yang berkaitan dengan informasi - baik prosesor data maupun konsultan - menjadi sangat penting.

Masyarakat informasi menghasilkan sekelompok orang baru. Ploretariat telah menyerahkan tempatnya kepada "cognitariat." Dan untuk bisnis, munculnya masyarakat postmodern berarti perubahan dari model "sentralisasi" kepada model "network." Struktur hirarki dalam pengambilan keputusan diganti dengan keputusan bersama.

Era informasi bukan hanya mengubah pekerjaan kita tetapi juga menghubungkan seluruh belahan dunia. Masyarakat informasi berfungsi berdasarkan jaringan komunikasi yang meliputi seluruh muka bumi. Efisiensi sistem tersebut sangat mengejutkan. Pada masa lalu, informasi tidak secepat perjalanan manusia. Tetapi sekarang informasi dapat mengalir ke seluruh dunia secepat cahaya. Yang lebih mengagumkan lagi adalah kemampuan era postmodern untuk mendapatkan informasi dari mana saja secara cepat.

Karena sistem komunikasi global yang begitu canggih, kita dapat mengetahui peristiwa apa saja di mana saja di dunia ini. Kita sedang menghuni sebuah desa global.

Munculnya desa global menghasilkan dampak yang kontradiktif. Budaya massal dan ekonomi global yang dihasilkan era informasi berusaha menyatukan dunia menjadi "McWorld." Ketika planet ini menyatu pada satu sisi, saat yang sama ia hancur berantakan pada sisi lainnya. Munculnya postmodernisme menghasilkan kesadaran global dan menipiskan nasionalisme.

Nasionalisme semakin suram dengan munculnya gerakan menuju "retribalisasi," menuju loyalitas kepada lingkungan lokal seseorang. Ini bukan hanya terjadi di Afrika tetapi juga di Kanada. Kanada berkali-kali terancam oleh disintegrasi antara kelompok berbahasa Perancis di propinsi Quebec dan propinsi-propinsi di sebelah barat. Orang-orang sedang mengikuti motto: "Berpikirlah secara global, bertindaklah secara lokal."

Munculnya masyarakat informasi memberikan dasar berpijak bagi etos postmodern. Hidup di desa global menyadarkan penduduknya mengenai keanekaragaman budaya di bumi ini. Kesadaran ini memaksa kita mengadopsi pola pikir pluralisme. Pola pikir ini bukan hanya bersikap toleran kepada kelompok lain, tetapi ia menegaskan dan merayakan keanekaragaman. Perayaan keanekaragaman budaya menuntut gaya baru - eklektisisme - gaya postmodernitas.

Masyarakat informasi telah menyaksikan perubahan besar dari poduksi massal kepada produksi segmen. Produksi barang-barang yang sama telah berubah menjadi produksi barang-barang yang beraneka ragam. Kita berada pada "budaya citarasa" yang menawarkan berbagai macam gaya yang tidak ada habisnya. Dulu siswa-siswi SMP dan SMU hanya memiliki tren suka-olahraga dan malas-belajar, sekarang mereka dapat mengadopsi tren apa saja sesuai cita-rasa dan gaya yang mereka sukai.

ALAM POSTMODERNISME TANPA TITIK PUSAT

Ciri khas postmodernisme adalah tidak adanya titik pusat yang mengontrol segala sesuatu. Meskipun postmodern dalam masyarakat bermacam-macam bentuknya, mereka sama-sama sepakat bahwa tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi standar umum yang dapat dipakai mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hidup tertentu. Lenyaplah sudah usaha mencari sumber otoritas pusat. Lenyaplah sudah usaha untuk mencari kekuasaan yang absah dan berlaku untuk semua.

Titik pusat sudah bergeser, masyarakat kita seperti kumpulan barang- barang yang beraneka ragam. Unit-unit sosial yang lebih kecil hanya disatukan secara geografis.

Filsuf postmodern, Michel Foucault, menawarkan sebuah usulan nama bagi dunia tanpa titik pusat, yaitu "heterotopia." istilah Foucault menggarisbawahi perubahan besar yang sedang kita alami. Keyakinan Pencerahan akan suatu kemajuan ayng terus-menerus melahirkan visi modernisme. Arsitek modernisme berusaha membangun sebuah bangunan masyarakat yang sempurna. Kasih, keadilan, dan perdamaian akan memerintah masyarakat tersebut. kaum postmodern membuang jauh-jauh impian kosong tersebut. Mereka hanya menawarkan keanekaragaman yang tak terhitung banyaknya, "multiverse" telah menggantikan model "universe" dari modernisme.

POSTMODERNISME SEBAGAI SEBUAH FENOMENA KULTURAL

"Lenyapnya titik pusat" yang dipopulerkan oleh etos postmodern merupakan ciri utama situasi masa kini. Ini nampak jelas dalam kehidupan kultur masyarakat kita. Seni telah mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan modern menjadi postmodern.

POSTMODERN MERAYAKAN KEANEKARAGAMAN

Ciri utama budaya postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan pluralisme ini, para seniman postmodern mencampurkan berbagai komponen yang saling bertentangan menjadi sebuah karya seni. Teknik seni yang demikian bukan hanya merayakan pluralisme, tetapi merupakan reaksi penolakan terhadap dominasi rasio melalui cara yang ironis. Buah karya postmodernisme selalu ambigu (mengandung dua makna). Kalaupun para seniman ini menggunakan sedikit gaya modern, tujuannya adalah menolak atau mencemooh sisi-sisi tertentu dari modernisme.

Post-modernisme adalah campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Post-Modernisme adalah kelanjutan dari modernisme, sekaligus melampaui modernisme. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme. Charles Jencks, What is Post-Modernisme? 3d ed. (New York: St Martin's Press, 1989), hal. 7



Salah satu tehnik campuran yang sering digunakan adalah "collage". "Collage" menawarkan suatu cara alamiah untuk mencampurkan bahan-bahan yang saling bertentangan. "Collage" menjadi wahana kritik postmodern terhadap mitos pengarang/seniman tunggal. Teknik lainnya adalah "bricolage", yaitu: penyusunan kembali berbagai objek untuk menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini.

Seniman postmodern menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu eklektisisme yang diambil dari berbagai era dalam sejarah. Seniman umumnya menganggap cara demikian harus ditolak karena menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus tersebut menyalahkan gaya postmodern karena tidak ada ke dalaman atau keluasan, melanggar batas sejarah hanya demi memberikan kesan untuk masa kini. Gaya dan historis dibuat saling tumpang tindih. Mereka mendapatkan postmodernisme sangat kurang dalam orisinalitas dan tidak ada gaya sama sekali.

Namun ada prinsip lebih mendalam yang ditampilkan melalui ekspresi budaya postmodernisme. Maksud dan tujuan karya-karya postmodernisme bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya postmodern berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang/pelukis asli yang merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tersebut, para seniman ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling bertentangan dan tidak harmonis. Teknik ini - yang mencabut gaya dari akar sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan sejarah.

Seniman-seniman postmodern sangat berpengaruh bagi budaya Barat masa kini. Pencampuran gaya, dengan penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan kepada rasionalitas menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini semakin terbukti dalam banyak ekspresi kebudayaan lainnya.

ARSITEKTUR POSTMODERN

Modernisme mendominasi arsitektur (juga bidang lainnya) sampai pada tahun 1970-an. Para arsitek modern mengembangkan gaya yang terkenal dengan International style (gaya internasional). Arsitektur modern mempunyai keyakinan kepada rasio manusia dan pengharapan untuk menciptakan manusia idaman.

Berdasarkan prinsip tersebut, arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sesuai dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia mengatakan bangunan-bangunan modern harus merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan harus merupakan "kesatuan yang agung" (one great thing) dan bukan kumpulan "bahan yang tidak agung" (little things). Sebuah bangunan harus mengekspresikan makna tunggal.

Karena memegang prinsip kesatuan, arsitektur modern mempunyai ciri khas "univalence." Bangunan-bangunan modern menunjukkan bentuk yang sederhana dan ini nyata dari pola glass-and-steel boxes. Arsitektur mencari bentuk sederhana yang dapat menyampaikan sebuah makna tunggal. Cara yang digunakan adalah "repetisi"(pengulangan). Karena mereka juga hendak sempurna dalam geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model "dunia lain."

Arsitektur modern berkembang dan menjadi arus yang dominan. Ia memajukan program industrialisasi dan menyingkirkan aneka ragam corak lokal. Akibatnya ekspansi arsitektur modern sering menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan semua bangunan tradisional dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat yang merupakan cetusan jiwa modern untuk "maju"(progress).

Beberapa arsitek modern belum puas jika perubahan hanya dalam bidang arsitektur. Mereka ingin agar perubahan dalam bidang arsitek, terjadi juga dalam bidang-bidang seni, ilmu pengetahuan, dan industri.

Mari bersama-sama kita bayangkan, pikirkan, dan ciptakan sebuah struktur masa depan baru yang meliputi bidang arsitektur, seni pahat, seni lukis, sebagai sebuah kesatuan. Suatu hari semua ini akan menjulang sampai ke langit melalui tangan berjuta-juta seniman. Ini menjadi keyakinan baru seperti sebuah kristal.

Walter Gropius," Programme of the staatloches Bauhaus in Weimar" (1919), dalam Programmes and Manifestos on Twentieth-Century Architecture,ed. Ulrich Conrads, terj. Michael Bullock (London: Lund Humphries, 1970), Hal. 25.

Arsitektur postmodern muncul sebagai reaksi terhadap arsitektur modern. Postmodern merayakan sebuah konsep "Multivalence" (melawan "univalence" dari modernisme). Arsitektur postmodern menolak tuntutan modern di mana sebuah bangunan harus mencerminkan kesatuan. Justru sebaliknya buah karya postmodern berusaha menunjukkan dan memperlihatkan gaya, bentuk, corak, yang saling bertentangan.

Penolakan terhadap arsitektur modern nampak jelas dalam beberapa contoh. Misalnya, arsiterktur postmodern sengaja memberikan ornamen (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Contoh lain, arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik dan gaya seni tradisional, sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni tradisional.

Penolakan oleh postmodern terhadap modern di dasarkan kepada sebuah prinsip. Prinsip arsitektur postmodern adalah semua arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk banguan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Karena terlalu memikirkan fungsi banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut. Justru karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya seni modern hanya, merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu kisah atau melambangkan suatu dunia imajiner. Karena terlalu menekankan fungsi. keajaiban dunia seperti bangunan Katedral masa silam tidak lagi populer pada zaman modern. Padahal bangunan seperti Katedral mengarahkan mata kita kepada suatu dunia lain. Ini yang dikritik oleh kaum postmodern terhadap kaum modern.

Sebuah bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkannya, mengatakan apa yang ingin dikatakannya sehingga telinga kita mulai mendengar apa yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut. Charles Moore, dalam Conversations with Architecs, ed. John Cook Heeinrich dan Klotz (New York: Praeger, 1973), hal. 243.


