Rabu, Desember 08, 2010

KETIGA TAHAP KASIH ALLAH

Apakah yang Yesus maksudkan ketika Ia berbicara pertama-tama tentang kehilangan dan kemudian menemukan diri sendiri? Bernard dari Clairvaux (1090-1153) berbicara tentang ketiga tahap kasih Allah. Pertama, ada tahap ketika seseorang mengasihi Allah demi dirinya sendiri, karena suatu hal yang Allah lakukan bagi kita.Bernard berpikir bahwa sebagian besar orang berada pada tahap ini.

Kedua, ada thap ketika seseorang mengasihi Allah demi Allah sendiri, karena Dia di dalam-Nya sendiri. Bernard berpendapat bahwa dalam kehidupankita beberapa orang mencapai tahap ini, tetapi hanya sesaat dalam mengagumi keindahan dan keagungan Allah secara sungguh-sungguh.

Tahap ketiga, menurut Bernard, jauh lebih sulit dicapai, yakni mengasihi diri sendiri demi Allah. Menurut Bernard, tahap ini hanya dapat dicapai oleh segelintir orang di dalam kehidupan kita. Banyetak komentator yakin bahwa tahap ketiga hanyalah perluasan dari tahap pertama. Bernard jugalah yang mengatakan bahwa tahap itu tidak dapat digambarkan dengan suatu cerita apokrif.

Tetapi pada bukunya yang lain berjudul "Letters", hal 417, Bernard mempercayai bahwa peniliaian yang tepat atas kemampuan seseorang konsisten dengan kerendahan hati yang sesungguhnya. jadi, ia beranggapan bahwa tahap kedua jadi lebih unggul dibandngkan dengan tahap pertama karena orang yang congkak sekurang-kurangnya beriman kepada Allah, iman bahwa Allah dapat melakukan sesuatu melalui dirinya, suatu hal yng kurang pada tahap pertama.

Mengutip tulisan Paul Tillich dalam bukunya "The Shaking of The Foundations" hal. 158, bahwa:
Kita terbiasa untuk menggutuk sikap mencintai diri sendiri; tetapi yang semestinya kita kutuk adalah lawan dari cinta kepada diri sendiri. Itu adalah campuran antara pementingan diri dan perasaan membenci diri sendiri yang tetap mengejar kita, yang mencegah kita untuk mencintai orang lain, dan yang menghalangi kita dari penyangkalan diri dalam cinta kasih yang olehnya kita dicintai untuk selamanya. Orang yang mampu mencintai dirinya sendiri, juga mampu mencintai orang lain; orang yang telah belajar mengalahkan penghinaan terhadap diri sendiri telah mengalahkan penghinaan terhadap orang lain. Namun, dalamnya keterpisahan kita itu terletak justru pada kenyataan bahwa kita tidak mampu memiliki cinta ilahi yang besar dan penuh rahmat terhadap diri kita sendiri.

Fides Quaerens Intellectum.

Sabtu, Oktober 02, 2010

BAPTIS

Pengertian Baptis menjadi perdebatan baik secara definisi maupun dalam praktek Baptisan dalam gereja-gereja. Pengertian Baptis (Yunani: Baptizo) sendiri dalam Alkitab memiliki beberapa pengertian Mencuci, membersihkan, membasuh (Markus 7:4; Lukas 11:38; Ibrani 9:10, 19, 21), Dicelupkan, Ditenggelamkan (Matius 26:23). Dari beberapa ayat di atas dapat ditarik pengertian bahwa baptisan adalah tanda, simbol, ritual/kegiatan yang menunjuk pada pertobatan, pembersihan, pembasuhan dari yang kotor, tidak bersih, dosa.

Dalam Matius 3:16 Setelah Yesus keluar dari air maka turunlah Roh Kudus seperti burung merpati (dove) atas-Nya.

"Kai baptistheis de o Iesous anabe euthus anebe apo tou udatos kai idou ...."

