Pada waktu kita berbicara tentang ketidakberdosaan Kristus, kita biasanya menunjuk pada kemanusiaan-Nya. Tidaklah penting untuk berbicara tentang ketidakberdosaan dari perspektif keilahian Kristus sebab kita memahami dengan baik bahwa sebagai Allah (yang ilahi), Ia tidak dapat berdosa dan tidak melakukan dosa. Yang manarik adalah bahwa doktrin ketidakberdosaan Kristus tidak pernah diperdebatkan, bahkan bidat yang paling menakutkan dalam sejarah gereja pun tidak pernah menyangkali ketidakberdosaan Kristus.[1]
Ketidakberdosaan Tuhan kita berarti bawah Ia tidak pernah melakukan apa pun yang tidak menyenangkan Allah atau melanggar Hukum Taurat yang harus ditaati semasa hidup-Nya di bumi atau gagal menampakkan kemuliaan Allah dalam masa hidup-Nya (Yoh. 8:29). Itu termasuk keterbatasan kehidupan-Nya yang tanpa dosa yang mengiringi kemanusiaan-Nya; contohnya, Ia merasa letih (Yoh. 4:6); Ia merasa lapar (Mat. 4:2; 21:8); Ia merasa haus (Yos. 19:28); Ia tidur (Mat. 8:24). Tetapi dalam setiap tahapan hidup-Nya, masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, Ia suci dan tanpa dosa.[2]
Ketidakberdosaan Kristus bukan hanya sebuah teladan bagi umat manusia, tetapi merupakan suatu hal yang fundamental dan keharusan bagi keselamatan kita. Dengan pengertian bahwa apabila Kristus yang menebus dosa seluruh umat manusia bukanlah domba yang tidak bercacat cela, maka bukan saja Ia tidak dapat menjamin keselamatan seluruh umat manusia melainkan Ia sendiri pun membutuhkan juruselamat karena ia memiliki cela. Dosa yang begitu banyak dan besar yang ditanggung oleh Yesus Kristus di atas kayu salib menuntut suatu pengorbanan yang sempurna. Pengorbanan itu harus dilakukan oleh seseorang yang tidak berdosa. Dan karena Kristus memang tidak berdosa maka Ia memang adalah juruselamat manusia yang sejati yang telah menebus dosa umat manusia.
II. Kesaksian Ketidakberdosaan Kristus
A. Bukti-bukti ketidakberdosaan Kristus
Kitab Suci dengan jelas menegaskan ketidakberdosaan Kristus. Tuhan Yesus diberitakan sebagai Anak Kudus (Luk. 1:35). Ia menantang musuh-musuhNya untuk membuktikan apakah Ia seorang berdosa, yang memang tidak dapat dilakukan mereka (Yoh. 8:46). Usaha mereka untuk menjebak-Nya digagalkan oleh apa yang dikatakan-Nya (Mat. 22:15). Ia mengaku selalu mengerjakan segala sesuatu yang menyenangkan hati Bapa (Yoh. 8:29). Ia mengatakan bahwa Ia menaati perintah-perintah Bapa (Yoh. 15:10). Selama pemeriksaan di pengadilan dan penyaliban-Nya, Ia diakui tak bersalah sebanyak sebelas kali (oleh Yudas, Mat. 27:4; oleh
Paulus juga dalam suratnya memberikan kesaksian tentang Tuhan kita bahwa “Ia tidak mengenal dosa” (II Kor. 5:1).
Petrus juga menyatakan bahwa Kristus tidak melakukan dosa apa pun, dan juga tipu tidak ada dalam mulut-Nya (I Petr. 2:22). Ia adalah Anak Domba yang tidak bernoda dan tidak bercacat cela (1:19).
Yohanes menegaskan kebenaran yang sama ketika Ia mengatakan bahwa di dalam Kristus tidak ada dosa (I Yoh. 3:5).
Penulis
Jadi dengan demikian dapat kita lihat bahwa dengan kesaksian Yesus sendiri dan juga lewat kesaksian para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru, semuanya bermuara pada satu kesimpulan yang sama yaitu bahwa Tuhan kita Yesus Kristus tidak berdosa atau tanpa dosa.
B. Perdebatan
Meskipun kaum konservatif setuju bahwa Kristus tanpa dosa, mereka tidak setuju dengan pertanyaan apakah Ia dapat atau tidak dapat berbuat dosa.
Konsep bahwa Ia tidak mungkin berbuat dosa disebut “tanpa dosa” (non posse peccare). Konsep bahwa ia mungkin dapat, apakah ia melakukannya atau tidak, adalah “tak bercela” (posse non peccare). Tentu saja kaum Liberal berpendapat bahwa tidak saja Ia dapat berbuat dosa tetapi Ia juga melakukannya. Yaitu posse non peccare dikombinasikan dengan keberdosaan. Konsep posse non peccare tidak perlu memasukkan keberdosaan dan kaum konservatif tidak memasukkannya.
Salah satu kesulitan yang berkaitan dengan doktrin ketidakberdosaan Kristus ini adalah sehubungan dengan Ibrani 4:15 “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” Apabila Kristus dicobai sebagaimana halnya dengan kita, bagaimana Dia dapat tetap tidak berdosa? Masalahnya menjadi lebih besar pada waktu kita membaca Yakobus 1:14-15 “Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.”