Kaum Postmodern berusaha mengembalikan elemen "fiksi" dari sebuah arsitektur maka mereka menambahkan ornamen-ornamen pada arsitektur. Mereka ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan "apa fungsinya?" Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan "bangunan-bangunan yang kreatif dan imajinatif."

Kritik postmodern terhadap modern semakin menjadi-jadi. Kaum modern menekankan adanya universalitas dan adanya nilai-nilai yang tidak terbatas sejarah, dan ini ditolak secara tegas oleh kaum postmodern. Selama ini kaum kodern menganggap karya-karya mereka sebagai hasil rasio dan logika. Padahal kaum postmodern melihat dengan jelas semuanya itu hanyalah usaha mendapatkan kekuasaan dan menguasai orang lain. Bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Bangunan-bangunan modern menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri. Bentuk-bentuk demikian mewujudkan dunia baru yang dikuasai sains dan teknologi.

Kaum postmodern mau melenyapkan bahasa kekuasaan tersebut. Kaum modern menekankan konsep kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur yang ternyata sangat tidak manusiawi. Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Kaum postmodern menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai keanekaragaman dan pluralisme.

POSTMODERN DALAM BIDANG SENI

Arsitektur postmodern lahir sebagai penolakan terhadap prinsip-prinsip arsitektur modern pada abad ke-20. Kehadiran postmodern dalam bidang seni juga menampakkan gejala penolakan yang serupa.

Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya; dengan cara ini, para seniman modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal). Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu: "univalence". Melalui ini, kebanggaan seniman modern hanyalah jika mereka mempunyai "stylistic integrity" (integritas gaya).

Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau modern menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni."

Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons.

Howard Fox, "Avant-Garde in the Eighties", dalam The Post-Avant- Garde: Painting in the Eighties, ed. Charles Jencks (London: Academy Editions, 1987), hal. 29-30.

Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan collage sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahan namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya.

Akhirnya seni pencampuradukan menjadi sebuah "pastiche". Tujuan teknik ini (yang digunakan oleh high-culture dan Video MTV) adalah memperhadapkan para penonton dengan gambar-gambar yang saling bertentangan sehingga tidak ada lagi makna objektif. Dengan pola yang saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan tata huruf yang kacau, "pastiche" menyebar dari dunia seni menuju kehidupan sehari- hari. Ini nampak dari sampul buku, sampul majalah, dan iklan-iklan yang ada.

Segala campuran dan keanekaragaman itu bukan hanya untuk menarik perhatian. Daya tarik sebenarnya tidak sedangkal itu, namun jauh lebih dalam. Ini merupakan bagian dari sikap postmodern, yaitu: menantang kekuatan modernisme yang ada dalam berbagai lembaga, tradisi, dan aturan. Seniman postmodern tidak suka kepada pengagung-agungan seorang seniman modern karena kemurnian hasil karyanya. Mereka tidak suka kepada apa yang disebut "stylistic integrity" (integritas gaya). Bagi mereka, tidak ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka sengaja menggunakan metode pinjaman dari hasil karya lain, kutipan, petikan, kumpulan, dan pengulangan dari karya-karya yang ada. bagi mereka, "seniman tunggal yang menghasilkan karya tunggal" hanyalah dongeng belaka.

Kritik postmodern sangat radikal. Kritik tersebut dapat ditemukan dalam karya fotografi seorang bernama Sherrie Levine. Levine memfoto ulang foto-foto indah hasil karya dua fotografer terkenal Walker Evans dan Edward Weston. Setelah memfoto ulang, Levine menegaskan bahwa foto- foto itu adalah karya pribadinya. Pembajakannya sangat jelas sehingga orang lain tidak mudah mengecapnya sebagai plagiat (pengekor) biasa. Memang tujuannya bukanlah menipu orang-orang dengan mengatakan bahwa itu adalah hasil karyanya dan bukan hasil karya orang lain. Tujuan utamanya adalah membuat orang berfikir keras untuk membedakan manakah "yang asli" dan manakah yang "tiruan". Maka kesimpulannya: tidak ada perbedaan antara "karya asli" dan "karya tiruan."

POSTMODERN DALAM BIDANG TEATER

Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang paling jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Etos postmodern menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini seperti sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong-potong. Maka teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan.

Tidak setiap karya teater merupakan wujud nyata etos postmodern. Karya teater postmodern mulai timbul pada tahun 1960-an. Akarnya sudah ada sebelum tahun 1960-an, yaitu karya seorang penulis Perancis bernama Antonin Artaud pada tahun 1930-an.

Artaud menantang para seniman (khususnya dalam bidang drama) untuk memprotes dan menghancurkan pemujaan kepada karya seni klasik. Ia sangat mendukung pergantian drama tradisional dengan 'teater keberingasan." Ia berseru agar dihapuskannya gaya kuno yang berpusat kepada naskah. Ia mengusulkan gaya baru yang berpusat kepada simbol- simbol teater termasuk di dalamnya adalah: pencahayaan, susunan warna, pergerakan, gaya tubuh, dan lokasi. Artaud juga meniadakan perbedaan antara aktor dan penonton. Ia ingin agar penonton juga mengalami suasana dramatis seperti sang aktor. Tujuan Artaud adalah memaksa penonton untuk berhadapan dengan momentum kenyataan hidup secara langsung pada saat itu, yang bagaimanapun juga tidak akan terulang melalui aturan-aturan sosial sehari-hari.

Pada tahun 1960-an, sebagian impian Artaud menjadi kenyataan. Para ahli mulai memikirkan kembali hakikat dari teater. Maka mereka menyerukan agar terdapat kebebasan dalam penampilan. Penampilan tidak boleh diatur oleh otoritas apa pun.

Beberapa ahli ini menemukan bahwa naskah atau teks adalah otoritas yang menindas kebebasan. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mengurangi naskah atau teks sehingga setiap penampilan menjadi spontan dan unik. Setelah beberapa sekali ditampilkan, tidak ada lagi pengulangan. Penampilan itu sekali saja dan akan hilang selama-lamanya setelah itu.

Ahli lainnya menganggap sutradara adalah orang yang menindas kebebasan penampilan. Mereka berusaha memecahkan masalah ini, dengan menekankan improvisasi dan memakai sutradara lebih dari satu orang. Maka produksi teater/film bukan lagi produksi tunggal dan utuh.

Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka membuat berbagai elemen dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa, latar-belakang, dan gerakan saling berbenturan. Dengan demikian, teater postmodern sedang menggunakan teori tertentu yang disebut dengan estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran). Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang ada dalam setia penampilan adalah kekosongan ("empty presence"). Seperti etos postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara, tergantung dari situasi dan konteksnya.

Panggung teater tidak lagi menjadi tempat pengulangan suatu peristiwa atau suatu obyek, entah yang ada sekarang atau sebelumnya. Teater tetap berfungsi tanpa kehadiran Allah.
Jacques Darrida, Writing and Difference, terj: Alan Bass (Chicago: Chicago University Press, 1978), hal. 237.


POSTMODERN DALAM BIDANG TULISAN-TULISAN FIKSI

Pengaruh etos postmodern dalam literatur sulit dicari. Para ahli sastra terus berdebat mengenai ciri utama fiksi postmodern yang membedakannya dari fiksi-fiksi sebelumnya. Namun gaya penulisan ini mencerminkan ciri utama yang telah kita saksikan dalam bidang-bidang lain.

Seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampuradukan. Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian nyata dan khayalan.

Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala perilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia. Dengan cara ini, sang penulis berhasil menarik perhatian dan respons emosional dan moral para pembaca.

Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka pun turut membicarakan berbagai masalah dan proses yang diceritakannya. Melalui ini, sang penulis mencampurkan yang nyata dan yang fiksi. Teknik ini menekankan hubungan yang erat antara penulis dan tulisan fiksinya.

Tulisan fiksi adalah sarana yang dipakai oleh penulis untuk berbicara sehingga suara penulis tidak dapat dipisahkan dari kisah fiksi tersebut. Tulisan fiksi postmodern mencampuradukan dua dunia yang tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa bingung di dunia mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya di tengah dunia- dunia yang saling bertubrukan.

Teknik pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti- modernisme. Tujuan para penulis modern adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat berbeda, dapat berjalan dan saling bercampur.

Seperti kebudayaan postmodern lainnya, tulisan-tulisan ini memusatkan perhatian kepada kefanaan dan kesementaraan. Mereka menolak konsep kebenaran kekal dari kaum modern. Tulisan fiksi ini sengaja mengarahkan fokus kepada kesementaraan agar para pembaca tidak lagi melihat dunia ini dari titik puncak yang tidak terbatas oleh waktu. Mereka ingin agar para pembaca menyaksikan sebuah dunia yang hampa, tanpa adanya hal-hal yang kekal dan selalu berada dalam gelombang kesementaraan.

Dan perlukah kita berkata bahwa semakin jelas sang penulis menyatakan dirinya sendiri dalam teks-teks yang dia buat, secara paradoks juga makin tidak terelakan adanya kenyataan bahwa sang penulis tersebut, sebagai sebuah suara, hanyalah sebuah fungsi dari fiksinya sendiri, sebuah bangunan retorika, bukan seorang yang berotoritas tetapi justru menjadi obyek dan sasaran penafsiran pembaca? David Lodge,"Mimesis and Diegesis in Modern Fiction," dalam The Post-Modern Reader, ed. Charles Jencks (New York: St. Martin's Press,1992), hal. 194-195.

Kadang-kadang para penulis tersebut menciptakan efek serupa dengan memasukkan bahasa yang membongkar struktur pikiran yang sudah baku. Mereka juga menolak rasio sebagai hakim yang memutuskan apakah sebuah cerita mampu memaparkan kejadian nyata.

Contoh umum dari fiksi modern adalah kisah detektif. Katakanlah cerita mengenai seorang detektif bernama Sherlock Holmes. Ia bertugas membongkar kebenaran-kebenaran yang tersembunyi. Kisah seperti ini hendak menunjukkan kekuatan rasio dan logika dalam memecahkan sebuah masalah atau misteri. Maka cerita ini merupakan sebuah cerita yang lengkap dan selesai.

Contoh dari fiksi postmodern adalah kisah mata-mata. Meskipun terjadinya dalam dunia nyata, kisah demikian selalu mencampurkan dua macam dunia yang berbeda. Apa yang dianggap nyata, ternyata terbukti hanyalah khayalan. Ada suatu dunia lain di balik dunia nyata ini, yang lebih jahat namun lebih nyata daripada dunia nyata.

Dengan mencampurkan dua macam dunia itu, kisah tersebut membuat pembaca merasa tidak tenang dan tidak nyaman. Apakah penampilan seseorang menunjukkan dirinya yang sesungguhnya? Manakah yang sebenarnya dan manakah yang tipuan?

Kisah mata-mata mendorong kita mempertanyakan dunia kehidupan kita. Apakah kita juga hidup dalam dua macam dunia? Apakah orang-orang di sekitar kita benar-benar seperti penampilan mereka di hadapan kita? Apakah peristiwa-peristiwa di sekitar kita benar-benar seperti yang nampak di depan mata kita?