Ada penafsir mengatakan bahwa kata "air" menunjuk pada "sungai" karena kata sebelumnya menggunakan "apo" yang menunjuk pada "sungai - tempat". Memang dalam bahasa Yunani, kata "apo" dapat menunjuk pada tempat, tetapi tidak hanya itu. Kata "apo" dapat juga menunjuk pada waktu (time) atau hubungan (relation), bandingkan dengan Strong's Hebrew and Greek Dictionaries.
Menurut pemikiran saya, kato "apo" dalam teks ini, lebih baik menunjuk pada "hubungan (relation) waktu (time) dari kejadian/peristiwa".
Alasannya adalah pada kata sebelumnya menggunakan kata Yunani "Baptistheis" berbentuk Aorist Nominative (deskripsi, menjelaskan kegiatan yang telah terjadi), dan hal ini diperkuat dalam Greek New Testament Variants ada penambahan kata "Kai (dan)" sebelum kata Baptistheis". Dalam versi Greek New Testament Wescott and Hort, kata "kai" dalam awal kalimat tidak ada karena sumber text yang berbeda, walaupun demikian kata "Baptistheis" sendiri menunjukkan waktu kegiatan/peristiwa yang telah terjadi.
Selain itu, apabila ada dua kata "kai" dalam sebuah kalimat, maka kata "kai" pertama dapat diterjemahkan "when (ketika)". Jadi apabila digabung dapat diterjemahkan: "Ketika setelah dibaptis"
Dan dilanjutkan kata "de" berbentuk konjungsi (kata sambung) diterjemahkan "tetapi, juga, sekarang" yang juga menunjukkan pada "waktu". Kata "Kai Baptistheis de" berarti ketika dibaptis, pada waktu itu juga.

Selanjutnya, "o Iesous (Yesus) euthus (segera-soon/straightway) naik/bangkit-go up/ascend/araise (kata Yunani "anebe" berbentuk Second Aorist Active - Kegiatan yang telah terjadi); kata "apo" diterjemahkan keluar dari/dari (out of/from), "tou udatos" diterjemahkan air itu (the water). Memang bahwa baptisan itu dilakukan di Sungai Yordan. Tetapi maksud penulis bahwa penulisan itu menunjuk pada airnya seperti yang tertulis pada ayat sebelumnya dimana Yohanes membaptis dengan air (Matius 3:11).
Kemudian dilanjutkan dengan kata "Kai (dan)"........... yang menjelaskan bahwa kegiatan itu tidak terpisah dengan kegiatan sebelumnya.

Jika diterjemahkan secara bebas: "Ketika setelah dibaptis, Yesus segera naik keluar dari air itu dan ......". Jadi penafsiran dari kata "air itu (tou udatos)" memang lebih tepat dari pada "sungai itu", karena kurang tepat jika diterjemahkan "keluar dari sungai" karena dihubungkan dengan pengertian baptisan Yohanes (Matius 3:11). Dalam peristiwa Yesus lebih dari itu, dimana Baptisan terlihat dengan dia segera naik/bangkit keluar dari air dan langit terbuka dan Roh Kudus turun atasnya.

Kesimpulannya: Baptisan dalam Matius 3:16, menunjukkan bahwa Baptisan ditandai dengan Yesus segera (masuk dan) naik/bangkit keluar dari air itu dan langit terbuka dan Roh Kudus Turun seperti burung merpati. Dengan kata lain, bahwa baptisan merupakan kesediaannya disucikan dan dipimpin oleh Roh Kudus. Hal ini tidak dapat dipisahkan dan sesuai dengan ucapan Yohanes Pembaptis pada ayat sebelumnya di Matius 3:8.

Yohanes Pembaptis mengatakan bahwa baptisan itu sebagai tanda pertobatan (Matius 3:11) yang terlihat dari hasil buah pertobatan (Matius 3:8), bukan ritual/bentuk kegiatannya.
Hasil pertobatan berbuah ketika Roh Kudus turun atas orang yang bertobat, sama yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam surat Galatia 5:22-23 tentang buah Roh, karena Kerajaan Allah sudah dekat (Matius 3:2). Orang yang melakukan pertobatan berada dalam pemerintahan/dipimpin Allah, Allah yang berkuasa atasnya, hal ini terlihat dengan Roh Kudus yang turun atasnya.

