Kamis, Januari 15, 2009

Liberalisme dan Perjumpaan Antariman

Fondasionalisme dalam Liberalisme dan Konservatisme

Isu besar Jurnal Penuntun edisi ini adalah perjumpaan antariman dalam bingkai benturan konservatisme dan liberalisme. Tema ini menarik dan malah belakangan makin menggeser gencarnya perdebatan kedua kutub dalam isu perjumpaan iman dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, gagasan utama saya dalam soal besar ini adalah bahwa sebenarnya benturan yang terjadi antara konservatisme dan liberalisme pada hakikatnya bersifat semu saja. Tak lain hal ini disebabkan karena sementara satu sama lain mengklaim diri paling absah, dari dalam sangkar mereka masing-masing, keduanya sebenarnya berada di dalam sebuah sangkar yang sama yang jauh lebih besar. Singkatnya, baik konservatisme maupun liberalisme sama-sama terjatuh pada kesalahan yang sama. Sangkar besar itu oleh banyak filsuf ilmu pengetahuan disebut fondasionalisme.

Tak bisa dipungkiri bahwa Rene Descartes (1596-1650) adalah orang pertama yang meletakkan dasar bagi fondasionalisme dalam teologi modern, yang akhirnya melambari seluruh pemikiran konservatisme dan liberalisme. Dengan fondasionalisme yang dimaksud adalah sebuah teori pengetahuan yang, dengan memakai metafora bangunan, memahami bahwa setiap keyakinan berdasarkan sebuah fondasi yang tidak terganggu gugat lagi. Singkatnya, musti ada sebuah titik aksiomatis yang tidak sirkular sifatnya, yang tidak memerlukan pembenaran lagi, namun yang melandasi seluruh bangunan pemikiran di atasnya. Kebenaran (truth) dengan demikian muncul jika terjadi persesuaian antara sebuah gagasan dengan fondasi di bawahnya (Adiprasetya 2002: 16-19; Murphy 1996).

Berkenaan dengan perseteruan konservatisme dan liberalisme, maka sementara yang pertama menempatkan Kitab Suci (scripture) sebagai dasar pijakan teologis, yang kedua mengambil pengalaman manusiawi (human experience) sebagai fondasinya. Nancey Murphy dengan cemerlang kemudian melebarkan perbedaan bentuk fondasionalisme kedua kubu dengan menunjukkan implikasinya pada persoalan epistemologi, pemahaman mengenai bahasa, serta pemahaman mengenai karya ilahi. Untuk meringkasnya, saya berhutang pada tabel yang dibuatnya (Murphy 1996: 80).

Pengetahuan. Dalam hal pengetahuan, dengan meminjam pemikiran Wallace Matson, Murphy menunjukkan bahwa epistemologi liberal bersifat inside-out (dari dalam ke luar), yaitu ketika karakter internal manusia menjadi fondasi bagi kebenaran yang diperjuangkannya. Schleiermacher, bapak liberalisme modern, menyatakan hal ini dengan jelas ketika ia menulis, “There is an inner experience to which they may all be traced, they rest upon a given, and apart from this they could not have arisen by deduction or synthesis from universally recognized propositions” (Schleiermacher 1960: 67). Pengalaman batin (inner experience) itulah yang menjadi fondasi (”a given”) bagi keyakinan iman. Sebaliknya, konservatisme secara epistemologis bersifat outide-in, dari luar ke dalam, yaitu ketika Kitab Suci yang diberikan dari luar, dari Allah, menjadi sumber otoritas bagi keyakinan dan pemahaman kristiani.

Bahasa. Penekanan yang kuat pada Kitab Suci sebagai fondasi membuat kaum konservatif tidak bisa tidak memahami bahasa religius dalam pengertian yang proporsionalistis. Apa yang dimaksud di sini adalah bahwa bahasa (teologis, biblis atau dogmatis) bertugas untuk merepresentasi kenyataan, menggambarkan secara objektif apa yang Allah lakukan bagi manusia dan dunia. Maka, bahasa apa pun yang muncul harus berkesesuaian dengan fondasi yang diakui, yaitu Kitab Suci. Sebaliknya, kaum liberal memahami bahasa religius harus bersifat ekspresif, yaitu mengungkapkan secara kreatif pengalaman manusia bersama Tuhannya.