Novel fiksi sains adalah salah satu bentuk sastra postmodern. Novel ini merupakan penolakan terhadap penelitian modern. Novel fiksi ini lebih suka mencari sesuatu yang baru, dan bukan menyibak misteri alam untuk menemukan rumus-rumus pasti. Novel ini mempertentangkan berbagai dunia dan realitas supaya nampak perbedaan dan pertentangan di antara mereka.

Novel fiksi sains tersebut membuat kita bertanya-tanya mengenai dunia kita: Apakah realitas itu? Apa yang mungkin? Kekuatan apa yang sedang bekerja sekarang?

POSTMODERNISME SEBUAH FENOMENA DALAM BUDAYA POP

Kebanyakan dari kita berhubungan langsung postmodernisme melalui novel fiksi sains dan novel mata-mata. Keduanya sangat berpengaruh dalam budaya populer kita sekarang. Namun secara tidak sadar, kita telah terbuka kepada etos postmodern.

Keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni klasik tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukan kelas elite tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media massa.

Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan sebuah bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh orang-orang awam ataupun seniman dan arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yang berbeda, yaitu profesional dan populer.

PEMBUATAN FILM SEBAGAI DASAR PIJAKAN BUDAYA POSTMODERN

Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi- sisi penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film.

Teknologi pembuatan film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni: film menggambarkan yang tidak ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film adalah sebuah cerita utuh yang ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi dengan bantuan ahli-ahli spesialis dari berbagai bidang yang tidak jarang kelihatan dalam film. Adanya kesatuan dalam sebuah film sebenarnya adalah ilusi.

Film berbeda dengan teater. Film tidak pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat "berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan dalam proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik secara waktu maupun tempat.

Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan" atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang diambil pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Alur sebuah film yang kita lihat, ternyata tidak seperti demikian alurnya pada waktu film berada dalam proses pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu adalah seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang tidak ada hubungannya satu sama lain.

Kadang-kadang peran yang sama belum tentu diperankan oleh satu aktor. Sutradara sering menggunakan peran pengganti (stunt-man) untuk adegan- adegan berbahaya. Kemajuan teknologi memungkinkan edit untuk menduplikasi wajah sang aktor sehingga wajahnya dalam film lama dapat diambil dan dimasukkan dalam film yang baru. Semuanya ini adalah hasil rekayasa komputer.

Akhirnya, film yang kita tonton adalah produk kecanggihan teknologi. Tim-tim yang berbeda menggunakan fotografi dan metode lainnya untuk mengumpulkan bahan-bahan. Bahan-bahan ini digabungkan oleh editor untuk menghasilkan apa yang nampak sebagai "kesatuan" di depan mata penonton. Berbeda dengan teater, kesatuan dan kesinambungan sebuah film adalah jasa teknologi, dan bukan jasa aktor-aktornya.

Karena kesatuan sebuah film terletak dalam teknik pembuatannya, maka sutradara dan editor mempunyai kebebasan untuk mengatur dan memanipulasi jalannya cerita dengan berbagai cara. Mereka dapat mencampurkan adegan-adegan yang tidak saling berhubungan tanpa harus mengorbankan kesatuan film itu.

Pembuat film postmodern senang mengubah konsep tempat dan konsep waktu menjadi di sini dan kini selamanya. Usaha mereka dalam hal ini dipacu oleh banyaknya film yang telah diproduksi sebelumnya sehinga mereka mempunyai bahan untuk mencampurkannya. Misalnya: adegan Humphrey Bogart dalam film "The Last Action Hero" dan Groucho Marx dalam iklan Diet Pepsi. Kemajuan teknologi memungkinkan penggabungan keduanya, penggabungan "dunia nyata" dengan kenyataan lain. Contoh lain adalah penggabungan tokoh kartun dan tokoh manusia dalam film "Who Framed Roger Rabbit?"

Kemampuan seorang sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi sebuah film yang utuh, memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan dongeng, kenyataan dan khayalan. Sutradara- sutradara postmodern menggunakan kesempatan ini untuk mewujudnyatakan etos postmodern. Misalnya, film-film postmodern membuat film fiksi dan fantasi seperti layaknya kejadian nyata (film "Groundhog Day"). Mereka menggabungkan kisah film fiksi dengan aspek dokumenter (film "The Gods Must Be Crazy"). Mereka mencampurkan sebagian catatan sejarah dengan spekulasi dan mencampurkan dunia-dunia yang tidak berhubungan yang dihuni oleh tokoh-tokoh yang tidak jelas majakah yang asli (film "Blue Velvet").

Hidup dalam era postmodern berarti hidup di dalam dunia yang menyerupai film. Sebuah dunia dimana kebenaran dan dongeng bercampur. Kita melihat dunia sama seperti kita melihat film, dan kita curiga apakah yang kita lihat hanyalah sebuah ilusi. Kita dapat memahami sesuatu dalam pikiran sang sutradara. Ia mengajak kita melihat sesuatu yang sering terabaikan/terlupakan dalam dunia yang film itu gambarkan. Sebaliknya ketika melihat dunia sebenarnya, kaum postmodern tidak lagi percaya adanya sebuah Pikiran di baliknya.

TELEVISI DAN PENYEBARAN BUDAYA POSTMODERN

Teknologi pembuatan film memberikan dasar pijakan untuk budaya pop postmodern. Namun televisi merupakan sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan etos postmodern ke seluruh lapisan masyarakat.

Dilihat dari satu sisi, televisi hanyalah saranan yang efektif untuk menantikan turunnya film dari bioskop ke televisi. Banyak program televisi yang isinya hanya film-film, mulai dari yang pendek sampai miniseri. Televisi adalah sebuah sarana yang digunakan oleh film-film untuk menyerbu kehidupan sehari-hari jutaan orang. Sejauh ini, televisi hanyalah perpanjangangan tangan dari industri film.

Tetapi lepas dari hubungan dengan film, televisi memperlihatkan ciri khasnya sendiri. Dalam banyak hal, televisi jauh lebih fleksibel daripada film. Televisi melampaui film dengan menyajikan siaran langsung. Kamera televisi dapat menayangkan gambar kejadian langsung kepada pemirsa di seluruh belahan dunia.

Kemampuan untuk menyiarkan secara langsung membuat orang percaya bahwa televisi menyajikan peristiwa aktual yang benar-benar terjadi, tanpa adanya penafsiran, edit, atau komentar. Karena inilah televisi telah menjadi kriteria untuk membedakan yang nyata dan tidak. Banyak pemirsa tidak menganggap penting banyak hal. Tetapi jika CNN, Sixty Minutes menayangkannya, mereka akan segera merasa hal tersebut penting. Segala sesuatu tidak penting jika tidak ditayangkan televisi.

Televisi mampu menayangkan fakta secara langsung dan mampu menyebutkan produksi-produksi film. Kemampuan ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu mencampurkan "kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai kejadian nyata) dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai khayalan yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan). Film tidak dapat melakukan ini. Televisi masa kini melakukan hal tersebut terus-menerus. Ketika ada siaran langsung, di tengah-tengah siaran itu selalu diputus oleh "pesan dari sponsor."

Televisi melampaui film untuk mewujudkan etos postmodern. Televisi komersil menyajikan berbagai gambar kepada permirsa. Berita sore akan menghantam penonton dengan gambar-gambar yang tidak saling berhubungan: perang di suatu daerah terpencil, pembunuhan di dekat rumah, ucapan dari seorang politikus, skandal seks terbaru, penemuan ilmiah baru, berita olahraga. Campuran-campuran ini disisipkan dengan iklan baterai yang tahan lama, sabun mandi yang lebih bersih, makan pagi yang lebih sehat, dan liburan yang lebih menyenangkan. Dengan menampilkan berbagai gambar tersebut (berita dan iklan), televisi menciptakan kesan bahwa berita dan iklan sama pentingnya.

Siaran berita diikuti oleh program-program utama yang terlalu banyak untuk menarik dan membuat pemirsa bertahan. Maka isi program-program tersebut adalah film laga, skandal, kekerasan, dan seks. Drama-drama malam hari mempunyai bobot yang sama dengan berita sebelumnya. Dengan cara ini, televisi melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan fiksi, antara peristiwa yang benar-benar memilukan hati dan peristiwa sepele.

Ini terjadi bukan hanya pada satu saluran televisi, tetapi berpuluh bahkan ratusan saluran yang berbeda-beda. Hanya dengan sebuah remote control di tangan, seseorang dapat memilih apa pun yang ia suka, mulai dari berita terbaru, pertandingan tinju, laporan ekonomi, film kuno, laporan cuaca, film komedi, film dokumenter, dan sebagainya.

Dengan menawarkan begitu banyak campuran gambar, secara tidak sengaja televisi menyejajarkan hal-hal yang tidak saling cocok. Televisi membutuhkan kejelasan waktu dan tempat. Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yang dekat, segala sesuatunya di- bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern: menghapus batas antara masa lalu dan masa kini; dan menempatkan pemirsa dalam ketegangan terus-menerus. Banyak pengamat sosial menganggap televisi sebagai cermin dari kondisi psikologis dan budaya postmodern. Televisi menyajikan begitu banyak gambar yang tidak berhubungan dengan realitas, gambar-gambar yang saling berinteraksi terus-menerus tanpa henti.

Film dan televisi telah di persatukan oleh sebuah alat yang lebih baru - komputer pribadi.

Lenyapnya ego adalah tanda kemenangan postmodernisme.... Sang diri diubahkan menjadi sebuah tampilan kosong yang berisi kebudayaan yang telah jenuh namun hiperteknis. Arthur Kroker, Marilouise Kroker dan David Cook, "Panic Alphabet", dalam Panic Encyclopedia: The Definitive Guide to the Postmodern Scene (Montreal: New World Perspectives, 1989), hal. 16.


Munculnya "monitor" - layar bioskop, layar kaca televisi ataupun monitor computer, melenyapkan perbedaan antara diri sebagai subjek dan dunia sebagai objek. "Monitor" bukan sekadar objek di luar diri kita yang kita sedang lihat. Yang terjadi dalam monitor bukan sesuatu kejadian di luar sana dan diri kita di sini. "Monitor" membawa kita ke dunia luar sama seperti dunia luar masuk ke dalam diri kita. Yang terjadi dalam televisi merupakan manifestasi diri kita, yang terjadi dalam diri kita adalah penjelmaan televisi. Televisi telah menjadi sebuah wujud nyata dari jiwa kita.

Hidup dalam era postmodern berarti hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai gambar yang bercampur-aduk. Dunia televisi memecahkan gambar-gambar menjadi potongan-potongan dan kaum postmodern tetap yakin bahwa itu hanyalah campuran gambar-gambar.

WUJUD-WUJUD LAIN POSTMOERNISME DALAM BUDAYA POP

Film telah menyajikan budaya postmodern, dan televisi menyebarkannya , tetapi musik rock merupakan ciri yang paling khas dari budaya pop postmodern. Lirik lagu-lagu rock mencerminkan semboyan postmodern. Hubungan antara music rock dan budaya postmodern lebih mendalam lagi. Musik rock memiliki ciri utama dari postmodern, yaitu: fokus kepada global dan lokal.

