Sabtu, April 04, 2009

Cinta Mengikut Teori PEA

CINTA itu tidak abadi! Nah, itulah kabar mutakhir tentang cinta. Kesimpulan yang amat “berani” itu dinyatakan dan ditemukan oleh seorang antropologi dari Amerika Syarikat, Helen Fischer, setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun. Tapi, mungkinkah cinta boleh di perkutak-katikkan semudah itu, bahkan sempat dibahas dari segi kimia dan sosial juga budaya, padahal bagi kebanyakkan orang, cinta identik dengan sebuah benda misteri? Cinta, meskipun boleh dirasakan, kononnya sangat tidak mudah untuk dimengerti. Ia boleh meluapkan kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Boleh menciptakan kebebasan, namun boleh juga membuat manusia bagaikan seorang tawanan.


Cinta jugalah yang menyemburkan segunung kreativiti bagi sebagian penyair ternama seperti Kahlil Gibran dalam menciptakan puisi, maupun komposer berkaliber Beet-hoven. Tapi, di sinilah membingungkannya, kadang cinta juga boleh membuat orang kehilangan semangat sekaligus mengalami kehancuran kreativiti. Jadi, kalau memang boleh diteliti secara ilmiah, cinta itu sebenarnya apa?

Dalam hubungan antara jenis pasangan terutama yang sedang dilanda asmara, fenomena cinta sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dirasakan. Nah, ketika mata bertemu pandang yang berlanjut pada persentuhan tangan, biasanya orang akan merasakan gejala yang sama:- darah mengalir lebih cepat, semburat merah muncul di pipi, peluh dingin membasahi telapak tangan, bahkan menghela napas pun jadi terasa berat. Dalam situasi seperti inilah hati bagaikan bergolak, disesaki oleh gelora cinta.

Menurut Helen Fischer seorang “peneliti cinta” di Universiti Boston, Amerika Syarikat ini lagi, reaksi romantik seperti itu timbul kerana kerja sejumlah hormon yang ada dalam tubuh, khususnya hormon yang diproduksi otak. Gelora cinta manusia yang meluap-luap tidak jauh berbezanya dengan reaksi kimia. Malangnya, senyawa antara hormon ini sangat dekat. Dan, berdasarkan teori Four Years Itch yang diumumkannya, daya tahan gelora cinta itu hanya mencapai empat tahun saja. Setelah itu, hancur tampa kesan lagi. Sebagaimana yang terjadi pada sebuah reaksi kimia, wujudnya tidak akan pernah kembali seperti semula.

Sesungguhnya pula, perasaan yang menghanyutkan dalam masa jatuh cinta tadi boleh dianalisis secara kimia. Jadi, prosesnya dimulakan pada saat mata saling bertemu. Tangan yang bersentuhan bagaikan dialiri arus eletrik. Fenomena ini sudah pasti kerana tindakbalas hormon tertentu yang ada di otak, mengalir ke seluruh saraf hingga ke pembuluh darah yang terkecil sekalipun. Inilah yang membuat wajah memerah, dan timbul perasaan “melayang”. Aliran darah yang demikian cepat membuat bernafas pun menjadi berat.

Jika difikir-fikirkan, bagaimana hormon dalam otak bekerja, ketika seseorang sedang jatuh cinta? Boleh dijelaskan sebagai berikut. Ketika hubungan mata sedang berlangsung, tertanam suatu `kesan’. Inilah fasa pertama. Otak bekerja bagaikan komputer yang menyediakan sejumlah data, dan menserasikannya dengan sejumlah data yang pernah dirakam sebelumnya. Ia mencari apa yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang ditimbulkan oleh lawan jenis pun boleh menjadi pemicu timbulnya rasa romantik.

Fasa kedua, iaitu munculnya hormon phenylethylamine (PEA) yang diproduksi otak. Inilah sebabnya ketika terkesan oleh seseorang, secara automatik senyum pun dilontarkan. Spontan, kilang PEA pun aktif bekerja ketika “wisel” mula dibunyikan. Hormon dopamine dan norepinephrine yang juga terdapat dalam saraf manusia, turut mendampingi. Hormon-hormon inilah yang menjadi pemicu timbulya gelora cinta. Setelah dua tiga tahun, efektiviti hormon-hormon ini mula berkurang.

Fasa ketiga yaitu ketika gelora cinta sudah reda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins , senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak. Sebagaimana efek yang ditimbulkan dadah dan sebagainya, saat inilah tubuh merasa nyaman, damai, dan tenang.

Ada hormon lain yang akhir-akhir ini dihubungkan dengan cinta. Diproduksi oleh otak, hormon ini membuat saraf menjadi sensitif. Saat itulah tubuh akan didorong untuk merasakan sensasi cinta. Hormon ini pulalah yang diduga boleh mendorong terjadinya proses orgasme ketika bercinta atau melakukan hubungan seksual.

Teori tentang cinta pernah popular sekitar 9 hingga 10 tahun yang lalu. Lebih tepat sekali, ketika pendekatan ilmu faal yang membedah tubuh manusia menjadi popular. Selanjutnya, teori ini kian berkembang dan mula dihubung-hubungkan dengan bidang ilmu lainnya. Kemudianya, ada juga teori cinta dengan pendekatan bioneurologi yang melihat, membandingkan, dan mengamati struktur otak orang gila misalnya, atau psikologi dan fisiologi yang mempelajari kaitan antara perilaku manusia dan pengaruh hormon pada tubuhnya. Cinta sebenarya sama dengan emosi. Kalau emosi seringkali ditentukan oleh sejumlah hormon (terutama dalam siklus menstruasi), maka hal yang sama juga berlaku dalam proses jatuh cinta. Terutama ketika terjadi cinta pada pandang pertama, ada getaran dalam tubuh. Tapi, apakah ya, gelora cinta semata-mata ditentukan oleh hormon dalam tubuh?