Tindakan Allah. Kaum konservatif mengakui keterlibatan Allah dalam kosmos sebagai sebuah intervensi eksternal. Allah bisa saja “melanggar” hukum alam demi tujuan-tujuan khusus. Akan tetapi tujuan intervensi Allah tentap saja tercatat dalam Kitab Suci sebagai fondasi iman. Kisah inkarnasi Yesus menjadi contoh par excellent di sini. Sebaliknya, kaum liberal melihat tindakan Allah dalam dunia secara imanen, selalui jalannya sejarah dunia yang teratur.

Survei ringkas di atas sebenarnya dimaksudkan penulis untuk menunjukkan bahwa sekalipun keduanya berhadapan secara frontal, namun tetap dalam ruang yang sama: fondasionalisme. Keduanya tidak dapat keluar dari fondasi yang melambarui seluruh bangunan teologisnya. Fondasi itu, meminjam istilah para pemikir postmodern, telah menjadi Kisah Agung yang memaksa seluruh kisah-kisah kecil takluk padanya.


Fondasionalisme dalam Teologi Agama-agama.

Kini saatnya kita melihat bagaimana kedua kubu ini berbicara soal kenyataan pluralitas agama-agama. Saya tetap akan mempergunakan skematisasi kasar yang pernah dibuat oleh Alan Race, ketika ia membedakan adanya tiga model utama teologi agama-agama sepanjang sejarah kekristenan: eksklusivime, inklusivisme dan pluralisme (Race 1983; Adiprasetya 2002: 47-88). Dengan segera kita bisa melihat bahwa secara umum konservatisme tearah pada teologi agama-agama yang lebih eksklusivistis sifatnya, sedang liberalisme mengambil posisi pluralistis. Sementara kajian khusus mengenai inklusivisme akan diberikan belakangan, kali ini saya akan mempergunakan pembedaan yang diberikan Murphy di atas dan sedapat mungkin memperjelasnya dalam perdebatan antara eksklusivisme dan pluralisme (dan nantinya tentu inklusivisme juga).

Eksklusivisme secara mendasar menegaskan bahwa karena Kitab Suci menegaskan keunikan dan finalitas Yesus Kristus (Yoh. 14:6; Kis. 4:12). Tugas teologi kristen kemudian adalah mendeskripsikan secara proporsional berita keselamatan secara sistematis. Dan inilah tugas dogmatika kristen yang berujung pada misi. Bagi mereka, jawaban apa pun yang diberikan oleh agama-agama lain tidak memadai untuk membawa manusia pada keselamatan. Kristus secara unik merupakan bukti intervensi Allah ke dalam sejarah manusia yang diwarnai dengan dosa dan kejahatan.

Di lain pihak, pluralisme yang dianut oleh sebagian besar kaum liberal menekankan pentingnya pengalaman religius (religious experience) manusia; pengalaman religius yang batiniah itu absah pada dirinya sendiri dan kemudian terungkapkan lewat keberagamaan seseorang. Karena itu, kepelbagaian agama yang secara real dijumpai sesungguhnya hanyalah ekspresi dari The Ultimate yang sama, entah hendak disebut dengan nama apapun. One God many names. Jika dalam eksklusivisme Kristus menjadi fondasi keselamatan umat manusia, maka dalam pluralisme Allahlah yang menjadi fondasi; dan karenanya mereka berwatak teosentris. Imanentisme yang lazim dipahami oleh liberalisme juga sedikit banyak muncul dalam pluralisme, ketika hendak dikatakan bahwa Allah pun bekerja secara langsung di dalam agama-agama lain di luar kekristenan.

Inklusivisme secara umum merupakan usaha menerobos keterkungkungan iman kristen dari agama-agama lain, sambil tetap mengakui keunikan dan finalitas Yesus Kristus. Dengan Karl Rahner sebagai maestronya, kelompok inklusivis memahami bahwa karya Kristus juga berlangsung di dalam agama-agama lain, sekalipun tidak disadari sama sekali. Jadi, Kristus tetaplah final dan satu-satunya. Maka, sekalipun inklusivisme sepintas bersifat terbuka pada karya Allah dalam agama-agama lain, ia tetap dapat dipandang sebagai varian lain dari eksklusivisme.

Jadi, terlepas dari sengitnya perdebatan teologis antar pendukung ketiga model di atas - eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme - ketiganya sebenarnya sepakat pada satu hal yang sama: adanya satu fondasi tunggal yang menjadi prinsip keyakinan. Jika pada eksklusivisme dan inklusivisme, fondasi tunggal itu adalah Kristus, maka pada pluralisme ia adalah Allah. Singkatnya, ketiga model di atas sebenarnya merupakan “anak asuh” dari induk yang sama: fondasionalisme. Dengan cara berbeda, bisa juga dikatakan bahwa perbedaan ketiga model tersebut hanya terletak pada pilihan: satu jalan atau banyak jalan. Namun ketiganya tetap mengakui hanya ada satu tujuan akhir saja (Heim 1995).