Musik rock kontemporer mendapatkan banyak penggemar dan mampu menyatukan seluruh dunia. Tentunya kita ingat dengan tokoh-tokoh musik rock yang melakukan tur keliling dunia. Pada saat yang sama, musik rock mempertahankan selera lokal. Dalam penampilan grup-grup rock yang besar maupun yang kecil (tidak terkenal), musik rock memperlihatkan pluralitas gaya yang diambil dari gaya musik setempat (lokal dan etnis tertentu).

Yang tidak kalah penting, musik rock juga menggunakan sarana produksi elektronik sebagaimana televisi dan film. Dimensi penting dari budaya rock adalah penampilan langsung dari bintang-bintangnya. Konser musik rock tidak seperti konser tradisional dimana sang penyanyi berusaha berkomunikasi secara akrab dengan penonton. Yang terjadi dalam konser musik rock adalah "kedekatan massal yang dibuat-buat."

Konser rock kini merupakan peristiwa massal, melibatkan puluhan ribu penggemar. Kebanyakan penggemar tidak dapat melihat penampilan sang bintang dari dekat. Namun mereka masih berusaha mengalami pengalaman tersebut. Penampilan tersebut diperlihatkan kepada mereka melalui banyak layar video yang menyorot wajah sang bintang dari dekat.

Tehnik ini menciptakan jarak antara sang bintang dan penonton. Penggemar kelompok rock Jubilant merasa dekat dengan idola mereka sekalipun hanya lewat layar televisi. Teknologi mengubah kedekatan dalam sebuah pertunjukkan langsung menjadi kumpulan ribuan penggemar yang menonton layar video bersama-sama sementara mereka diserbu dengan berbagai-bagai efek cahaya, suara dan sebagainya.

Teknologi melenyapkan perbedaan antara penampilan aslinya dan tayangannya di televisi. Teknologi melenyapkan perbedaan antara penampilan langsung dan duplikasinya dalam musik. Penampilan langsung bukan lagi realitas yang terdapat dalam konteks khusus. Ia adalah campuran antara apa yang sang bintang tampilkan dan apa yang teknologi hasilkan. Penampilan itu dibungkus dalam kemasan teknologi setelah itu baru disajikan kepada para penggemar.

Wujud etos postmodern yang lebih sederhana adalah cara berpakaian. Model pakaian postmodern mempunyai kecenderungan yang mirip dengan budaya pop lainnya. Kita melihat ditonjolkannya merek dan label produk. Ini melenyapkan perbedaan antara pakaian dan iklan pakaian.

Wajah postmodern nampak dalam "bricolage." Berbeda dengan pola pakaian tradisional yang menyatukan berbagai corak secara harmonis, gaya postmodern sengaja menggabungkan elemen-elemen yang bertentangan, misalnya: pakaian dan aksesoris dari 10, 20, 30 dan 40 tahun lalu dipakai bersama-sama.

Percampuran yang bertentangan tersebut dimaksudkan sebagai sebuah ironi atau ejekan terhadap model pakaian modern, bahkan terhadap seluruh industri pakaian modern.

Dari musik rock ke turisme ke televisi sampai ke bidang pendidikan, yang dipromosikan oleh iklan dan yang dicari oleh konsumen bukan lagi barang-barang, tetapi pengalaman. Steven Connor, Postmodernist Culture (Oxford: Basil Blackwell, 1989), hal 154.



Budaya pop zaman kita mempunyai dua ciri khas postmodern: pluralisme dan anti-rasionalisme. Seperti nyata dari cara mereka berpakaian dan musik yang mereka dengar, kaum postmodern tidak lagi percaya kalau dunia mereka mempunyai sebuah fokus. mereka tidak lagi percaya bahwa rasio manusia dapat menangkap struktur logika alam semesta. Mereka hidup dalam dunia yang tidak membedakan antara kebenaran dan dongeng. Akibatnya mereka menjadi pengumpul bermacam-macam pengalaman, gudang yang brisi berbagai hal sementara, jembatan yang dilintasi bermacam-macam gambar, dan dihujani dengan aneka ragam media dalam masyarakat postmodern.

Postmodernisme memiliki asumsi yang bermacam-macam. Ini terbukti dari berbagai sikap dan ekspresi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan tersebut, kita menemukan bermacam-macam orang dalam masyarakat. Ekpresinya bervariasi dari cara berpakaian sampai televisi, termasuk musik dan film di dalamnya. Postmodernisme menjelma dalam beraneka ragam ekspresi budaya, termasuk arsitektur, seni, dan sastra. Lebih dari segalanya, postmodernisme adalah sebuah pemandangan intelektual.

Postmodernisme menolak gambaran mengenai seorang pemikir tunggal yang dilahirkan oleh Pencerahan. Postmodern mengejek mereka yang merasa yakin dapat melihat dunia dari suatu titik puncak seolah-olah mereka dapat berbicara demi kepentingan seluruh umat manusia. Postmodernisme telah menggantikan cita-cita pencerahan tersebut dengan keyakinan baru, yaitu: semua pernyataan mengenai kebenaran dan kebenaran itu sendiri terbatas oleh kondisi sosial.

Roh Kudus dan Alkitab

John R.W. Stott menulis artikel ini bahwa semua orang Kristen sadar bahwa antara Kitab Suci dan Roh Suci, pasti terdapat suatu hubungan yang erat. Sebenarnya semua orang Kristen percaya bahwa dalam arti tertentu Alkitab adalah hasil karya cipta Roh Kudus. Karena setiap kali kita mengikrarkan Pengakuan Iman Nicea, kita menegaskan salah satu pokok kepercayaan kita tentang Roh Kudus bahwa 'Dia telah berfirman dengan perantaraan para nabi'. Ungkapan tadi merupakan gema ungkapan-ungkapan serupa di Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Tuhan kita Yesus Kristus sendiri suatu ketika mengutip Mazmur 110 dan menjelaskan: 'Daud sendiri oleh pimpinan Roh Kudus berkata: ...' (Markus 12:36). Petrus dalam suratnya yang kedua, sama menulis 'oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah' (2Petrus 1:21), atau bila diterjemahkan harafiah dari istilah Yunaninya, 'mereka diombang-ambingkan oleh Roh Kudus', (istilah yang sama digunakan dalam Kisah Para Rasul 27:18), persis seperti kapal diombang-ambingkan angin. Jelas ada hubungan penting antara Alkitab dan Roh Kudus. Hal ini kini akan kita selidiki.

Sejauh ini sudah kita pikirkan bahwa Allah adalah sumber dari penyataan yang diungkapkan-Nya dan bahwa Yesus Kristus adalah pokok utama penyataan-Nya. Kini perlu kita tambahkan bahwa Roh Kudus adalah perantara-Nya. Dengan demikian, pemahaman Kristen tentang Alkitab bersumber pada pemahaman tentang Tritunggal. Alkitab berasal dari Allah, berpusat pada Kristus dan diilhamkan oleh Roh Kudus. Karena itu definisi terbaik tentang Alkitab pun bernafaskan Tritunggal: "Alkitab adalah kesaksian Bapa tentang Anak melalui Roh Kudus."

Jadi persisnya, apakah peran Roh Kudus dalam proses penyataan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita beralih kepada Alkitab sendiri, terutama 1Korintus 2:6-16.

Penting kita melihat bagian Alkitab ini dalam konteksnya yang lebih luas. Sampai di bagian ini, Paulus sedang menegaskan tentang 'kebodohan' Injil. Sebagai contoh, 'pemberitaan tentang salib memang adalah 'kebodohan' (1Korintus 1:18), dan 'kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan' (1Korintus 1:23). Katakanlah sekarang bahwa berita tentang salib terdengar bodoh bahkan tak mengandung arti bagi para intelektual sekular. Paulus sekarang mengkoreksi agar jangan timbul kesan pada para pembacanya bahwa dia sama sekali menolak pentingnya hikmat dan bermegah dalam kebodohan. Apakah rasul anti intelek? Apakah dia menghina pengertian dan penggunaan akal? Tidak, sama sekali tidak.

1Korintus 2:6-7 menuliskan, "Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat ... hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, . . . yang telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita." Perbandingan yang Paulus buat tidak boleh kita lewati. Kami jelas menyampaikan hikmat, tulisnya, tetapi:
hanya kepada yang telah dewasa, bukan kepada yang bukan Kristen atau bahkan bukan kepada Kristen yang masih muda iman;
hikmat tersebut adalah hikmat Allah, bukan hikmat duniawi;
yaitu agar kita menerima kemuliaan, maksudnya kesempurnaan akhir kita kelak melalui keikutsertaan kita dalam kemuliaan Allah dan bukan hanya membawa kita pada pembenaran di dalam Kristus.

Dalam usaha menginjili orang yang bukan Kristen, kita harus memusatkan perhatian pada 'kebodohan' Injil tentang Kristus yang tersalib bagi orang berdosa. Dalam usaha membangun orang Kristen menuju kedewasaan penuh, kita harus memimpin mereka ke dalam pengertian tentang keseluruhan rencana Allah. Paulus menyebut hal tersebut di ayat 7 sebagai 'hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia' dan di ayat 9 'semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia'. Hal itu hanya dapat diketahui, tegas Paulus, melalui penyataan. 'Penguasa- penguasa dunia ini' (para pemimpin dunia) tidak mengertinya, atau mereka tidak akan menyalibkan 'Tuhan yang mulia' (ayat 8). Bukan mereka saja, semua manusia, pada diri mereka sendiri, tidak memahami hikmat dan maksud Allah.

Rencana Allah, menurut Paulus di ayat 9 adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata, atau didengar telinga, atau diselami hati. Hikmat Allah itu di luar jangkauan mata, telinga, dan pikiran manusia. Ia tidak tunduk kepada penelitian ilmiah, juga terhadap imajinasi. Hikmat Allah sama sekali di luar batas dan daya ukur akal kita yang sempit dan terbatas, kecuali Allah sendiri menyatakannya. Memang itulah yang sudah Allah buat! "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." Rencana mulia-Nya yang tak terbayangkan ini, 'telah Allah nyatakan kepada kita melalui Roh-Nya'. Kata 'kita' sedemikian kuat tekanannya, dan diartikan dalam konteksnya bukan menunjuk kepada kita semua tanpa perbedaan, tetapi dimaksudkan untuk Rasul Paulus yang menulis dan untuk sesama rekan rasul lainnya. Allah memberikan penyataan khusus tentang kebenaran-kebenaran tersebut kepada alat-alat penyataan-Nya yang khusus (yaitu para nabi Perjanjian Lama dan para rasul Perjanjian Baru), dan Allah melakukan ini 'melalui Roh-Nya'. Roh Kudus menjadi perantara penyataan tersebut.

Saya kuatir bahwa pengantar yang dimaksudkan untuk menolong kita mengerti konteks pembicaraan Paulus tentang Roh Kudus sebagai perantara penyataan ini terasa agak panjang. Apa yang diuraikannya selanjutnya adalah pernyataan luas yang sangat menakjubkan. Dia menggarisbesarkan empat tahap karya Roh Kudus, sebagai perantara penyataan Ilahi.