Permasalahannya adalah apakah setiap orang yang dibaptis adalah orang yang bertobat dan dipimpin oleh Roh Kudus? Kalau orang yang dibaptis belum bertobat dan dipimpin oleh Roh Kudus, maka apa fungsi dari ritual baptisan memakai percik/diselam/bendera/lainnya? Bukan hal ini tidak ada artinya. Maksudnya saya bukannya ritual baptisan tidak diperlukan, ritual baptisan tetap diperlukan, tetapi esensi dari baptisan seperti yang dimaksud dalam Matius 3:16 itulah yang lebih penting, yaitu baptisan adalah pertobatan dan dipimpin oleh Roh Kudus. Pertobatan dan dipimpin oleh Roh Kudus adalah hidup dalam pemerintahan Allah dan menghasilkan buah Roh (Galatia 5:22-23).

Fides Quaerens Intellectum.


Sumber Pustaka:
1. Strong's Hebrew and Greek Dictionaries
2. Greek New Testament - Wescott and Hort

Sabtu, Januari 02, 2010

TRANSUBTANSIASI

Etimologi

Transubstansiasi (Bahasa Latin: transsubstantiatio) adalah perubahan hakekat dari hosti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus yang terjadi di dalam perayaan Ekaristi menurut ajaran beberapa Gereja Kristiani, terutama Gereja Katolik Roma, di saat semua yang bisa dicerna oleh indra manusia tidak berubah. Dalam Bahasa Yunani hal ini disebut μετουσίωσις.

Teologi Transubtansiasi

Ketika berada di Perjamuan Terakhir-nya, Yesus berkata: "Inilah tubuh-Ku" (hoc est corpus meum),[1] apa yang ia pegang di tangannya masih memiliki semua penampilan dari sepotong roti: "kecelakaan-kecelakaan" ini tidak berubah. Namun, Gereja Katolik Roma percaya bahwa, ketika Yesus menyatakan hal tersebut,[2] kenyataan mendasar ("hakekat") dari roti tersebut telah dirubah menjadi bagian dari tubuhnya. Dengan kata lain, roti itu sesungguhnya adalah tubuh-Nya, di saat semua penampilannya yang dapat dicerna oleh indera manusia atau yang dapat ditemukan oleh penelitian ilmiah adalah masih sepotong roti seperti sebelumnya. Gereja percaya bahwa perubahan hakekat roti dan anggur terjadi pada saat konsekrasi Ekaristi.[3]

Karena Kristus yang bangkit dari antara yang mati adalah hidup, Gereja percaya bahwa ketika roti berubah menjadi tubuh-Nya, bukan saja tubuh-Nya saja yang hadir, melainkan Kristus sendiri secara penuh juga hadir, yakni tubuh dan darah-Nya, jiwa dan keilahian-Nya. Hal yang sama juga berlaku bagi anggur yang berubah menjadi darah-Nya.[4] Kepercayaan ini melingkupi hal yang lebih besar daripada doktrin transubstansiasi, yang secara langsung hanya membatasi diri pada perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.[5]

Sedikit menambahkan, Transsubstansiasi adalah ajaran resmi Gereja Katolik (diresmikan oleh Konsili Trento sesuai pendirian Gereja utk mengikuti teologi skolastik Thomas Aquinas meski istilah ini pertama kali digunakan Hildebert of Tours). Thomas sendiri mengambilnya dari "hylemorfisme" Aristoteles, yang mengajarkan bahwa dlm suatu realitas (ens) terdapat dua unsur,materia (accident) dan forma (substance).

Air menjadi es, materianya berubah namun forma/substansinya tetap. Ketika dipatrapkan pada Perjamuan Kudus, Aquinas (dan sementara orang hingga berabad-abad) berpendapat Roti dan Anggur materianya tetap namun formanya berubah (terjadi perubahan substansi). Aquinas berpendapat terjadi Real Presence tanpa kehadiran fisikal, melainkan sakramental. Tentu saja kini menjadi problematis ketika sains modern (khususnya kimia) tak mendukung teori Aristoteles dan Aquinas ini, dan secara filosofis dualisme natural-supernatural tidak lagi diterima.