Lalu, adakah pilihan keempat? Atau tepatnya, adakah pilihan kedua, sebuah teologi agama-agama yang non-fondasionalistis? Banyak usulan sebenarnya mulai diperdengarkan, mulai dari Mark Heim, David Tracy, hingga para pemikir postliberal. Secara khusus paper ini akan membahas usulan yang diajukan oleh kelompok postliberal, sebagaimana yang secara signifikan diajukan oleh George Lindbeck.


Postliberalisme sebagai Jalan Ketiga: Partikularisme dan Intratekstualitas.

Istilah postliberalisme sebenarnya bisa menunjuk siapa saja, yang pada prinsip berusaha menggeliat dari pemikiran liberalisme. Misalnya, sudah sejak 1962, Kenneth Cauthen memunculkan istilah ini untuk menunjuk pada teolog-teolog yang secara kategoris tidak mudah dikelompokkan pada pemikiran liberal, seperti Paul Tillich, Niebuhr bersaudara, Karl Barth dan sebagainya (Cauthen 1962). Namun apa yang dimaksud oleh Cauthen dengan postliberalisme di sini sebenarnya hanya merupakan variasi atau juga penerusan ide dari liberalisme yang diawali oleh Schleiermacher. Atau dalam kalimatnya sendiri,

… Neo-ortodoksi, yang berada di pusat teologi post-liberal, merupakan sebuah perkembangan di dalam arus utama pemikiran Protestan modern yang sudah bereaksi secara tajam atas fitur-fitur fundamental tertentu dari tahap liberal gerakan ini sekaligus memelihara hal-hal lainnya. Harus dikatakan bahwa neo-ortodoksi merupakan sebuah fase baru dalam tradisi tersebut yang dimulai sejak Schleiermacher … Jadi, di satu sisi, neo-ortodoksi merupakan sebuah penolakan atas liberalisme … Di sisi lain, neo-ortodoksi merupakan sebuah kelanjutan dari liberalisme baik di dalam metode dan isi yang bergantung pada pemahaman liberal (Cauthen 1962: 254-255).

Jelasnya, bagi Cauthen, post-liberalisme disamakan dengan neo-ortodoksi dan gerakan ini tidak secara tegas menjadi lawan dari liberalisme, jika tidak malah menjadi penerusnya. Awalan post- di sini kemudian dipahami sebagai kelanjutan.

Akan tetapi apa yang dimaksud dengan postliberalisme dalam paper ini justru menunjuk pada sebuah gerakan lain yang menjadikan awalan post- bukan sebagai kelanjutan dari, namun lebih sebagai kritik atas, liberalisme; sembari tentu juga kritik atas konservatisme. Pada arah yang lebih filosofis menjadi jelas kiranya bahwa postliberalisme berjalan beriring dengan postmodernisme yang juga menjadi kritik frontal atas modernisme.

Postliberalisme sebagai sebuah arus pemikiran banyak dikaitkan dengan mazhab Yale, dari mana sebagian besar pemikirnya berasal dan berkarya. Gary Dorrien memaparkan muasal postliberalisme dengan menyebutkan nama dua teolog asal Yale sebagai pencetusnya, Hans Frei dan George Lindbeck (Dorrien 2001). Kemudian bersama dengan mereka berdua, pemikiran postliberal diteruskan oleh kolega-kolega mereka, seperti James J. Buckley, J. A. DiNoia, Garrett Green, Stanley Hauerwas, George Hunsinger, Bruce D. Marshall, William Placher, George Stroup, Ronald Thiemann dan David Yeago. Di samping mereka, berbagai teolog dari berbagai latar belakang ikut memperkuat basis pemikiran postliberal, seperti: pemikir injili-ekumenis Stanley Grenz dan Gabriel Fackre, teolog Baptis James William McClendon Jr. serta Rowan Williams dan David Ford dari Inggris.