Roh Yang Menyelidik

Roh Kudus adalah Roh yang menyelidik (ayat 10-11). Sambil lalu patut kita perhatikan bahwa ungkapan ini menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah pribadi. Hanya pribadi-pribadi yang dapat terlibat dalam usaha menyelidik atau 'penyelidikan'. Tentu kita ketahui bahwa komputer- komputer modern dapat mengadakan riset yang sangat rumit yang bersifat mekanis dan analitis. Tetapi riset sejati (seperti yang sangat dikenal oleh para mahasiswa pasca sarjana) bukan hanya mengandung penyusunan dan analisis data secara statistik, tetapi menuntut pemikiran orisinal baik dalam bentuk penelitian maupun refleksi. Inilah bentuk pekerjaan yang dilakukan Roh Kudus karena Dia memiliki akal yang melaluinya Dia berpikir. Karena berkeberadaan sebagai Pribadi Ilahi (bukan komputer atau pengaruh atau kekuatan belaka), kita harus membiasakan diri menyebut-Nya sebagai 'Dia' (Pribadi) dan bukan 'ini' (benda).

Paulus menggunakan dua lukisan menarik untuk menyatakan kemampuan- kemampuan unik Roh Kudus dalam karya penyataan.

PERTAMA, 'Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah' (ayat 10). Istilah yang sama digunakan Yesus tentang orang Yahudi yang 'menyelidiki Kitab-kitab Suci', dan menurut Moulton dan Milligan (dalam buku mereka 'Vocabulary of the Greek New Testament'), berdasarkan kutipan naskah dari abad ketiga, 'para penyelidik' adalah para petugas beacukai. Dalam arti mana pun, Roh Kudus digambarkan sebagai penyelidik yang giat dan teliti, atau bahkan sebagai penyelam yang berusaha mengarungi kedalaman Diri Allah yang Maha Kuasa yang tak terselami itu. (Mungkin Paulus meminjam istilah 'dalam' dari perbendaharaan kata bidat Gnostik.) Keberadaan Allah tak terukur kedalaman-Nya, dan secara terus terang Paulus menyatakan bahwa Roh Kudus menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah. Dengan kata lain, Allah sendiri menjelajahi kelimpahan keberadaan-Nya sendiri.

Contoh KEDUA yang Paulus kemukakan, diambilnya dari pengertian diri manusia. "Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia?" (ayat 11) 'Apa yang terdapat' menunjuk kepada 'hal-hal' khas ciri kemanusiaan kita. Seekor semut tak mungkin menyelami bagaimana keberadaan hidup manusia. Katak, kelinci, atau monyet tercerdas sekalipun tidak mampu. Juga seorang manusia tak mungkin menyelami sepenuhnya keberadaan diri seorang manusia lainnya. Betapa sering kita berkata, terutama ketika masih remaja, "Anda tak mengerti saya; tak seorang pun mengerti saya." Benar ucapan tadi! Tak seorang pun mengerti saya kecuali saya sendiri, bahkan pengertian saya tentang diri sendiri pun masih terbatas. Demikian pula, tak seorang pun mengerti Anda kecuali Anda sendiri. Ukuran pengertian diri atau kesadaran diri ini diterapkan Paulus kepada Roh Kudus (ayat 11): "Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah." Roh Kudus Allah di sini hampir disamakan dengan pengertian diri Ilahi atau kesadaran diri Ilahi. Sama seperti halnya tak seorang pun dapat mengerti seseorang kecuali orang itu sendiri, demikian pula tak seorang pun dapat mengerti Allah kecuali Allah sendiri. Ada lagu yang mengatakan, "Allah saja mengetahui kasih Allah." Senada dengan itu dapat pula kita tegaskan bahwa Allah saja yang mengetahui hikmat Allah, sesungguhnya Allah saja yang mengetahui keberadaan Allah.

Dengan demikian, Roh menyelidiki kedalaman-kedalaman diri Allah, dan Roh mengetahui perkara-perkara Allah. Dia memiliki pemahaman yang unik tentang diri Allah. Masalahnya sekarang ialah: Apa yang dibuat-Nya dengan apa yang sudah diselidiki dan diketahui-Nya itu? Apakah disimpan-Nya sendiri pengetahuan unik-Nya itu? Tidak. Dia sudah melakukan hal yang hanya Dia patut dan mampu melakukannya; Dia telah menyatakannya. Roh yang menyelidik menjadi pula Roh yang menyatakan.

Roh Yang Menyatakan

Apa yang diketahui hanya oleh Roh Kudus, Dia pula yang dapat menyatakannya. Hal ini sudah ditegaskan di ayat 10, "Karena kepada kita (para rasul) Allah telah menyatakannya oleh Roh." Kemudian Paulus menguraikannya di ayat 12: "Kita (kita yang sama yaitu para rasul) tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah (yaitu Roh yang menyelidik din yang mengetahui), supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita." Sebenarnya, para rasul telah menerima dua karunia istimewa dari Allah, PERTAMA karunia keselamatan (apa yang dikaruniakan Allah kepada kita) dan KEDUA, Roh memampukan mereka untuk mengerti keselamatan anugerah-Nya.

Paulus sendiri merupakan contoh terbaik tentang proses rangkap ini. Sambil kita membaca surat-suratnya, dia memberikan suatu uraian yang indah sekali tentang Injil kasih karunia Allah. Dia menyatakan apa yang telah Allah buat untuk orang-orang berdosa seperti kita yang tidak pantas menerima yang lain kecuali hukuman-Nya. Dia menyatakan bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya untuk mati disalib bagi dosa-dosa kita dan bangkit kembali, dan jika kita melalui iman di hati dan baptisan di depan umum maka kita turut mati bersama Dia dan bangkit kembali dengan Dia, mengalami suatu kehidupan baru di dalam Dia. Injil ajaib seperti inilah yang Paulus ungkapkan kepada kita dalam surat- suratnya. Tetapi bagaimana dia dapat mengetahui semua ini? Bagaimana dia dapat membuat uraian seluas itu tentang keselamatan? Jawabnya tentunya ialah karena PERTAMA dia sendiri sudah menerimanya. Dia mengetahui kasih karunia Allah dalam pengalamannya. KEDUA, Roh Kudus telah diberikan kepadanya untuk menafsirkan pengalamannya itu kepada dirinya. Jadi, Roh Kudus menyatakan kepadanya rencana keselamatan Allah, yang dalam surat-suratnya yang lain disebutnya sebagai 'rahasia' Allah. Roh yang menyelidik menjadi Roh yang menyatakan.

Roh Yang Mengilhamkan

Kini kita tiba ke tahap ketiga: Roh yang menyatakan menjadi Roh yang mengilhamkan. "Kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh." (Ayat 13) Perhatikan bahwa di ayat 12 Paulus menulis tentang apa yang dia terima dan di ayat 13 tentang apa yang dia sampaikan. Mungkin baik bila saya mengupas alur pikirannya ini sebagai berikut: "Kami telah menerima karunia-karunia besar ini dari Allah; kami telah menerima Roh-Nya untuk menafsirkan bagi kami apa yang sudah Allah buat dan berikan untuk kami; kini, kami menyatakan apa yang sudah kami terima itu kepada orang-orang lain." Roh yang menyelidik yang sudah menyatakan rencana keselamatan dari Allah kepada para rasul, meneruskan penyampaian Injil ini melalui para rasul kepada orang-orang lain. Sama seperti halnya Roh tidak menyimpan hasil-hasil penyelidikan-Nya untuk diri-Nya sendiri, demikian pula para rasul tidak menyimpan penyataan dari-Nya itu untuk diri mereka sendiri. Tidak. Mereka mengerti bahwa mereka dipercayakan sebagai penatalayan. Mereka harus meneruskan apa yang sudah mereka terima kepada orang- orang lain.

Lagi pula, apa yang mereka sampaikan itu berbentuk kata-kata dan kata- kata itu menurut mereka bukan berasal dari hikmat manusia tetapi diajarkan oleh Roh Kudus (ayat 13). Lihatlah di sini bagaimana Roh Kudus disinggung kembali, tetapi kali ini sebagai Roh yang mengilhamkan. Dalam ayat 13 ini tertampung pernyataan rangkap Paulus tentang 'pengilhaman verbal'. Artinya, kata-kata yang melaluinya para rasul meneruskan berita yang telah dinyatakan Roh kepada mereka, adalah kata-kata yang sama yang telah diajarkan kepada mereka oleh Roh.

Menurut dugaan saya, penyebab mengapa ungkapan 'pengilhaman verbal' kurang disenangi orang adalah kesalahmengertian tentang artinya. Akibatnya, apa yang mereka tolak bukan arti sesungguhnya, melainkan karikaturnya. Izinkan saya menjernihkan beberapa kesalahan konsep berikut. PERTAMA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa 'setiap kata dalam Alkitab harus dianggap benar secara harafiah'. Tidak, kita tahu benar bahwa para penulis Alkitab sering menggunakan berbagai jenis gaya tulisan, yang masing-masing harus ditafsirkan menurut peraturannya sendiri-sendiri -- sejarah sebagai sejarah, puisi sebagai puisi, perumpamaan sebagai perumpamaan, dan sebagainya. Yang diilhamkan adalah arti wajar masing-masing kata, sesuai dengan maksud pengarangnya sendiri, entah harfiah ataupun simbolik.

KEDUA, 'pengilhaman verbal' bukan berarti dikte lisan. Kaum Muslim percaya bahwa Allah mendiktekan Quran kepada Muhammad, kata demi kata dalam bahasa Arab. Bukan begini yang dipercaya orang Kristen tentang Alkitab, sebab, sebagaimana sudah kita lihat sebelum ini dan yang kelak akan lebih saya tegaskan, Roh Kudus memperlakukan para penulis Alkitab sebagai pribadi, bukan sebagai mesin. Walaupun ada beberapa kasus perkecualian, umumnya mereka sepenuhnya menguasai seluruh kemampuan manusia mereka sementara Roh mengkomunikasikan firman-Nya melalui kata-kata mereka.

KETIGA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa setiap kalimat dalam Alkitab adalah firman Allah, biarpun bila dilepaskan dari konteksnya, misalnya. Tidak semua hal yang ditampung dalam Alkitab disetujui oleh Alkitab. Kisah khotbah-khotbah panjang para sahabat Ayub adalah contoh baik tentang hal ini. Pernyataan utama mereka bahwa Allah menghukum Ayub karena dosa-dosanya, sama sekali salah. Di pasal terakhir, dua kali Allah berkata, "Kamu tidak berkata benar." (Ayub 42:7-8) Jadi, kata-kata mereka tidak bisa dianggap sebagai kata-kata Allah. Ucapan- ucapan mereka diikutsertakan bukan untuk disetujui, melainkan untuk disalahkan. Firman Allah yang diilhamkan ialah yang disetujui dan ditandaskan, entah berbentuk perintah, petunjuk, atau janji.