Kita lihat bahwa Yakobus menjelaskan tentang adanya keinginan untuk berdosa yang ada di dalam diri manusia. Keinginan-keinginan ini sendiri sudah merupakan dosa. Apabila Yesus dicobai sama seperti kita, maka itu seakan-akan berarti bahwa Yesus memiliki keinginan untuk berdosa. Ini sebenarnya yang dimaksudkan oleh kitab Ibrani pada waktu Yesus dinyatakan “tidak berdosa”. Yesus memang mempunyai keinginan-keinginan, tetapi Dia tidak mempunyai keinginan untuk berdosa. Setan mencoba untuk membujuk Yesus supaya makan pada waktu Ia sedang berpuasa. Pada waktu itu Yesus benar-benar merasa lapar secara fisik dan oleh sebab itu Dia memiliki keinginan untuk makan sesuatu, dan bukan merupakan suatu dosa untuk menginginkan makanan. Dalam pencobaan ini, Yesus bertekad untuk menaati kehendak Bapa-Nya. Dia tidak mempunyai keinginan untuk berdosa.[4]
Ketidakberdosaan Kristus mencakup aspek positif dan negatif. Secara negatif, Kristus secara total bebas dari pelanggaran. Dia tidak melanggar satu pun dari Hukum Allah yang kudus. Dia secara ketat menaati semua perintah Allah. Kristus juga menaati hukum orang Yahudi, yaitu disunat dan dibaptis. Secara positif, Kristus sangat suka untuk menaati seluruh Hukum Allah; Dia bertekad melakukan kehendak Bapa di surga. Dia bahkan pernah berkata sebagaimana tertulis dalam kitab Injil bahwa cinta-Nya kepada rumah Bapa-Nya telah menghanguskan Dia (Yoh. 2:17) dan makanan-Nya adalah melakukan kehendak Bapa-Nya (Yoh. 4:34).
Oleh karena ketidakberdosaan-Nya maka Yesus berhak untuk menjadi korban yang sempurna bagi dosa-dosa manusia. Keselamatan manusia sendiri menuntut dua aspek dalam karya penebusan. Yesus bukan hanya harus menjadi pengganti kita dan menerima penghakiman oleh karena dosa-dosa kita; tetapi Dia juga harus menggenapi Hukum Allah secara sempurna supaya oleh karena Dia manusia memiliki hak untuk menerima berkat-berkat dari Ikatan Perjanjian Allah. Yesus bukan hanya mati sebagai yang sempurna untuk yang tidak sempurna, yang tidak berdosa untuk yang berdosa, tetapi Ia juga telah hidup di dalam ketaatan yang sempurna untuk memenuhi tuntutan demi menyelamatkan kita.
IV. Makna Teologis dari Ketidakberdosaan Yesus
Keterangan yang disusun di atas memperlihatkan keyakinan dalam hampir seluruh Kitab Perjanjian Baru bahwa Yesus tidak berdosa. Luasnya bukti tentang keyakinan ini meniadakan pendapat bahwa kepercayaan akan ketidakberdosaan Yesus merupakan sesuatu yang bertumbuh pada kemudian hari. Keyakinan ini sama sekali tidak akan bertumbuh jika tidak benar-benar berakar dalam bukti sejarah. Sangat mengesankan bahwa tidak ada laporan yang bertentangan dengan keyakinan bahwa Yesus tidak berdosa; hal ini harus diperhitungkan bila menilai pentingnya ajaran ini.
Pentingnya ketidakberdosaan Yesus terletak pada hubungannya dengan inkarnasi. Jika Yesus menjadi manusia dal;am bentuk yang bersih dan bebas dari semua kecenderungan untuk berbuat dosa, dapatkah Dia dikatakan menjadi manusia seperti manusia-manusia lain? Jawabannya sebagian terletak dalam pengertian akan karya penyelamatan Kristus. Dalam Perjanjian Baru tidak dinyatakan bahwa Kristus harus menjadi sama persis dengan manusia dalam kejatuhannya. Setiap kali Ia disamakan dengan manusia berdosa selalu ditambahkan bahwa Ia tanpa dosa. Pandangan Perjanjian Baru ialah bahwa Yesus harus menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia, tetapi itu tidak berarti bahwa Ia harus terlibat dalam dosa manusia.
Sebagai kesimpulan, ktia dapat mencatat bahwa dalam Kitab Suci tidak ada suatu pembahasan mengenai apakah ketidakberdosaan Yesus berarti bahwa Ia tidak dapat berdosa atau bahwa Ia dapat tidak berdosa. Pertanyaan itu bersifat spekulatif. Ketidakberdosaan itu lebih tepat dikatakan bahwa kehendak Allah yang sempurna begitu sama dengan kehendak Yesus uag sempurna sehingga perbuatan atau bahkan keinginan yang tidak cocok dengan kehedak sempurna itu tak terpikirkan oleh Yesus.[5]
[1] R. C. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (SAAT; Malang;1998). Hlm. 115
[2] Charles Ryrie, Teologi Dasar I (ANDI; Yogyakarta; 1991). Hlm. 357
[3] Ibid, hlm. 358
[4] Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen, hlm. 116
[5] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (BPK Gunung Mulia; Jakarta; 1991). Hlm. 264
Tidak ada komentar:
Posting Komentar