Buku Frei, The Eclipse of Biblical Narrative (1974) yang muncul tepat sepuluh tahun sebelum buku monumental George Lindbeck, The Nature of Doctrine (1984), mengamati bahwa pendekatan kelompok konservatif dan liberal atas Kitab Suci menanggalkan kewibawaan Kitab Suci dengan cara menempatkan makna pengajaran biblis ke dalam beberapa doktrin atau pandangan dunia yang diperlakukan lebih fondasional ketimbang Kitab Suci itu sendiri.

George Lindbeck meneruskan kritik Frei atas kedua kubu dengan caranya sendiri. Lindbeck menolak cara berpikir yang dikembangkan baik oleh konservatisme maupun liberalisme. Menurutnya, teologi modern didominasi oleh cara berpikir yang entah “kognitif-proporsional” (sebagaimana muncul dalam konservatisme atau preliberalisme) atau “eksperiensial-ekspresif” (sebagaimana muncul dalam liberalisme). Cara berpikir pertama memahami jika sekali sebuah doktrin benar maka selama ia akan benar dan jika sekali ia salah maka selamanya akan tetap salah. Akibatnya dua atau lebih doktrin yang berseberangan selamanya tidak bisa diharmonisasikan dan harus dipilih salah satu sebagai yang benar (dan sisanya sudah barang tentu salah). Sebaliknya, cara berpikir kedua meyakini bahwa perbedaan doktriner yang ada sebenarnya hanya merupakan pengalaman dan ekspresi dari makna yang satu dan yang sama.

Dengan kepekaan postmodern, Lindbeck mengusulkan opsi ketiga yang disebutnya sebagai pendekatan “kultural-linguistik,” yang dengan segera menuntun kita pada dugaan bahwa Lindbeck amat termotivasi oleh dan berhutang pada antropologi kultural Clifford Geertz (sisi “kultural”) dan analisis bahasa Ludwig Wittgenstein (sisi “linguistik”). Dengan mengusulkan ini, tidak berarti Lindbeck mengabaikan pentingnya dimensi kognitif dan pengalaman dari agama sebagaimana ditekankan oleh kedua model sebelumnya. Namun, dalam model ini agama lebih dipahami mirip dengan bahasa yang membentuk dan menentukan pengalaman, dan bukan sebaliknya.

Sebuah agama dapat dipadang sebagai sebentuk kerangka kerja kultural dan/atau linguistik atau medium yang membentuk keseluruhan kehidupan dan pemikiran … Seperti sebuah kebudayaan atau bahasa, ia merupakan sebuah gejala komunal yang membentuk subjetivitas dari pribadi-pribadi lebih daripada pertama-tama menjadi sebuah manifestasi dari subjektivitas tersebut … Sebuah agama di atas segalanya merupakan sebuah kata eksternal, sebuah verbum externum, yang membentuk diri dan dunia, lebih dari sebuah ekspresi atau tematisasi dari sebuah diri yang sudah ada sebelumnya atau dari pengalaman yang dikonsepsi sebelumnya (Lindbeck 1984: 33-34).

Dari rumusan ini menjadi jelas bahwa Lindbeck mengarahkan kritik tajamnya pada liberalisme yang cenderung memahami agama(-agama) sekedar sebagai ekspresi atau pengalaman yang terkonsepsikan. Lebih jauh lagi, Lindbeck makin menajamkan kritiknya dengan menyatakan bahwa model yang diusulkannya secara langsung mempertanyakan pemahaman liberal bahwa terdapat,

sebuah pengalaman batin akan Allah yang sama bagi semua manusia dan semua agama. Tidak dapat muncul inti eksperiensial karena … pengalaman-pengalaman yang dibentuk dimunculkan oleh agama-agama sama beragamnya dengan skema-skema penafsiran yang mereka wujudkan. Penganut agama-agama yang berlainan tidak secara beragam mentematisasikan pengalaman yang sama; lebih dari itu, mereka memiliki pengalaman yang berlainan (Lindbeck 1984: 40).

Dengan mengatakan itu, Lindbeck ingin menegaskan bahwa setiap agama pada dirinya bersifat partikular, singular. Setiap agama memiliki “permainan bahasa,” untuk meminjam istilah Wittgenstein, yang berlainan. Dengan demikian teologi selalu bersifat intratekstual, untuk membedakannya dengan ekstratesktualitas yang dipahami oleh liberalisme maupun konservatisme, di mana makna religius diletakkan di luar teks atau sistem semiotik, entah di dalam kenyataan objektif yang ditunjukkannya secara proporsional (dalam kasus konservatisme) atau di dalam pengalaman yang disimbolkannya (dalam kasus liberalisme) (Lindbeck 1984: 114).