Yang dimaksud dengan 'pengilhaman verbal' ialah bahwa apa yang sudah dan masih dikatakan oleh Roh Kudus melalui penulis-penulis Alkitab, bila dimengerti sesuai dengan arti jelas dan wajar dari kata-kata yang tertulis itu adalah benar tanpa salah. Tak perlu kita merasa dibuat malu oleh pokok iman Kristen ini, atau merasa dipermalukan atau takut mengakuinya. Sebaliknya, doktrin ini jelas jelas masuk akal, sebab kata-kata adalah bangun dasar yang membentuk kalimat-kalimat. Kata- kata adalah sel-sel dasar yang membangun ucapan. Tidak mungkin memolakan pesan yang tepat tanpa membentuk kalimat-kalimat tepat yang terdiri dari kata-kata yang tepat pula.

Bayangkanlah bagaimana sulitnya menyusun sebuah telegram. Katakanlah kita diberi batas hanya dua belas kata. Pada saat yang sama kita diminta untuk menyusun bukan saja pesan yang dapat dimengerti, melainkan juga pesan yang tak akan disalahmengertikan. Untuk itu kita menyusun, menyusun, dan menyusunnya ulang. Kita buang satu kata di sini dan menambah sebuah kata lagi di sana, sampai pesan kita tersusun rapi, jelas, dan memuaskan. Kata-kata sedemikian penting artinya. Setiap pengkhotbah yang ingin mengkomunikasikan pesan yang dapat dimengerti dan tak akan disalahmengertikan, tahu pentingnya kata-kata. Setiap pengkhotbah yang berhati-hati mempersiapkan khotbah-khotbahnya, memilih kata-katanya dengan teliti. Setiap penulis, entah menulis surat atau artikel atau buku, tahu bahwa kata itu penting artinya. Dengarkanlah apa yang pernah ditulis seseorang berikut ini: "Betapa agung milik manusia yang satu ini: kata-kata ... Tanpa kata, tak mungkin kita memahami hati dan pikiran sesama kita. Bila demikian, tak ada bedanya manusia dari binatang ... sebab, begitu kita ingin berpikir dan memahami sesuatu, kita selalu memikirkannya dalam kata- kata, walaupun itu tidak kita utarakan kuat-kuat; tanpa kata, segala isi pikiran kita tinggal sekadar tumpukan kerinduan dan perasaan yang gelap tak terselami dan tak terpahami bahkan oleh diri kita sendiri." Jadi, kita selalu harus membungkus pikiran-pikiran kita dalam kata- kata.

Hal inilah sebenarnya yang dicanangkan para rasul bahwa Roh Kudus Allah yang sama yang menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah dan yang menyatakan penyelidikan-penyelidikan-Nya itu kepada para rasul, meneruskannya melalui para rasul dalam kata-kata yang berasal dari pilihan para rasul sendiri. Roh mengutarakan kata-kata-Nya melalui kata-kata mereka, supaya kata-kata itu sekaligus merupakan kata-kata Allah dan kata-kata manusia. Inilah yang dimaksud bahwa Alkitab dikarang secara rangkap. Ini pula maksud 'pengilhaman'. Pengilhaman Alkitab bukan suatu proses mekanis. Pengilhaman sepenuhnya melibatkan Pribadi (Roh Kudus) yang berbicara melalui pribadi-pribadi (para nabi dan para rasul) sedemikian rupa sehingga secara serempak kata-kata-Nya menjadi kata-kata mereka sendiri, dan mereka menjadi kata-kata Dia.


Roh Yang Menerangi

Kini kita tiba pada tahap kerja Roh Kudus yang keempat sebagai perantara penyataan, dan dalam tahap ini saya sebut Dia sebagai Roh yang 'menerangi'. Mari kita telusuri bersama.

Bagaimanakah anggapan kita tentang mereka yang mendengar khotbah- khotbah rasul dan kemudian membaca surat-surat rasul? Adakah mereka dibiarkan sendiri tanpa bantuan? Haruskah mereka bergumul sekuat tenaga untuk mengerti pesan-pesan rasuli itu? Tidak! Roh yang sama yang giat bekerja di dalam diri mereka yang menulis surat-surat rasuli, giat pula di dalam diri mereka yang membaca surat tersebut. Jadi, Roh Kudus bekerja di dalam keduanya, mengilhamkan firman-Nya kepada para rasul dan menerangi para pendengar mereka. Secara tidak langsung hal ini disinggung dalam ayat 13, ayat yang rumit dan sering ditafsirkan berbeda-beda. Saya cenderung menerjemahkan, "Roh Kudus menafsirkan kebenaran-kebenaran rohani kepada mereka yang memiliki Roh." Hal memiliki Roh tidak terbatas hanya pada para penulis Alkitab. Tentu saja karya pengilhaman-Nya di dalam mereka bersifat unik; namun sebagai tambahan Roh Kudus berkarya pula dalam penafsiran.

Ayat 14 dan 15 mengupas kebenaran ini dan menekankan segi-segi yang berbeda tajam. Ayat 14 mulai dengan menunjuk pada 'manusia duniawi', yaitu mereka yang tidak diperbaharui yakni orang non-Kristen. Sebaliknya, ayat 15 mulai dengan 'manusia rohani', yang memiliki Roh Kudus. Dengan demikian, Paulus membagi manusia ke dalam dua kategori yang terpisah tajam: 'yang duniawi' dan 'yang rohani', yaitu mereka yang memiliki kehidupan alami, atau jasmani di satu pihak dan mereka yang sudah menerima kehidupan rohani atau kehidupan kekal di lain pihak. Golongan pertama tidak memiliki Roh Kudus karena mereka belum dilahirkan kembali, tetapi Roh Kudus mendiami mereka yang telah dilahirkan-Nya baru, didiami oleh Roh Kudus, merupakan ciri orang Kristen sejati (Roma 8:9).

Apa bedanya bila kita memiliki Roh Kudus atau tidak? Besar sekali! Terutama (walaupun ada perbedaan lainnya), dalam pengertian kita tentang kebenaran rohani. Manusia tidak rohani atau yang belum diperbaharui, yaitu yang tidak menerima Roh Kudus, tidak juga menerima perkara-perkara dari Roh Kudus karena hal itu merupakan kebodohan bagi mereka (ayat 14). Bukan saja tidak mengerti, melainkan juga tidak sanggup lagi mengerti karena sudah 'terlalu paham'. Manusia rohani di lain pihak, Kristen yang sudah dilahirkan kembali dan di dalam siapa Roh Kudus berdiam, 'menilai' (istilah Yunaninya sama dengan memahami di ayat 14) 'segala sesuatu'. Bukan berarti dia menjadi maha tahu seperti Allah, melainkan semua perkara yang dulu tidak dilihat dan dipahaminya, yaitu yang telah Allah nyatakan dalam Alkitab, kini menjadi berarti baginya. Dia mengerti apa yang dulu tidak dimengertinya walaupun karena itu dia sendiri tidak dapat dimengerti orang lain. Secara harfiah berarti 'dia tidak dipahami oleh siapa pun'. Dia menjadi semacam teka-teki, sebab ada rahasia yang dalam tentang kebenaran dan kehidupan rohaninya yang tidak masuk akal bagi orang-orang tak beriman. Sebenarnya ini tidak perlu diherankan, sebab tak seorang pun tahu pikiran Allah atau mampu mengajari Dia. Karena mereka tidak mengerti pikiran Kristus, mereka tidak mengerti kita pula walaupun kita yang telah diterangi Roh Kudus dapat berkata dengan berani, "Kami memiliki pikiran Kristus." (ayat 16) Betapa ajaib!

Inikah pengalaman Anda? Sudahkah Alkitab menjadi suatu buku berarti bagi Anda? Seseorang pernah berkata kepada sahabatnya sesaat sesudah pertobatannya, "Jika Allah menarik kembali Alkitabnya dan menukarnya dengan yang lain, Alkitab lain itu bukan lagi barang baru baginya." Hal yang sama saya alami sendiri. Sebelum saya bertobat, saya membaca Alkitab setiap hari karena diharuskan ibu saya. Tetapi saya menghadapi banyak sekali kesulitan. Tak sedikit pun saya mengerti isinya. Tetapi ketika saya dilahirkan kembali dan Roh Kudus datang berdiam di dalam diri saya, tiba-tiba Alkitab menjadi sesuatu yang baru bagi saya. Tentu, saya tidak menganggap bahwa saya tahu segala sesuatu. Saat ini pun saya masih jauh dari mengerti segala perkara. Tetapi saya mulai mengerti hal-hal yang tadinya tidak saya mengerti. Betapa ajaibnya pengalaman ini! Anda jangan menganggap Alkitab sebagai kumpulan naskah-naskah kuno berbau apek yang harus dipajang di perpustakaan. Jangan beranggapan bahwa halaman-halaman Alkitab seumpama fosil-fosil yang harus ditempatkan di balik kaca-kaca museum. Tidak, Allah masih berbicara melalui apa yang sudah dibicarakan-Nya. Melalui teks kuno dalam Alkitab, Roh Kudus dapat berkomunikasi kembali dengan kita kini, secara segar, pribadi dan penuh kuasa. "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan (ditulis dalam bentuk waktu sekarang) Roh (melalui Alkitab) kepada jemaat jemaat." (Wahyu 2:7)

Jika Roh Kudus pada zaman ini masih berbicara kepada kita melalui Alkitab, mungkin Anda akan bertanya, "Mengapa tidak terjadi persetujuan pendapat tentang segala sesuatu, jika selain menjadi perantara penyataan, Roh Kudus juga adalah penafsir, mengapa Dia tidak memimpin kita kepada suatu pemikiran yang sama?" Jawaban saya mungkin akan membuat Anda kaget. Sesungguhnya, Dia memungkinkan kita untuk lebih mengalami kesepakatan ketimbang tidak. Kita akan memiliki pemahaman yang sama asal saja kita mengikuti empat persyaratan berikut.

PERTAMA, kita harus menerima otoritas mutlak Alkitab dan bersungguh hati tunduk kepadanya. Di antara mereka yang bersikap seperti ini terciptalah sejumlah konsensus Kristen yang berarti. Perbedaan besar dan menyakitkan yang ada, misalnya antara Gereja Roma Katholik dan Gereja-gereja Protestan, terutama terjadi karena yang pertama terus saja enggan menyatakan bahwa Alkitab memiliki otoritas mutlak melampaui tradisi gereja. Posisi resmi Gereja Roma (walaupun sudah diubah namun tidak cukup memadai oleh Konsili Vatikan kedua), masih menegaskan bahwa 'baik Tradisi Suci dan Kitab Suci harus diterima dan dihornytti dengan sikap ibadah dan khidmat yang sama'. Gereja-gereja Protestan tidak menyangkal pentingnya tradisi, dan sebagian dari kita sangat menghormatinya, sebab Roh Kudus sudah sejak generasi-generasi yang lampau mengajar, dan Dia bukan baru saja mengajarkan kebenaran kepada kita. Namun bila di antara keduanya terjadi benturan, kita harus mengizinkan Alkitab untuk membentuk ulang tradisi, sama seperti yang Yesus tegaskan terhadap tradisi orang Yahudi (Markus 7:1-13). Jika Gereja Roma Katholik memiliki keberanian untuk menolak tradisi- tradisi yang tidak alkitabiah (misalnya, dogma mereka tentang ketidakberdosaan Maria dan pengangkatan Maria ke Surga), kemajuan cepat akan tercapai ke arah persetujuan di bawah firman Allah.