Lalu mengenai saat berubahnya, merujuk pada pemikiran para Bapa Gereja saya berpendapat meski diimani Real Presence, namun tak pernah dijelaskan kapan dan bagaimana ( mengenai "how" ini saya kira penegasan Konsili Trento diarahkan dlm konfrontasi dg Protestan), dan tentu saja bukan saat Imam mengucapkan kata2 institusi/konsekrasi, bahkan dlm tradisi Katolik, khususnya di Doa Syukur Agung, mulai dikembalikan peran doa Epiklesis (doa mohon turunnya Roh Kudus), bahwa roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus karena kuasa Roh Kudus (menjelaskan 'how"-nya), kapan terjadi? kita tidak tahu.

Schillebeeckx mengajukan transignifikansi kiranya mengantisipasi perkembangan ilmu modern yg menjadikan penjelasan tradisional Aquinas tidak bisa dipertahankan tanpa mengurangi arti Real Presence. Menurutnya dlm Ekaristi yg terjadi perubahan arti (significance) atas Roti dan Anggur dalam keseluruhan Misa (aspek liturgis kembali ditonjolkan, sama dg tindakan Perjamuan Terakhir, tidak melulu spekulasi metafisis- skolastik) sekaligus terjadi transfinalization, yaitu semua itu diarahkan pada sebuah akhir dg tujuan memberi santapan rohani. Ketika transubstansiasi didogmakan memang menjadi problematis karena terkait dg sebuah upaya rasional yg senantiasa tumbuh kembang dan berubah. Yang jelas Real Presence menurut hemat saya tetap diimani, transubstansiasi sekedar ikhtiar menjelaskan, sama dg Luther atau Schillebeeckx, sayangnya pemikiran Schillebeeckx buru2 ditolak lantaran tdk orthodoks.[6]

Pada tahun 818 seorang rahib dari biara terkenal di sebelah utara kota Paris di Corbie, bernama Paschasius Radbertus, menerbitkan sebuah makalah yang menyatakan bahwa unsur-unsur itu diubah menjadi tubuh dan darah Kristus yang sesungguhnya. Meskipun wujud unsur-unsur itu tidak berubah, suatu mujizat terjadi ketika imam-imam mengucapkan berkat-anggur dan roti betul-betul menjadi tubuh dan darah Kristus yang historis. Ia menegaskan bahwa wujud luar hanyalah selubung dan menipu pancaindera manusia.

Ajaran transubtansiasi ini mendapatkan tantangan. Para teolog seperti Rabanus Maurus menjelaskan bahwa kepercayaan seperti itu mengacaukan lambang dengan hal yang dilambangkan. Pada tahun 1050 Berenger dari Tours menguraikan pandangan bahwa tubuh dan darah Kristus itu hadir tetapi bukan secara hakiki, melainkan dalam kuasa. Substansinya tetap tidak berubah; iman pada pihak orang yang menerima unsur itu diperlukan untuk mengaktifkan kuasa itu. Filsuf John Scotus sependapat dengan Agustinus bahwa unsur-unsur itu simbolis, dan bahwa mereka tetap tidak berubah.
Tulisan ini berisi pendapat para teolog dari beberapa perspektif, menurut anda?

Fides Quaerens Intellectum.


Sumber:
[1] Matius 26:26, Markus 14:22, Lukas 22:18, 1 Korintus 11:24
[2] Catechism of the Catholic Church, 1376
[3] Catechism of the Catholic Church, 1377; Christ’s Presence in the Eucharist: True, Real and Substantial
[4] Catechism of the Catholic Church, 1413
[5] www.wikipedia.com/transubtansiasi
[6] Joas Adiprasetya, http://artikel.sabda.org/transubstantiation

TEOLOGI DOGMATIK

(Sebuah Catatan Singkat Eksposisi Teologi Dogmatik Ortodoks)