Alhasil, sebuah agama tidak bisa dinilai dengan “permainan bahasa” yang dimiliki agama lain. Dengan demikian Lindbeck memasukkan dirinya ke dalam jajaran pemikir filsafat pengetahuan yang dimulai sejak Thomas Kuhn, yang menegaskan perlunya prinsip incommensurability (ke-tidak-saling-mengukur-an) dan incompatibility (ke-tidak-saling-selaras-an) (Bernstein 1993).

Saya lantas ingat ilustrasi menarik yang diberikan seorang teman perihal tiga paradigma berbeda dalam geometri. Ketiganya ditawarkan oleh Euclides, Lobachevski dan Rieman.

Dampak ketiga model ini besar sekali. Jika sekali kita memakai model Euclides maka untuk perumusan geometris selanjutnya kita harus memakai model yang sama. Ketiganya “bisa-dibandingkan” (comparable), seperti yang dimunculkan lewat tabel di atas, namun “tidak-saling-selaras” (incompatible) dan “tidak-saling-mengukur” (incommensurable).

Dengan pengertian yang kurang lebih sama Lindbeck memberi contoh bahwa karena Nirvana yang diajarkan dalam Buddhisme tidak muncul dalam agama-agama Barat tidak otomatis seseorang bisa berkata bahwa konsep Nirvana benar atau salah; karena Nirvana adalah bagian interatekstual dari kultur dan/atau bahasa Buddhisme.

Partikularisme - atau saya lebih cenderung menyebutnya singularisme - semacam ini jelas berseberangan dengan pluralisme, apalagi eksklusivisme (dan inklusivisme). Sementara dua yang terakhir memakai sebuah kenyataan objektif tunggal, “finalitas Yesus Kristus,” untuk mengukur agama-agama lain, yang pertama mengabsorbsi seluruh agama yang ada ke dalam satu tema besar utama yang bernama “Allah” atau “The Ultimate.”

Lalu bagaimana pemahaman “kultural-linguistik” ini muncul dalam berbagai isu perjumpaan antariman? Lindbeck sendiri berusaha menelusuri dua isu utama yang sering muncul dalam rangka dialog antariman: isu relasi antariman itu sendiri dan isu keselamatan pemeluk agama lain. Di sini kita nanti akan melihat bahwa konsepsi “kultural-linguistik” Lindbeck yang menarik ini ternyata dalam praktiknya kurang dimanfaatkan sendiri oleh Lindbeck dan justru mengandung beberapa ironi dan kontradiksi. Penyempurnaan justru dilanjutkan oleh banyak penerusnya.


Perjumpaan Antariman.

Dalam hal yang pertama, perjumpaan antariman, Lindbeck menyatakan adanya enam kemungkinan perjumpaan yang bisa terjadi (Lindbeck 1984: 52-55):
Perjumpaan dari yang tak lengkap menuju yang lengkap, dari janji menuju pemenuhan, seperti dalam kasus relasi dari Yudaisme ke kekristenan.
Beberapa aspek dari beberapa agama mungkin bertujuan pada pengalaman yang sama atau serupa, sebagaimana yang diusulkan oleh model “eksperiensial-ekspresif.” Misalnya, paparan Meister Eckhart dan Shankara tentang kesatuan mistis tampaknya menunjuk pada kenyataan eksperiensial yang serupa, sekalipun yang satu meletakkan di jalan menuju Yerusalem dan yang dalam dalam peta kosmik Vedanta Hinduisme. Perbedaan ini membuat konsekuensi praksisnya juga berbeda.
Agama-agama dapat juga saling melengkapi sebagai hasil perjumpaan. Kontemplasi Buddhis bisa melengkapi konsep aksi kasih Kristen, demikian sebaliknya.
Pertentangan langsung, seperti ketika kekristenan berjumpa dengan Nazisme atau Satanime.
Perjumpaan dari yang inkoheren menuju yang koheren. Misalnya, perjumpaan antara seorang Buddhis yang otentik dengan seorang Kristen yang otentik membuat mereka berdua lebih dekat ketimbang dengan sesama dari agama masing-masing.
Kebanyakan agama dapat dibandingkan dalam lebih dari satu aspek di atas.