KEDUA, kita harus ingat hal yang sudah kita bahas sebelum ini bahwa maksud utama Alkitab ialah memberi kesaksian kepada Kristus, Sang Juruselamat sempurna bagi orang-orang berdosa. Ketika para perintis Reformasi di abad keenam belas menekankan pentingnya kejelasan Alkitab dicapai dengan menerjemahkannya agar orang biasa dapat membacanya sendiri, mereka sebenarnya sedang menunjuk pada jalan keselamatan. Mereka tidak menyangkal bahwa Alkitab mengandung 'hal-hal yang sukar dipahami' (komentar Petrus tentang surat-surat Paulus di 2Petrus 3:16); apa yang mati-matian mereka tegaskan ialah bahwa kebenaran- kebenaran hakiki untuk keselamatan, dapat dimengerti oleh semua orang dengan jelas.

KETIGA, kita harus menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang sehat. Tentu mudah sekali memutarbalikkan Alkitab sesuka keinginan kita mengertinya. Tetapi tugas kita ialah menafsirkan, bukan memutarbalikkan Alkitab. Yang terutama harus kita cari ialah arti asal dan arti wajar Alkitab sesuai dengan maksud penulisnya. Mungkin bisa harfiah bisa pula kiasan, lagi-lagi tergantung niat penulisnya. Apa yang kita sebut tadi ialah prinsip historis dan prinsip kesederhanaan. Bila keduanya diterapkan secara lurus dan ketat, maka Alkitab akan mengontrol kita, bukan kita mengontrol Alkitab. Akibatnya, wilayah- wilayah tentang mana kita bersepakat akan bertambah luas.

KEEMPAT, kita harus mendatangi teks Alkitab dengan kesadaran tentang adanya prasangka-prasangka budaya kita dan kesediaan untuk mengizinkan prasangka tadi ditantang dan diubah. Jika kita datang kepada Alkitab dengan sikap angkuh dan menganggap semua pemahaman iman dan kebiasaan yang kita warisi benar adanya, tentu saja di dalam Alkitab hanya akan kita temukan hal-hal yang memang ingin kita temukan, yaitu dukungan untuk status quo kita. Selain itu, kita pun akan berada dalam pertentangan tajam dengan orang lain yang datang kepada Alkitab dari latar belakang dan keyakinan yang berbeda, namun ternyata mendapatkan 'dukungan' Alkitab untuk pandangan mereka. Mungkin tak ada penyebab lebih lazim timbulnya pertentangan daripada faktor tadi. Hanya jika kita cukup berani dan rendah hati, mengizinkan Roh Allah melalui firman. Allah mempertanyakan secara radikal pandangan-pandangan yang paling kita sayangi, baru kita akan mendapatkan keesaan dan pengertian yang segar.

Pemahaman rohani yang dijanjikan Roh Kudus tidak bertentangan dengan keempat syarat ini, tetapi syarat-syarat ini merupakan pengandaian yang harus kita terima dan penuhi lebih dulu.


Kesimpulan

Kita telah menyelidiki tentang Roh Kudus dalam empat peran: Roh yang menyelidik, Roh yang menyatakan, Roh yang mengilhamkan, dan Roh yang menerangi. Inilah keempat tahap pelayanan Roh Kudus mengajar umat-Nya. PERTAMA, Dia menyelidiki kedalaman Allah dan pikiran Allah. KEDUA, Dia menyatakan penyelidikan-Nya itu kepada para rasul. KETIGA, Dia menyampaikan apa yang telah dinyatakan-Nya kepada para rasul melalui para rasul dengan kata-kata yang disediakan-Nya sendiri. KEEMPAT, Dia menerangi pikiran para pendengar agar mereka dapat memahami apa yang sudah dinyatakan kepada dan melalui para rasul, dan masih melanjutkan karya iluminasi-Nya ini bagi mereka yang ingin menerimanya sampai saat ini.

Dua pelajaran singkat sederhana akan mengakhiri pembahasan ini. Yang PERTAMA menyangkut pandangan kita tentang Roh Kudus. Sekarang ini Pribadi dan karya Roh Kudus banyak diperbincangkan orang. Bagian Alkitab kita ini hanya salah satu dari banyak bagian Alkitab lainnya tentang Roh Kudus. Tetapi izinkan saya bertanya kepada Anda, "Adakah tempat dalam doktrin Anda tentang Roh Kudus untuk bagian ini?" Yesus menyebut-Nya 'Roh Kebenaran'. Berarti kebenaran penting bagi Roh Kudus. Ya, saya tahu bahwa Dia juga adalah Roh kekudusan, Roh kasih dan Roh kuasa, tetapi apakah Dia merupakan Roh Kebenaran untuk Anda? Menurut ayat-ayat yang sudah kita pelajari, Dia sangat mementingkan kebenaran. Dia menyelidikinya, menyatakannya, mengkomunikasikannya, dan menerangi pikiran kita agar mampu mengertinya. Sahabat, jangan sekali-kali meremehkan kebenaran! Jika Anda lakukan itu, Anda mendukai Roh Kudus kebenaran. Bagian ini seharusnya membawa dampak nyata pada pandangan kita tentang Roh Kudus.

KEDUA, kebutuhan kita akan Roh Kudus. Inginkah Anda bertumbuh dalam pengenalan Anda tentang hikmat Allah dan rencana menyeluruh-Nya menjadikan kita serupa Kristus dalam kemuliaan-Nya kelak? Tentu ingin, seperti halnya saya juga. Berarti kita butuh Roh Kudus, Roh kebenaran, untuk menerangi pikiran kita. Untuk itu kita perlu dilahirkan kembali. Kadang-kadang terpikir oleh saya, mengapa sementara teolog sekuler mengeluarkan ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan serendah nilai sampah (yang saya maksudkan, misalnya ialah penolakan mereka akan kepribadian Allah dan Keilahian Yesus) adalah karena mereka belum dilahirkan kembali. Mungkin saja seseorang menjadi teolog tanpa dilahirkan kembali. Inikah sebabnya mereka tidak memahami kebenaran-kebenaran ajaib dalam Alkitab? Alkitab dapat dipahami secara rohani. Karena itu kita perlu datang kepada Alkitab dengan rendah hati, hormat, dan penuh harap. Kita perlu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dinyatakan di dalam Alkitab masih terkunci dan termeterai sampai Roh kudus membukakannya bagi kita dan membukakan pikiran kita untuk kebenaran tersebut. Allah menyembunyikan kebenaran-Nya dari orang berhikmat dan orang pandai, dan menyatakannya kepada 'bayi-bayi', yaitu mereka yang dengan rendah hati dan hormat datang kepada-Nya. Jadi, sebelum kita, para pengkhotbah, membuat persiapan; sebelum warga jemaat mendengarkan, sebelum seseorang atau sekelompok orang mulai membaca Alkitab dalam masing-masing situasi ini, kita harus berdoa agar Roh Kudus memberikan penerangan-Nya: "Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu." (Mazmur 119:18) Maka pasti Dia akan melakukannya.

Filsafat sebagai Pendidikan Politik

NIETZSCHE membayangkan filsafat sebagai praktik membentuk kehidupan--sebagai perjuangan dan kegagalan serta gelombang-pasang energi ekstatik--yang mengubahnya dari malaise idealisme melalui ribuan malam-malam gelap menuju pencapaian kesehatan yang bersemangat.

Senada dengan Nietzsche, Gramsci pernah mengatakan bahwa 'filsafat yang sejati bukan merupakan cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung seluruh anasir fundamental yang dibutuhkan untuk mengonstruksi konsepsi tentang dunia yang total dan integral dan segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi masyarakat politik yang integral dalam kehidupan manusia'. (Gramsci, "Selections from Prison Notebooks", 1933). Oleh karenanya, politik Gramsci mengarahkan dia pada filsafat, dan filsafatnya sepenuhnya bersifat politis. Dengan kata lain, Gramsci melihat filsafat sebagai pendidikan politik, dan politik sebagai arena untuk menerapkan pengetahuan filosofis.

Gramsci sepenuh hati sepakat dengan Sartre bahwa apa yang dibutuhkan adalah 'sebuah teori yang meletakkan pengetahuan di dalam dunia-- dan yang menentukannya dalam negativitasnya. Dan harus dipahami bahwa mengetahui bukanlah pengetahuan tentang ide-ide, tetapi pengetahuan praktis tentang segala hal'. (Sartre, "Search for a Method", 1963).

**

GAGASAN mengenai kaitan antara filsafat dan politik sebenarnya sudah bisa ditemukan dalam pemikiran Plato yang memahami filsafat dan politik dalam terma-terma yang sama; tujuannya adalah untuk merasionalisasikan tatanan politik menurut hasil-hasil permenungan filosofis dan untuk melembagakan pencarian pengetahuan filosofis sebagai prinsip utama tatanan politik. Pemikiran ini juga dilanjutkan oleh Aristoteles yang memandang politik sepenuhnya sebagai praksis, yang banyak bergantung pada kebiasaan-kebiasaan yang baik dan pemikiran yang jernih.

Pemikiran ini kemudian dilanjutkan oleh Karl Marx yang memandang bahwa seluruh filsafat sejati bersifat autodidak: manusia yang bekerja, berproduksi, dan berpikir adalah pendidikan bagi diri mereka sendiri melalui berbagai praksis yang mereka lakukan. Marx memandang bahwa praksis individu berada dalam hubungan dialektis dengan sejarah: melalui praksis, manusia secara kolektif menciptakan sejarah mereka, yang kemudian membatasi dan mensyaratkan praksis.

Persoalan filsafat dan pendidikan, dalam pemikiran Marx, kadang-kadang direduksi menjadi persoalan-persoalan instrumental yang bisa dipecahkan melalui rasionalitas teknis dan organisasional, dan 'sekolah buruh' dilengkapi dengan konsepsi-konsepsi mengenai pendidikan proletarian yang hingga tingkat tertentu bersandar pada 'para pendidik luar'. Setidaknya ada dua konsepsi Marx yang terkenal menyangkut persoalan ini.

Yang pertama, mungkin bisa disebut dengan therapeutic image, karena peran pendidik di sini adalah bertindak sebagai semacam terapis tidak langsung yang, dalam membangunkan dunia dari mimpi-mimpinya, hanya memfasilitasi, tetapi tidak memaksakan praktis baru yang lebih tepat. Yang kedua disebut directive image di mana kaum intelektual borjuis yang memainkan peran aktif dan edukatif berusaha membangkitkan kesadaran kritis di kalangan kaum proletariat.