Para perumus dogmatik Gereja selalu diarahkan pada konfirmasi dalam kesadaran umat beriman dari kebenaran Iman, yang telah diakui oleh Gereja dari awal. Ini terdiri dari para perumus dogmatik Gereja yang menunjukkan cara berpikir adalah salah satu yang mengikuti Tradisi Ekumenis. Gereja memerintahkan para perumusnya dalam telah Iman, dalam berjuang melawan ajaran-ajaran sesat: menemukan bentuk yang tepat untuk ekspresi kebenaran Iman yang diwariskan dari zaman purbakala, dan untuk mengkonfirmasi kebenaran ajaran Gereja, pendiri pada Alkitab dan Tradisi Suci. Dalam ajaran Iman, itu adalah pemikiran Rasul yang suci dan tetap menjadi standar kepenuhan dan keutuhan dari pandangan dunia Kristen. Seorang Kristen abad kedua puluh tidak dapat mengembangkan lebih utuh atau pergi lebih dalam kebenaran Iman daripada Rasul. Oleh karena itu, setiap usaha yang dibuat - baik oleh individu atau dalam nama teologi dogmatis itu sendiri - untuk mengungkapkan kebenaran Kristen baru, atau aspek-aspek baru dogma yang diwariskan kepada kita, atau pemahaman baru mereka, sama sekali tidak pada tempatnya. Tujuan teologi dogmatis sebagai cabang dari usaha belajar untuk maju, dengan landasan kokoh dan bukti, ajaran Kristen Ortodoks yang telah diturunkan.
Beberapa karya-karya lengkap teologi dogmatis ditetapkan pemikiran para Bapa Gereja di urutan sejarah. Jadi, misalnya, disebutkan di atas Essay dalam Teologi Dogmatik Ortodoks oleh Uskup Sylvester diatur dengan cara ini. Kita harus memahami bahwa metode seperti eksposisi dalam teologi Ortodoks tidak memiliki tujuan untuk menyelidiki "perkembangan bertahap ajaran Kristen"; tujuannya adalah satu yang berbeda: ini adalah untuk menunjukkan bahwa pengaturan lengkap, dalam urutan historis, dari ide-ide dari para Bapa Suci Gereja pada setiap subjek menegaskan dengan sangat jelas bahwa Roh Allah dalam segala zaman berpikir yang sama tentang kebenaran Iman. Tapi, karena beberapa dari mereka memandang subjek dari satu sisi, dan lain-lain dari sisi yang lain, dan karena sebagian dari mereka melahirkan argumen dari satu jenis, dan lain-lain jenis lain, maka urutan historis ajaran para Bapa memberikan lengkap pandangan dogma Iman dan kepenuhan bukti kebenaran mereka.
Ini tidak berarti bahwa eksposisi teologis dogma harus mengambil bentuk tidak dapat diubah. Setiap zaman sebagainya menempatkan pandangan sendiri, cara pemahaman, pertanyaan, ajaran sesat dan protes terhadap kebenaran Kristen, atau yang lain yang mengulangi hal lama yang telah dilupakan. Teologi secara alami memperhitungkan penyelidikan dari setiap masa, jawaban mereka, dan akan menetapkan kebenaran dogmatis yang sesuai. Dalam pengertian ini, orang dapat berbicara tentang perkembangan teologi dogmatis sebagai cabang dari pembelajaran. Tetapi tidak ada cukup alasan untuk berbicara tentang perkembangan ajaran iman Kristen itu sendiri.

Dogmatika dan Iman.
Teologi dogmatis adalah usaha untuk percaya kekristenan. Di dalamnya tidak memberi inspirasi iman, tetapi mengandaikan bahwa iman sudah ada di dalam hati. "Aku percaya, itulah sebabnya Aku berfirman," ujar seorang yang benar dari Perjanjian Lama (Mazmur 115:1). Dan Tuhan Yesus Kristus mengungkapkan rahasia-rahasia Kerajaan Allah kepada murid-murid-Nya setelah mereka percaya kepada-Nya: "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Engkau berkata-kata tentang kehidupan kekal. Dan kami percaya dan yakin bahwa Engkaulah Kristus, Anak Allah yang hidup "(Yohanes 6:68 69). Iman, dan lebih tepatnya iman dalam Anak Allah yang telah datang ke dunia, merupakan hal terpenting dari Alkitab tetapi merupakan hal terpenting dalam keselamatan pribadi seseorang, dan itu adalah landasan dari teologi. "Tapi ini ditulis, supaya kamu percaya bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah dan percaya bahwa kamu mempunyai hidup melalui Nama-Nya" (Yohanes 20:31), tulis Rasul Yohanes pada akhir Injilnya, dan ia mengulangi pikiran yang sama berkali-kali dalam surat-surat, dan kata-kata dari mengekspresikan ide utama dari semua tulisan-tulisan suci Rasul: Saya percaya. Semua Kristen berteologi harus dimulai dengan pengakuan ini. Di bawah ini kondisi berteologi bukanlah latihan mental yang abstrak, bukan dialektika intelektual, tetapi sebuah hunian dari salah satu pemikiran dalam kebenaran Ilahi, yang mengarahkan pikiran dan hati terhadap Allah, dan pengakuan dari cinta Tuhan. Untuk orang yang tidak beriman berteologi tanpa efek, karena Kristus sendiri, untuk orang-orang kafir, adalah "suatu batu sandungan dan batu dari pelanggaran" (1 Petrus 2:7 8; lihat Matius. 21:44).

Teologi, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat.
Perbedaan antara teologi dan ilmu alam, yang didirikan di atas pengamatan atau percobaan, dibuat jelas oleh kenyataan bahwa teologi dogmatis didirikan atas hidup dan iman yang kudus. Di sini titik awal adalah iman, dan di sana, pengalaman. Namun, sikap dan metode belajar adalah satu dan sama pada kedua bidang; studi fakta, dan kesimpulan yang diambil dari mereka. Hanya saja, dengan kesimpulan-kesimpulan ilmu alam berasal dari fakta-fakta yang dikumpulkan melalui pengamatan alam, ilmu tentang kehidupan bangsa, dan kreativitas manusia, sedangkan dalam teologi kesimpulan-kesimpulan yang datang dari studi Kitab Suci dan Tradisi. Ilmu-ilmu alam empiris dan teknis, sementara studi ini adalah teologis.
Ini juga menjelaskan perbedaan antara teologi dan filsafat. Filsafat rasional murni didirikan atas fondasi-fondasi dan pengurangan atas ilmu-ilmu eksperimental, sejauh bahwa yang terakhir mampu digunakan untuk pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang lebih tinggi, sedangkan teologi didasarkan atas Penyataan ilahi. Janganlah dibingungkan; teologi bukan filsafat bahkan ketika menjerumuskan pikiran kita menjadi pelajaran yang mendalam atau peningkatan iman Kristen yang sulit dimengerti.
Teologi tidak menyangkal baik filsafat atau ilmu-ilmu eksperimental. St. Gregorius, seorang teolog yang menganggapnya jasa St Basil Agung bahwa ia menguasai dialektika untuk kesempurnaan, dengan bantuannya menggulingkan konstruksi filosofis dari musuh-musuh kekristenan. Secara umum, St Gregorius tidak bersimpati dengan orang-orang yang mengungkapkan kurangnya rasa hormat untuk belajar keluar. Namun, dalam homili terkenal pada Tritunggal Mahakudus, setelah terciptanya pengaturan mendalam ajaran kontemplatif Triunity, ia demikian komentar dari dirinya sendiri "Jadi, sesingkat mungkin saya telah ditetapkan untuk Anda mencintai kebijaksanaan kita, yang dogmatikal dan tidak dialektis, dengan cara nelayan dan bukan dari Aristoteles, spiritual dan tidak cerdik tenunan, menurut peraturan Gereja dan bukan dari marketplace "(Homili 22).
Pelajaran teologi dogmatika dibagi menjadi dua bagian pokok: ke dalam ajaran 1) tentang Allah di dalam diriNya dan 2) tentang Tuhan dalam manifestasi-Nya sendiri sebagai Pencipta, Providence (pemeliharaan), Juruselamat dunia, dan Perfector(penyempurna) dari takdir dunia. Fides Quaerens Intellectum.