Melalui enam kemungkinan hasil perjumpaan ini, Lindbeck kemudian meyakini bahwa model “kultural-linguistik” tetap dapat berperan di dalamnya, namun secara khas. Ia menunjukkan bahwa tetap saja dapat dimunculkan “dasar-dasar teologis bagi dialog, yang beragam dari satu agama ke agama lain, yang tidak mengandaikan bahwa agama-agama memiliki sebuah inti eksperiensial yang sama” (Lindbeck 1984: 54; italic dari saya). Sepintas Lindbeck terjebak kembali pada pencarian dasar bersama, common ground, sebagaimana diperjuangkan oleh para pluralis. Namun maksud akhirnya tak lain adalah agar, “Orang-orang Kristen … memiliki sebuah tanggung jawab untuk menolong gerakan atau agama lain melakukan sumbangan khusus mereka sendiri, yang mungkin saja berlainan dengan sumbangan kristiani …” (Lindbeck 1984: 54).

Di sini menjadi jelas bahwa Lindbeck kurang berani mengimplementasikan partikularisme yang diusulkannya sendiri. Atau, bisa pula dipahami, bahwa Lindbeck berusaha keras agar partikularisme intratekstual yang diusulkannya tidak terseret ke dalam isolasionisme radikal (Tilley 1995: 165).

Beberapa pemikir potliberal angkatan kedua, seperti Placher misalnya, berada pada poisisi yang sama. Placher tetap mengusulkan perlunya sebuah “ad hoc apologetics” - kesempatan sementara untuk memberi dan menerima kesaksian. Ia berkata,

Apa yang kita perlukan adalah dasar bersama yang kebetulan ada (italic dari saya) di antara tradisi-tradisi partikular yang berbeda. Dengan ‘ad hod apologetics’ … (dimaksudkan) bahwa kita harus mengizinkan dasar bersama yang kita miliki dengan sebuah partner percakapan menetapkan langkah awal bagi percakapan tertentu, tidak untuk mencari aturan-aturan universal apapun atau asumsi-asumsi bagi percakapan manusiawi secara umum” (Placher 1989: 167-168).

Singkatnya, intratekstualitas tetap harus dilanjutkan dengan intertekstualitas. Hanya saja tidak menjadi jelas apa yang harus menjadi “dasar bersama” di sini? Apakah ia sama dengan ide noumenal tunggal tentang “Allah” atau “The Ultimate” sebagaimana dipahami oleh kaum pluralis? Agaknya pertanyaan ini memperoleh jawabannya dengan mempertemukan potsliberalisme dengan apa yang menjadi keprihatinan dari teologi pembebasan dari dunia ketiga. Dan hal ini yang sesungguhnya dikerjakan oleh Paul F. Knitter melalui rute pluralismenya. Knitter banyak berbeda dengan rekan-rekan pluralisnya yang lain (Smith, Hick, dkk.) ketika ia berdialog dengan makna liberatif dari agama-agama. Dan perjumpaannya ini yang membuat pemikirannya perlahan-lahan dapat keluar dari jebakan fondasionalisme.

Saya membayangkan bahwa percakapan antara postliberalisme dan teologi pembebasan juga akan menggiring ke arah yang kurang lebih sama. Maka, dasar bersama (common ground) yang perlu dipertahankan bukan lagi tujuan agamawi tunggal bernama “Allah” itu, namun lebih pada keprihatinan bersama pada penderitaan manusia dan seluruh ciptaan yang ada; bukan lagi pada “ortodoksi-pluralistis”, namun pada “ortopraksis-postliberalistis,” praksis di bumi yang satu dan sama dalam partikularitas masing-masing agama yang menanggapinya realitas tersebut. Kedua istilah tersebut tentu saja masih tentatif, namun semoga dapat menjelaskan apa yang ingin saya maksudkan, yaitu bahwa dasar bersama perjumpaan antariman bukan pada ide tentang Allah yang sama sekalipun dengan ekspresi (baca: nama) yang berbeda-beda, akan tetapi pada bumi yang menderita yang satu dan sama yang direspon dalam praksis secara berbeda oleh masing-masing agama. Atau dengan memakai istilah Schillebeeckx, extra mundum nulla salus, di luar dunia tidak ada keselamatan (Schillebeeckx 1990: 5-15).


Keselamatan Pemeluk Agama Lain.