Dalam kondisi seperti ini, jelas bahwa peran filsafat sangat penting untuk memunculkan kesadaran yang lebih mendalam tentang realitas kehidupan yang kita hadapi. Selama ini, bangsa kita terjebak dalam pola-pikir--meminjam istilah Jameson--depthlessness sebagai akibat dari terlalu silaunya kita dengan penampakan dan bentuk, tetapi sering mengabaikan substansi dan hakikat sesuatu. Oleh karenanya, ada baiknya kita merenungkan kembali gagasan-gagsan dari para pemikir di atas perihal filsafat sebagai pendidikan politik, mengingat politik tanpa dilandasi pemikiran yang jernih dan permenungan mendalam tentang realitas kehidupan yang kita hadapi hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang jauh dari memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Ketika Gramsci--dengan mengutip Sartre--menyatakan bahwa knowing is not knowing of ideas but a practical knowing of things. Setidaknya di sini terdapat tiga konsep kunci mengenai manusia, pengetahuan, dan dunia. Mengatakan bahwa manusia adalah ansambel hubungan-hubungan sosial bukan berarti menindas kategori subjek konkret atau pribadi. Intinya adalah memahami subjek konkret yang 'mengetahui, berkehendak, menghormati, dan menciptakan' melalui 'hubungan-hubungan aktif' dengan subjek-subjek konkret lainnya dan dunia. Gramsci menekankan bahwa di antara hubungan-hubungan ini, individualitas mungkin adalah yang paling penting. Ini memberinya basis ontologis untuk memandang kebebasan manusia sebagai tergantung baik pada individualitas maupun pada kolektivitas yang ditempatkan secara tepat.

Di sini kita melihat bahwa manusia sebagai individu memiliki kemerdekaan untuk melakukan apa saja, tetapi di sisi lain, ia pun harus mempertimbangkan posisinya di antara individu-individu lain yang juga memiliki hak sama. Dengan demikian, penempatan secara proporsional individualitas dan kolektivitas akan melahirkan kehidupan sosial yang lebih mengedepankan asas keadilan dan kerja sama dengan tidak mengorbankan orang lain secara semena-semena.

Manusia juga memasuki hubungan dengan dunia alami secara aktif, dengan cara bekerja dan teknik. Bagi Gramsci, dunia ini tidak riil secara objektif, tetapi secara aktif dimunculkan oleh subjek-subjek manusia. Pada saat yang sama, kategori mengenai 'dunia' tidak selalu identik dengan kategori tentang objektifikasi manusia; Gramsci tidak menyangkal eksistensi realitas material yang independen, atau apa yang disebut Marx sebagai natural substratum. Apropriasi terhadap dunia dalam objektifikasi manusia adalah proses mediasi kompleks yang dibimbing oleh kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan manusia.

Manusia mengetahui fenomena bukan melalui pilihan semena-mena, tetapi sebagai 'kualitas-kualitas' yang telah diisolasi sebagai akibat dari kepentingan-kepentingan praktisnya dan kepentingan-kepentingan ilmiahnya. Gramsci memandang kepentingan-kepentingan ini bukan sebagai entitas-entitas yang terpisah secara analitis, tetapi sebagai aspek-aspek yang saling menembus (interprenetrating aspects) dari nexus subjek dan dunia yang terpadu.

Oleh karenanya, gambaran umum tentang kehidupan manusia yang muncul dalam reaopropriasi Gramsci terhadap Marx adalah bahwa individu-individu konkret secara aktif mentransformasikan dunia alami dalam sebuah proses kolektif kerja sosial yang dibimbing oleh kepentingan-kepentingan praktis dan ilmiah bersama. Manusia adalah pembentuk, sekaligus dibentuk oleh, dunia.

Dari pembedaan kepentingan ini, Gramsci kemudian mengklasifikasikan kaum intelektual menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator yang secara terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi, yang sebagian besar (atau seluruh kerjanya) didasarkan pada kepentingan ilmiah; dan kedua adalah intelektual organik, yang dipandang Gramsci sebagai kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Intelektual organik inilah yang kemudian membawa angin perubahan dalam masyarakat karena mereka bekerja berdasarkan kepentingan praktis. Dan ke arah mana perubahan itu--perbaikan dan keruntuhan--banyak tergantung pada para politisi dan/atau pengusaha yang menggunakan jasa intelektual untuk kepentingannya, selain otonomi atau kemandirian seorang intelektual untuk menerima atau menolak 'pesanan' tertentu.

**

UPAYA untuk mengaitkan filsafat dengan politik dan transformasi sosial dalam masyarakat juga terdapat dalam pemikiran tokoh-tokoh teori kritis yang, menurut Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1972), membedakan dirinya dari teori 'tradisional' dengan mengklaim sebagai teori yang memiliki 'maksud praktis'. Dalam hal ini, teori kritis menemukan inspirasinya dalam "Theses on Feurbach" kesebelas-nya Marx yang terkenal: Selama ini, para filsuf hanya menginterpretasikan dunia, dengan beragam cara; padahal yang lebih penting adalah bagaimana mengubah-nya.

Teori kritis merupakan kritik terhadap kapitalisme, apropriasinya atas nilai-nilai kolektif, dan komodifikasinya atas segala aspek masyarakat modern. Ia memberikan pemahaman yang lebih baik atas kondisi-kondisi sosial sekarang, bagaimana kondisi-kondisi ini berubah, bagaimana kondisi-kondisi ini ditransformasikan, bagaimana kondisi-kondisi ini berinteraksi satu sama lain, hukum-hukum apa yang mengatur transformasi mereka, dan bagaimana kondisi-kondisi itu mempertahankan keabsahannya. Tugas yang kompleks ini dicapai melalui pendekatan multi-disiplin yang memadukan berbagai perspektif yang berasal dari banyak bidang kajian yang berbeda. Bidang-bidang ini termasuk kajian ekonomi, sejarah, filsafat, politik, psikologi, dan sosiologi. Namun, tidak berarti bahwa teori kritis hanya terbatas pada bidang-bidang ini. Bertentangan dengan kepercayaan banyak ilmuwan, teori kritis pada hakikatnya bersifat swa-refleksif dan dikendalikan nilai. Tujuan akhir dari teori kritis adalah mentransformasikan masyarakat sekarang menjadi masyarakat yang adil, rasional, manusiawi, dan damai. Teori kritis memiliki beberapa tugas mendasar, tetapi tidak terbatas hanya pada tugas-tugas ini, yang sama pentingnya dalam situasi historis sekarang. Sebagian tugas dari teori kritis antara lain:

* Mempromosikan pendidikan yang diversified bagi seluruh individu dengan maksud untuk menghindarkan mereka dari spesialisasi yang berlebihan. Ini akan menciptakan individu-individu dengan fakultas-fakultas mental yang kuat yang akan mampu berpikir secara kritis mengenai kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.
* Menciptakan keseimbangan sosial antara otonomi personal individu dan solidaritas universal kolektif.
* Mempromosikan revolusi melawan segala bentuk fasisme dan nasionalisme buta.
* Mempromosikan revolusi melawan segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin, orientasi seksual, ras, dan kepercayaan agama, dan
* Mempertahankan nilai-nilai moral yang baik yang mempromosikan solidaritas dan membantu menciptakan sebuah masyarakat yang adil, manusiawi, rasional, dan damai.

**

SEBAGAI penutup, saya akan mengutip pandangan Paulo Freire mengenai pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran politik, dengan harapan kita bisa bercermin dari pemikiran-pemikiran ini guna memperbaiki baik sistem pendidikan kita maupun tatanan politik bangsa kita menuju bangsa yang lebih berkeadilan dan demokratis.

Seperti ditulis oleh Peter L. Berger dalam "Pyramids of Sacrifice" (1974), pada permulaan tahun 1960-an, sebelum kaum militer melancarkan kudeta, Paulo Freire dan teman-teman sekerjanya melakukan percobaan dengan sebuah metode baru dalam pendidikan membaca dan menulis di kawasan Timur Laut Brazil. Gagasan dasar dalam pendekatan baru tersebut sederhana: Mengajar membaca dan menulis bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari kegiatan lebih besar untuk memperluas cakrawala dari orang-orang yang sebelumnya buta huruf. Salah satu segi yag penting dari kegiatan ini bersifat politis. Orang-orang buta huruf itu belajar membaca dan menulis melalui pembahasan berbagai topik--yang disebut Freire sebagai generative themes--yang menyangkut kehidupan sosial yang mereka alami sehari-hari. Bagi kaum proletar yang menjalani proses pemiskinan di kawasan Timur Laut tersebut, hal ini terutama berarti perampasan, pengisapan, dan penindasan. Tujuan pendidikan adalah menggabungkan 'alfabetisasi' dengan kesengajaan menanamkan kesadaran tentang fakta-fakta penindasan, dan juga pemahaman atas semua kekuatan (ekonomi, politik, struktur sosial) yang dianggap sebagai penyebab timbulnya fakta-fakta penindasan ini. Namun, Freire terutama berkepentingan untuk memupuk perkembangan kesadaran politik tersebut ketimbang pemberantasan buta huruf itu sendiri. Jadi, pada intinya, metodenya adalah metode pendidikan politik--lebih tepat, metode pendidikan untuk aktivitas politik.

Tujuan yang pada intinya politis inilah, lebih daripada pembahasan, pembaruan teknis dalam pendidikan membaca dan menulis, yang menimbulkan minat terhadap metode Freire di seluruh dunia. Ia menyebut metodenya sebagai concientizacao--secara harfiah berarti 'menyadarkan'. Istilah itu menjadi terkenal di dunia internasional--sebagai concientizacion di Amerika Latin yang berbahasa Spanyol, sebagai Bewusstmachung di kalangan kiri Jerman, dan sebagai consciousness raising di Amerika Serikat. Dalam pemakaian istilah itu yang biasa sekarang ini, kaitan pendidikannya yang asli dikesampingkan. Namun, 'peningkatan kesadaran' dipandang sebagai metode untuk mengajar kelompok tertindas apa pun juga agar memahami kondisinya dan (dan kesatuan antara teori dan praksis) untuk menggiatkan mereka secara politis demi mengubah kondisi mereka secara revolusioner.

"Pedagogy of the Oppressed"-nya (1970) Freire juga memusatkan perhatian pada a transformed consciousness semacam ini, tetapi ia didedikasikan untuk pemberdayaan kaum tertindas (para petani miskin di Amerika Tengah) melalui berbagai macam metode, termasuk self-directed dan pendidikan yang tepat. Ia juga merujuk pada kesadaran palsu dari para penindas, dan menekankan kebutuhan untuk mengarahkan penindas agar mau melihat bagaimana 'reifikasi' telah mengakibatkan dehumanisasi baik terhadap penindas maupun yang ditindas. Konsen utama Freire terletak pada upaya transformasi sosial para oligarki politis masyarakat Amerika Latin dengan memberi pendidikan baik kepada penindas maupun yang ditindas melalui swa-refleksi kritis (conscientisation) mengenai situasi sosial-politik yang mereka hadapi untuk kemudian mengubahnya menjadi situasi yang lebih baik, lebih adil, dan lebih manusiawi. (Oleh CHUSNUL MURTAFIIN).