Diane Lie seorang psikologi sekaligus peneliti rambang pada sebuah Universiti di Beijing membentangkan teorinya, meskipun urusan cinta boleh dijelaskan secara kimia, namun kecamuk cinta tidak semata-mata hanya ditentukan oleh aktiviti hormon, dan manusia tidak berdaya mengatasinya. Juga tidak selalu bererti bila kadar hormon berkurang, bererti getarannya pun berkurang.

Memang, pemacu semburan cinta (PEA) tadi, memiliki pengaruh kerja yang tidak tahan lama. Hormon yang secara ilmiah memiliki kesamaan dengan amfetamin ini, hanya efektif bekerja selama 2-3 tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun bagaikan imun, `kebal’ terhadap si pemicu gelora.

Akan tetapi, sekali lagi, masih menurut Diane, proses jatuh cinta itu tidak semata-mata hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi kimianya. Apalagi dalam proses orang bercinta hingga menikah, banyak faktor sosial lainnya yang menentukan. Contohnya proses jatuh cinta yang dalam bahasa jawa dipanggil versi Tresno Jalaran Soko Kulino” yang bermaksud datangnya cinta
kerana pertemuan yang berulang-ulang “. Demikian pula ketika kita marah dan ingin memaki orang lain, hormon memang punya pengaruh khusus, namun tetap ada faktor lain yang ikut menentukanya.

Manusia merupakan makhluk yang paling kompleks. Jika proses reaksi kimia terjadi pada haiwan, barulah teori rendahnya daya tahan PEA ini boleh dipercayai. Jadi, teori Helen Fiscer yang disebut Four Years Itch juga boleh dipatahkan.

Pendeknya, teori PEA dilandaskan pada pendekatan ilmu eksakta, sedangkan teori Four Years Itch oleh Fischer yang lingkaran penelitiannya mencakup 62 jenis kultur ini, lebih menggunakan pendekatan sosial.

Fischer, yang juga penulis buku ” Anatomy of Love “, menemukan betapa kes perceraian mencapai puncaknya ketika usia perkawinan mencapai usia empat tahun. Kalaupun masa empat tahun itu telah dilalui, katanya, kemungkinan itu berkat hadirnya anak kedua. Kondisi ini membuat perkawinan mereka boleh bertahan hingga empat tahun lebih.

Jadi, kalau kita main kira-kira, rasanya boleh dikatakan seru juga. Misalnya, masa bercinta telah dilalui tiga tahun, bererti kesempatan untuk boleh mempertahankan gelora cinta hanya ada di tahun pertama perkawinan. Lalu apa yang terjadi ketika masa perkawinan menjejak tahun kedua, ketiga dan seterusnya? Cuma ada sisa-sisa, atau bahkan punah ranah sama sekali? Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami masa bercinta lebih dari enam tahun?
Menurut pandangan Diane, dalam hubungan suami istri atau bercinta, selain cinta, ada hubungan lain yang sifatnya friendship, (persahabatan). Kalau setelah beberapa waktu cinta itu menipis - mungkin kerana tersisihkan hal-hal lain, misalnya kerana rutin yang dilakukan adalah hal-hal yang sama juga setiap hari, lalu segalanya jadi terasa membosankan.


Sumber: http://chiungwanara.co.cc/?p=12

2 komentar:

Olga Guterres mengatakan...

Gw kira teori ini lebih lumayan, tapi gw ada pertnyaan gimana dgn orag yang bercinta udah 1 1/2 tahun namun selulu mengalami masalah dalm bercinta..????


Apa ini adalh tahap percoban atu gimana...??

Bobby Putrawan mengatakan...

Permasalahan dalam cinta perlu ditemukan akar masalahnya. Diharapkan dengan menemukan akar masalahnya maka ada solusi terhadap permasalahan tersebut. Dari fenomena yang ada, terdapat beberapa permasalahan, yaitu : perbedaan prinsip (sikap hidup), kedewasaan (termasuk karakter dan kepribadian), fisik (wajah, tubuh, dll), ekonomi, agama, suku, dan lainnya. Pada umumnya permasalahan yang sering timbul adalah perbedaan prinsip (sikap hidup) dan kedewasaan iman (karakter dan kepribadian). Dari setiap keputusan memang harus disadari dampak positif dan negatifnya, karena ini terhubung dengan kehidupan mereka selanjutnya. Ada yg berpendapat kalau dirasa terlalu jauh berbeda dan berat maka lebih baik berpisah, atau mencari yang lebih cocok, dan lain sebagainya. Sebenarnya sikap ini adalah untuk mencari keminimalan permasalahan dalam hubungan cinta.
Tetapi terlebih dari semua itu, inti dari hubungan cinta adalah saling memahami, menerima, dan mendukung. Maksudnya adalah semua itu diarahkan dalam kedewasaan iman.
Ini yang saya pahami, ok selamat berjuang jangan sampai salah melangkah.