Lagi-lagi berhadapan dengan isu keselamatan agama-agama lain, kemungkinan postliberal yang diajukan oleh Lindbeck terasa kurang berani. Memang Lindbeck memulai pembahasannya dengan mengajukan kritik terhadap ketiga model teologi agama-agama yang ada, namun kemudian ia mengajukan usulannya sendiri, yang tetap dalam bingkai tradisi kristiani. Ia mengusulkan perlunya sebuah soteriologi yang disebutnya “prospective fides ex auditu explanation of the salvation of the non-Christians” (Lindbeck 1984: 57; italic oleh Lindbeck). Pandangannya ini kemudian diteruskan oleh para postliberal lain, seperti Joseph A. DiNoia, yang kemudian menggabungkannya dengan ide Purgatorium dalam tradisi Katolik. Dengan “keselamatan prospektif” dimaksudkan sebagai kesempatan yang tersedia bagi pemeluk agama lain untuk menerima keselamatan di dalam Kristus setelah kematian (DiNoia 1992: 94-108). Lindbeck menambahkan bahwa keselamatan prospektus ini tetap bukan berciri anonim seperti dalam usulan Karl Rahner (Rahner 1964: 131), namun harus muncul secara eksplisit, ex auditu, dari pendengaran akan Injil (Rm 10:17; Lindbeck 1984: 57).

Memang dengan segera muncul dugaan keras bahwa konsep keselamatan prospektif ini sebenarnya menjadi sebuah “inklusivisme yang tertunda” pada momen eskatologis. Dan dugaan ini beralasan mengingat akhirnya Christus solus itulah yang menjadi tema utama, menjadi fondasi untuk mengabsorbsi pemeluk agama lain, yang sudah barang tentu tidak menempatkan Kristus sebagai referensi utama imannya. Dan di sinilah ironi utama postliberalisme. Namun demikian, bisa dipahami bahwa usulan postliberalisme ini justru ingin tetap mempertahankan premis dasar kekristenan tradisional yang bertumpu pada keselamatan di dalam dan melalui Kristus saja.

Saya pribadi lebih mendukung pendapat tahap awal S. Mark Heim yang melalui bukunya, Salvations (Heim 1995), menyatakan bahwa kita harus melihat bukan pada sebuah keselamatan yang tunggal, namun keselamatan-keselamatan yang mejemuk. Persoalan keselamatan dalam perjumpaan antariman bukanlah satu jalan atau banyak jalan menuju satu tujuan keselamatan, namun banyak jalan menuju banyak tujuan keselamatan. Singkatnya, pertanyaan apakah seorang Buddhis dapat masuk ke sorga sama naifnya dengan apakah seorang Kristen dapat masuk ke Nirvana. Keduanya terhisab dalam “permainan bahasa” masing-masing agama dan tidak mungkin dinilai dari “permainan bahasa” pihak lain. Pernyataan bahwa seorang Buddhis tidak dapat masuk ke sorga menjadi tidak penting bagi orang Buddhis tersebut, karena perhatian dan tujuan akhirnya bukanlah sorga melainnya Nirvana; dan untuk itu ia harus melalui jalan yang ditunjukkan oleh Dharma Buddha, bukan melalui Kristus. Sekali ia tertarik dan mempercayai bahwa tujuan akhirnya adalah keselamatan yang diajarkan oleh kekristenan, maka ia harus melalui Kristus sebagai sati-satunya jalan menuju keselamatan dalam “permainan bahasa” Kristen).

Hanya saja, Heim sendiri kemudian juga menggeser pemikirannya ketika dalam buku terakhirnya, The Depth of the Riches (Heim 2001), kemudian ia menyebutkan bahwa banyaknya keselamatan itu disubordinasikan pada Allah Tritunggal, yang tunggal sekaligus majemuk. Jadi, pada Heim tahap akhir kita menjumpai sebuah inklusivisme yang trinitosentristis. Agaknya Heim, seperti para postliberal, tetap merasa perlu untuk memandang kenyataan pluralitas dari kacamata kekristenan.


Kesimpulan: Agenda yang Belum Terselesaikan.

Sebagai kata simpul bisa dikatakan bahwa di satu pihak, postliberalisme, dalam keterkaitannya dengan semangat postmodern, telah berhasil menelanjangi tendensi fondasionalisme yang muncul dalam teologi modern, baik sebagaimana muncul dalam liberalisme maupun konservatisme. Fondasionalisme yang sama terlihat dengan jelas dalam tiga paradigma teologi agama-agama yang lazim dipromosikan oleh konservatisme (yaitu eksklusivisme) maupun liberalisme (yaitu pluralisme, sekaligus inklusivisme yang pada dasarnya merupakan bentuk lain eksklusivisme yang sedikit terbuka.

Melalui model “kultural-linguistik” George Lindbeck menunjukkan bahwa setiap agama memiliki “permainan bahasa”-nya sendiri dan tidak bisa diukur dan dipersandingkan dengan mudah dengan agama-agama lain. Tidak ada common ground metafisikal-eksternal ataupun eksperiensial-internal yang bisa dipertahankan sebagai fondasi kebersamaan. Atau dengan bahasa Knitter, “The religious or cultural neighborhood, for the postliberals, consists of backyards; there is no ‘common’ which all the households share” (Knitter 1995: 52).

Akan tetapi, sebagaimana muncul dalam tulisan Lindbeck, arahan potsliberal tersebut ternyata tidak cukup radikal untuk menjawab persoalan-persoalan tertentu dalam wacana perjumpaan antariman. Konsep “keselamatan prospektif” yang diusulkan, misalnya, di satu sisi berusaha mempertahankan makna keselamatan Christus solus yang dipercayai orang-orang Kristen, namun di sisi lain, ternyata masih menunjukkan “sisa-sisa” fondasionalisme, sebagaimana muncul juga dalam model inklusivisme.

Akhirnya, postliberalisme tetap saja memerlukan sebuah “good neighbor policy” (Knitter 1995: 51-53), sebuah titik temu bersama antariman. Saya mengusulkan sebuah dialog antara postliberalisme dan teologi pembebasan untuk menegaskan bahwa titik-temu tersebut bukan dicari pada gagasan-gagasan fondasionalistis seperti pada pluralisme, namun pada realitas kemanusiaan dan seluruh ciptaan yang menderita. Singkatnya, kita perlu mencari, bukan sebuah “ortodoksi-pluralistis”, namun lebih sebuah “ortopraksis-postliberalistis.”

Lebih dari itu, postliberalisme masih mewariskan pada kita sebuah agenda yang belum terselesaikan dan yang saya yakin tetap akan terus menjadi isu utama teologi agama-agama untuk dekade-dekade mendatang, yaitu bagaimana tetap mempertahankan keunikan kristiani sambil makin mampu terbuka pada kepelbagaian antariman; bagaimana secara otentik sekaligus menjadi faithful dan interfaithful!



Daftar Pustaka

Adiprasetya, Joas., Mencari Dasar Bersama: Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia & UPI STT Jakarta, 2002. (Artikel ini bersumber dari tulisan Joas Adiprasetya).
Murphy, Nancey. Beyond Liberalism and Fundamentalism: How Modern and Postmodern Philosophy Set the Theological Agenda. Valley Forge, Pennsylvania: Trinity Press International, 1996.
Schleiermacher, Friedrich. The Christian Faith. Ed. H.R. Mackintosh & J.S. Steward. Edinburgh: T.&T. Clarck, 1960.
Race, Alan. Christians and Religious Pluralism; Patterns in the Christian Theology of Religions. London: SCM Press, 1983.
Heim, S. Mark. Salvations: Truth and Difference in Religion. New York, Maryknoll: Orbis Books, 1995.
Cauthen, Kenneth. The Impact of American Religious Liberalism. New York & Evanston: Harper & Row, Publ., 1962.
Dorrien, Gary. “The Origin of Postliberalism.” Dlm. The Christian Century, July 4-11, 2001. Versi online dapat diperoleh di http://www.religion-online.org/cgi-bin/relsearchd.dll/showarticle?item_id=2116.
Frei, Hans. The Eclipse of Biblical Narrative: A Study in Eighteenth and Nineteenth Century Hermeneutics. New Haven & London: Yale University Press, 1974.
George Lindbeck, The Nature of Doctrine: Religion and Theology in A Postliberal Age. London: SPCK, 1984.
Bernstein, Richard J. Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis. Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983.
Tilley, Terrence W. et all. Postmodern Theology: The Challenge of Religious Diversity. New York, Maryknoll: Orbis Books, 1995.
Placher, William. Unapologetic Theology: A Christian Voice in a Pluralistic Conversation. Louisville: Westminster/John Knox Press, 1989.
DiNoia, Joseph A. The Diversity of Religions: A Christian Perspective. Washington, D.C.: Catholic University of America, 1992.
Rahner, Karl. Theological Investigations, vol. 5. London: Darton, Logman & Todd & New York, Seabury Press, 1964.
Heim, S. Mark. The Depth of the Riches: A Trinitarian Theology of Religious Ends. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing, 2001.
Knitter, Paul F. One Earth Many Religions; Multifaith Dialogue & Global Responsibility. New York, Maryknoll: Orbis Books, 1995.

Tidak ada komentar: