Berbahasa Lidah
Seorang gembala sidang Gereja di Skotlandia berbaring di bagian Intensive Care Unit rumah sakit Glasgow. Ia tahu bahwa hidupnya sedang tidak menentu – mungkin segera ia akan bertemu Tuhannya muka dengan muka. Maka, ia mulai berbicara kepada Tuhan. Sedang ia berdoa, ia mendapatkan bahwa ia sedang berdoa dalam suatu bahasa yang ia sendiri belum pernah mendengar sebelum ini. Sesudah menceritakan rahasianya ini kepada seorang temannya, ia tidak pernah menyebutnya kembali. Ia kemudian sembuh dan melayani Tuhannya beberapa tahun lagi.
Seorang ibu muda sedang kacau, baginya segala sesuatu berjalan tidak beres hari itu. Malam itu ia duduk di atas tempat tidurnya dan “mengomel kepada Allah.”
“Pernahkah Anda mendengar tentang doa dalam bahasa lidah?” ia berhenti sebentar untuk bertanya kepada istri saya sedang ia menceritakan kejadian itu kepada istri saya. Ruth mengangguk. Orang itu melanjutkan: “Saya belum pernah. Saya belum pernah mendengarnya. Saya tidak pernah memohon untuk itu. Saya bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dan tiba-tiba rasanya saya sedang diorbitkan dari bumi ini dalam sebuah pesawat ruang angkasa dan sedang saya melewati setiap benua saya memikirkan orang-orang Kristen di sana, menyebutkan nama-nama utusan Injil yang saya kenal. Saya mengelilingi seluruh muka bola dunia ini. Saya menengok pada jam dengan mengira bahwa saya telah berdoa selama setengah jam. Heran saya! Sudah dini hari! Dan saya disegarkan kembali. Beban saya sudah terangkat. Frustasi, kemarahan, ketidakpuasan – semua telah hilang. Dan saya merasa sama seperti saya telah tidur dengan nyenyak.”
Suatu kelas Sekolah Minggu sedang mempelajari pribadi dan pekerjaan Roh Kudus. Di daerah itu berbahasa lidah sedang menjadi sebab perpecahan di antara orang-orang percaya. Sesudah pertemuan khusus yang menarik, guru Sekolah Minggu bagian mahasiswa itu, diminta untuk berceramah mengenai Roh Kudus. Seorang demi seorang para mahasiswa itu membagikan pengalaman mereka dengan berbahasa lidah. Beberapa bulan kemudian guru itu mengingat kembali kelas itu dan menyebutkan tiga orang yang mengesankan. Seorang memberikan kesaksian yang kelihatannya benar. Untuk beberapa bulan, sesudah pengalamannya itu, ia asyik dengan berbahasa lidah. Kemudian ia berusaha untuk meyakinkan orang-orang lain untuk berpengalaman yang sama. Akhirnya ia sadar bahwa Roh Kudus dikaruniakan untuk tujuan memuliakan Tuhan Yesus dengan cara-cara yang berbeda. Ia tidak memaksa orang lagi. Dan sekarang ia adalah seorang pelayan Injil yang sungguh bermanfaat.
Anggota yang kedua, yang mengatakan dirinya telah berbahasa lidah, telah dikeluarkan dari Perguruan Tinggi beberapa minggu kemudian, sebab ia telah melakukan perbuatan yang melanggar susila secara terbuka berulang-ulang, dan tidak bertobat.
Orang yang ketiga yang diingat guru itu adalah seorang berandal dari kota besar yang belum lama bertobat. Ia berbicara dengan guru itu dan mengaku bahwa ia juga dikenal sebagai salah seorang yang dapat menggunakan bahasa lidah dari kelompok yang sama. Pada waktu guru itu bertanya bahasa apa yang dia pakai, ia menjawab, “Bahasa yang biasa dengar pada waktu saya menolong nenek saya, seorang dukun yang dapat berhubungan dengan roh itu.” Guru itu menceritakan kepada saya, ia merasa kasus-kasus ini menggambarkan tiga sumber untuk apa yang disebut bahasa lidah: (1) Roh Kudus; (2) pengaruh psikologis; (3) pengaruh iblis.
Memang saya tidak berlaku seakan-akan saya ini seorang ahli dalam bahasa lidah, pendapat saya berasal dari penyelidikan Alkitab dan pengalaman saya serta diskusi dengan banyak orang. Satu hal yang pasti, baik Roh Kudus maupun karunia-karunia-Nya telah diberikan bukan untuk memecah-belah orang-orang percaya. Ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh mempunyai pendapat sendiri tentang apa yang diajarkan Alkitab tentang bahasa lidah. Juga tidak berarti jangan mempunyai sidang setempat yang menonjolkan bahasa lidah dan juga sidang lain yang tidak menonjolkan bahasa lidah. Tetapi saya pasti tentang satu hal: jika karunia lidah disalahgunakan dan dijadikan alat untuk memecah belah, maka ada sesuatu yang tidak beres. Dosa telah memasuki tubuh Kristus.
Latar Belakang Sejarah
Hampir selama satu abad berbahasa lidah diberikan peran yang penting di antara orang-orang Kristen dan gereja-gereja tertentu. Bagi mereka berbahasa lidah itu berhubungan dengan kehidupan orang Kristen sesudah bertobat.
Memang benar, bahwa ribuan orang percaya yang disebut “karismatik” belum pernah berbicara dengan bahasa lidah. Dan mereka diterima sebagai orang percaya yang benar di dalam Yesus Kristus. Jadi di antara banyak gereja-gereja yang menyebut dirinya karismatik, berbahasa lidah tidak dianggap sebagai sesuatu tanda yang perlu sebagai tanda orang telah dilahirkan kembali. Mereka setuju bahwa orang-orang yang dilahirkan kembali telah dibaptis oleh Roh dalam tubuh Kristus, dan baptisan air hanya sebagai tanda lahiriah. Pada saat kelahiran baru, Roh langsung tinggal di hatinya. Tetapi bagi mereka baptisan Roh itu terjadi sesudah kelahiran baru.
Belakangan ini gerakan Pentakosta atau karismatik muncul. Banyak daripada orang-orang ini masih tetap menjadi anggota dari denominasi-denominasi mereka sendiri dan sebagian dari mereka adalah orang-orang Katolik Rum. Mereka sepaham dengan tekanan dari gereja-gereja Pentakosta akan kesembuhan dan sering menerima berbahasa lidah sebagai tanda baptisan Roh Kudus, pengalaman yang terjadi sesudah kelahiran kembali. Tetapi gereja-gereja Pentakosta lama merasa terbelenggu sebab mereka tidak selalu melihat adanya perubahan gaya hidup di antara orang-orang neo-Pentakosta, sesuatu yang mereka hargai sebagai yang hakiki dalam hidup yang diurapi Roh.
Tak dapat disangkal kenyataan bahwa tekanan neo-Pentakosta mendekatkan Protestan dan Katolik Rum di sebagian dunia ini. Memang pendekatan ini tidak didasarkan penyesuaian dasar doktrin akan hal seperti dibenarkan karena iman, pengorbanan Misa, atau Paus yang tidak dapat berbuat salah, tetapi pada dasar berbahasa lidah dan baptisan oleh Roh Kudus. Namun, saya telah banyak menjumpai orang-orang Katolik, seperti orang-orang Protestan, yang menyebut diri mereka sebagai karismatik tetapi tidak pernah berbahasa lidah. Bagi mereka pengalaman karismatik adalah penemuan baru tentang hubungan pribadi dengan Kristus.
Data Mengenai Berbahasa Lidah Yang Berdasarkan Alkitab
Berbahasa lidah (atau “glossolalia,” istilah yang terbentuk dari bahasa Yunani) hanya disebut di dalam dua buku Perjanjian Baru: Kisah Para Rasul dan Surat Pertama Paulus kepada orang Korintus (walaupun ada di dalam Markus 16:17, kebanyakan ahli percaya bagian ini tidak ada di dalam naskah-naskah aslinya). Kata itu rupanya digunakan dengan dua cara yang berbeda. Cara yang satu didapat dalam hubungan dengan kejadian pada hari Pentakosta, pada waktu janji kedatangan Roh Kudus terjadi. Melalui penyelidikan yang teliti tentang Kisah Para Rasul 2, “lidah” adalah bahasa yang dimengerti oleh pendatang-pendatang asing di Yerusalem. Jadi kelompok orang-orang Kristen yang kecil itu diberi kemampuan yang luar biasa untuk berbicara dalam bahasa lain.
Apa yang terjadi pada Pentakosta? Pasal kedua dari Kitab Kisah Para Rasul memberitahu kita empat hal terjadi yang menandai kejadian zaman baru. Pertama, suatu suara dari langit seperti angin keras memenuhi rumah itu. Kedua, sesuatu seperti lidah-lidah api diam di atas setiap orang di ruang atas. Ketiga, mereka semua dipenuhi Roh Kudus. Keempat, mereka semua berbahasa lidah pada waktu Roh mengaruniai mereka kemampuan untuk berbuat demikian. Bahasa-bahasa lidah ini adalah bahasa yang dimengerti oleh orang-orang dari seluruh Kekaisaran Roma yang datang ke Yerusalem untuk Pentakosta. Sebagian orang percaya bahwa rasul-rasul itu diberi karunia suatu kemampuan yang luar biasa untuk dapat berbahasa asing yang mereka belum kenal. Sikap apa saja yang kita ambil, pastilah “mujizat” terjadi!
Kata dasar yang sama bagi “dipenuhi” terdapat di Kisah Para Rasul 4:8 di mana Petrus “penuh dengan Roh Kudus” (berbahasa lidah tidak disebutkan) menyampaikan khotbah yang singkat kepada imam besar dan pemimpin-pemimpin Yahudi. Akar kata yang sama digunakan berhubungan dengan Yohanes Pembaptis dalam Lukas 1:5 yang mengatakan bahwa “ia akan penuh dengan Roh Kudus mulai dari rahim ibunya.” Namun kita tidak mempunyai catatan bahwa Yohanes Pembaptis berkata-kata dalam bahasa lidah. Dalam pertobatan Paulus, kita diberitahu bahwa Ananias datang kepadanya “supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus” (Kisah Para Rasul 9:17). Kemudian penglihatannya pulih kembali, ia dibaptiskan, dan “ketika itu juga ia memberitakan Yesus di rumah-rumah ibadat, dan mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah” (Kisah Para Rasul 9:20). Sekali lagi berbahasa lidah tidak disebutkan.
Kisah Para Rasul 19 mencacat pengalaman Paulus di Efesus. Ia mendapatkan sebagian orang percaya di sana yang belum pernah mendengar apa-apa tentang kedatangan Roh. Kemudian kita diberitahu bahwa “Ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat” (Kisah Para Rasul 19:6). Di sini Firman Tuhan tidak mengatakan bahwa mereka dipenuhi Roh. Bagaimanapun juga mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat, walaupun tidak ada lidah-lidah yang seperti api dan angin keras seperti pada waktu Pentakosta. Terlebih lagi catatan dalam Kisah Para Rasul 19 tidak menerangkan apakah bahasa yang mereka gunakan itu adalah bahasa yang dapat dimengerti oleh orang-orang yang ada di sana ataupun tidak dikatakan bahwa ada penterjemah di sana. Paling sedikit kita dapat mengira bahwa mereka berbahasa dengan bahasa yang digunakan di suatu tempat di dunia ini.
Pada waktu saya pergi ke negeri asing, saya berbahasa Inggris. Bahasa ini adalah bahasa yang tidak dikenal oleh kebanyakan pendengar saya. Misalkan, di India bagian Timur Laut saya berbicara kepada beberapa ribu orang setiap pertemuan; tujuh belas penterjemah digunakan untuk menterjemahkan arti berita yang saya sampaikan itu ke dalam bahasa daerah yang berbeda-beda sehingga orang-orang itu dapat mengerti “bahasa lidah” yang saya ucapkan. Pendapat saya ialah bahwa keadaan ini dapat disamakan seperti yang terjadi pada Hari Pentakosta, kecuali bahwa di waktu itu terjadi mujizat ilahi. Mungkin seorang pembicara itu berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh orang-orang tertentu, atau mungkin Roh Kudus mengartikan apa yang telah dikatakan kepada setiap pendengar dalam bahasanya sendiri, maka mujizat terjadi karena pendengar-pendengar itu sanggup mengerti.
Bahasa Lidah yang “Tidak Dikenal” Dalam 1 Korintus
Terjadinya bahasa lidah dalam 1 Korintus kelihatannya agak berbeda daripada yang terjadi dalam Kisah Para Rasul, walaupun digunakan kata Yunani yang sama.
Pada Hari Pentakosta murid-murid berbahasa lidah yang dimengerti oleh orang-orang yang berkunjung ke Yerusalem. Pembicara-pembicara yang dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus tidak mengenal bahasa-bahasa itu, tetapi pendengarnya mengenal. Namun, di dalam 1 Korintus mereka tidak mendengar suatu bahasa yang mereka kenal, maka penterjemah dibutuhkan. Bahasa lidah dalam 1 Korintus itu bahasa yang dikenal atau tidak, tidak perlu dipersoalkan. Sebagian pelajar Alkitab berpendapat bahwa bahasa itu dikenal, sedangkan pelajar lainnya mengatakan bahwa kata-kata itu hanyalah merupakan ucapan luapan emosi yang luar biasa yang tak ada hubungannya dengan bahasa manusia yang dikenal. Secara pribadi, saya condong kepada pendapat yang terakhir. Sebenarnya, mungkin hal itu tidak begitu penting di bagian ini, walaupun sebagian orang mengatakan kalau karunia berbahasa lidah yang diberikan kepada orang-orang Korintus adalah bahasa yang dikenal, maka hal itu tidak ada hubungannya dengan banyak dari yang dinamakan “bahasa lidah” pada zaman ini. Kenyataan bahwa “menafsirkan” dipandang sebagai suatu karunia rohaniah membuat saya percaya bahwa karunia lidah yang disebut dalam 1 Korintus adalah bahasa yang tidak dikenal. Kalau memang itu bahasa yang dikenal, pasti ada orang yang mengertinya.
1 Korintus 13 mempunyai teka-tekinya sendiri. Paulus menyebutkan bahasa manusia dan bahasa malaikat. Dengan sendirinya nyatalah bahwa bahasa malaikat tidak dikenal oleh kita, padahal pengertian ialah bahwa ada kemungkinan orang dapat mengucapkan bahasa yang sedemikian itu. Di dalam 1 Korintus Paulus membicarakan bahasa sebagai karunia yang datang dari Roh Kudus, jadi ada kemungkinan juga bahwa Ia, memberi kemampuan kepada seseorang untuk dapat berbicara dalam bahasa malaikat. Tentu, Paulus membuatnya jelas bahwa tidak semua orang diberi karunia istimewa ini. Oleh alasan-alasan tersebut, sukar bagi saya untuk menghubungkan pemenuhan Roh Kudus dengan baptisan kedua dan berbahasa lidah sebagai tanda yang menyertainya. Saya tidak bisa mendapatkan bukti yang kuat berdasarkan Firman Tuhan untuk menyatakan bahwa berbahasa lidah sebagai tanda diberi kepada semua orang yang telah dibaptis dengan Roh, sedangkan karunia lidah adalah karunia yang diberikan hanya kepada orang tertentu.
Lebih jauh, kadang-kadang saya berpikir bahwa pemakaian istilah “karismatik” zaman modern ini mungkin tidak benar. Di dalam 1 Korintus, kata Yunani bagi karunia-karunia yang diberikan Allah kepada orang-orang percaya adalah karismata. Tak seorang pun dapat memperoleh karunia itu oleh usahanya sendiri. Menurut Paulus, karunia-karunia berasal dari pekerjaan Roh Allah “yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya” (1 Korintus 12:11). Paulus mengatakan, “Sebab dalam satu Roh kita semua dibaptis menjadi satu tubuh” (1 Korintus 12:13). Roh memberikan karunia kepada berbagai anggota-anggota tubuh. Jadi, setiap orang percaya menerima karunia. Maka dengan demikian setiap orang percaya adalah seorang karismatik!
Terlebih lagi Paulus tidak mengatakan bahwa semua karunia itu milik setiap orang percaya. Ia hanya mengatakan bahwa setiap orang menerima karunia. Ia memberitahu orang-orang Korintus agar mereka “merindukan” karunia yang paling baik. Dalam 1 Korintus 13 ia mengatakan bahwa karunia apa saja jika tidak disertai kasih adalah sia-sia.
Mengamati Karunia Berbahasa Lidah
Berkenaan dengan karunia berbahasa lidah seperti yang disebutkan dalam 1 Korintus 12:30 dan pembicaraan mengenai pokok ini secara panjang lebar di dalam 1 Korintus 14, hal-hal berikut ini harus diperhatikan:
Pertama, ada karunia berbahasa lidah tertentu yang rupanya berbeda dari yang diutarakan pada Pentakosta sebab tidak diperlukan penterjemah di situ. Dan tanda lain menyertainya: lidah-lidah seperti nyala api dan angin keras. Hal-hal itu tidak disebutkan berhubungan dengan karunia-karunia Roh di dalam 1 Korintus.
Walaupun ada ketidakcocokan di antara orang-orang Kristen tentang kebenaran berbahasa lidah sekarang, secara pribadi saya tidak dapat menemukan pembenaran Alkitabiah untuk mengatakan bahwa karunia berbahasa lidah itu hanya dimaksudkan untuk orang-orang zaman Perjanjian Baru semata-mata. Hal itu dengan mudah menjadi suatu kesalahpahaman dan bahkan menjadi persoalan yang menyebabkan perpecahan. Ternyata Paulus merasa perlu membicarakannya dalam 1 Korintus 12 – 14. (Ia menekankan bahwa karunia lidah adalah yang paling kecil artinya. Ia juga membahasnya dengan panjang lebar, melebihi karunia yang lain.) Maka dari itu, pada waktu hal demikian timbul sekarang, kita harus menanganinya secara hati-hati sesuai dengan pedoman alkitabiah yang telah diajukan oleh Paulus.
Juga, sedang karunia berbahasa lidah dapat terjadi zaman ini sebagai karunia rohani yang sah, ini tidak berarti bahwa setiap manifestasi berbahasa lidah itu sesuai dengan kehendak Allah dan harus disetujui oleh kita tanpa penyelidikan.
Kedua, harus ditekankan, seperti yang terdapat pada 1 Korintus 12 – 14, bahwa berbahasa lidah itu merupakan suatu karunia dari Roh Kudus, bukan buah Roh. Seperti yang akan lihat, buah Roh yang telah digarisbesarkan dalam Galatia 5:22, 23 harus menandai setiap orang Kristen yang berjalan dalam Roh. Pada sisi lain, karunia-karunia diberikan kepada orang-orang percaya oleh kuasa dan kehendak dari Allah. Maka dari itu, karunia itu mungkin dimiliki oleh seseorang, sedang orang lain tidak memilikinya. Saya tidak dapat menemukan alasan yang alkitabiah untuk mengatakan bahwa berbahasa lidah adalah karunia Allah yang dikehendaki untuk diberikan kepada semua orang percaya. Sebagian orang mungkin akan dikaruniai karunia itu, sementara banyak orang lain yang tidak dikaruniainya. Sangatlah bersalah jika seseorang yang belum pernah menerima karunia berbahasa lidah merasa bahwa ia adalah orang Kristen “kelas dua,” atau sangat menginginkan memperoleh karunia itu meskipun Allah tidak berkenan memberikan kepadanya. Bagi orang yang memiliki karunia ini, juga sama salahnya jika ia menghendaki agar setiap orang lain juga memiliki karunia itu, atau mengajarkan bahwa setiap orang harus mengalaminya.
Ketiga, karunia berbahasa lidah yang disebutkan di dalam 1 Korintus 12 – 14 dengan jelas dinyatakan sebagai karunia-karunia Roh yang sebenarnya kurang penting, bahkan sebagai karunia yang tidak penting. Alasannya ialah bahwa hal itu kurang memberi manfaat rohani kepada orang percaya lainnya. Karunia lainnya dengan jelas adalah untuk membangun dan menguatkan tubuh Kristus. Sedangkan berbahasa lidah juga dapat berfungsi demikian dalam kebaktian umum (jika ada penterjemah yang hadir), karunia lain lebih berhubungan langsung di dalam saling menguatkan orang-orang percaya.
Itulah sebabnya karunia berbahasa lidah jangan dianggap sebagai titik yang tinggi dalam kematangan kekristenan. Sebetulnya, berjuta-juta orang Kristen yang sudah dewasa rohani tidak pernah berkata-kata dalam bahasa roh, dan banyak yang sudah berkata-kata dalam bahasa roh tetapi belum dewasa rohaninya.
Keempat, karunia berbahasa lidah bukanlah sebagai tanda baptisan Roh ke dalam tubuh Kristus, bagi orang-orang percaya. Hal itu benar di dalam 1 Korintus, sebab orang-orang ini telah dipersatukan selamanya ke dalam tubuh Kritus. Di dalam Alkitab saya tidak dapat menemukan yang mengatakan bahwa karunia berbahasa lidah adalah bukti yang menandakan dibaptiskan dengan Roh Kudus ke dalam tubuh Kristus, Gereja. Bahkan di dalam Kisah Para Rasul di mana berkata-kata dalam bahasa lidah disebutkan, tidak ada petunjuk bahwa hal itu sebagai bukti bahwa seseorang itu telah dibaptis dengan Roh Kudus.
Secara yang sama karunia lidah tidak perlu disetarakan dengan dipenuhi Roh. Kita mungkin saja dipenuhi dengan Roh tetapi tidak pernah berkata-kata dalam bahasa lidah. Pemenuhan Roh dapat mengakibatkan banyak pengalaman yang berbeda di dalam hidup kita. Berbahasa lidah pada suatu saat, mungkin hanyalah merupakan satu kenyataan. Sebagian daripada orang-orang yang paling dipenuhi Roh yang saya kenal tidak pernah mengalami karunia berbahasa lidah, tetapi mereka tidak kurang dipenuhi dengan Roh.
Kelima, baik Alkitab maupun pengalaman kedua-duanya memperingatkan kita bahwa karunia berbahasa lidah itu mudah disalahgunakan dan sebenarnya dapat menjadi berbahaya. Misalkan, karunia lidah dapat menjadikan seseorang sombong. Mungkin seseorang mengalami karunia lidah dan merasa bahwa dia itu lebih baik atau lebih rohani daripada orang-orang percaya lainnya yang belum menerima karunia itu. Kelakukan demikian secara langsung bertentangan dengan kelakuan yang penting sebagai seorang yang dipenuhi Roh.
Bahaya lainnya, misalnya (seperti yang telah ditunjukkan), berbahasa lidah dapat dengan mudah memecah belah. Sering-sering hal ini terjadi karena kesombongan atau karena seseorang yang berkarunia lidah itu mencoba untuk memaksakan hal itu kepada orang lain. Pada segi yang lain, mungkin juga bagi sebagian orang untuk menjadi sombong sebab mereka tidak berkata-kata dalam bahasa lidah, dan hal ini pun sama bahayanya!
Salah satu bahaya yang terbesar di dalam soal berbahasa lidah ialah ketidakseimbangan. Yaitu, kadang-kadang seseorang yang mengalami karunia ini menjadi hampir terpukau atau hanya mementingkan berbahasa lidah. Karunia Roh lainnya dilupakan (kecuali, mungkin, karunia-karunia tanda lainnya yang menakjubkan), dan biasanya sedikit minatnya terhadap kehidupan suci dan buah-buah Roh. Sebagian orang yang menekankan berbahasa lidah itu sebagai pusat perhatian mereka dan mengajak orang lain untuk mendapatkannya, gagal memperlihatkan minatnya kepada penginjilan, suatu tekanan yang ingin diberikan oleh Roh. Umpamanya, saya berpikir mengenai kelompok kecil dari mereka yang berbahasa lidah yang jarang sekali memenangkan jiwa bagi Kristus. Mereka menanti orang lain untuk memenangkan jiwa, kemudian menghubungi orang yang baru bertobat itu dalam suatu usaha membujuk dia bahwa dia harus berbahasa lidah untuk bertumbuh dalam Tuhan.
Masih ada bahaya lainnya yaitu bahwa sebagian orang akan melihat suatu pengalaman berbahasa lidah sebagai jalan pendek untuk menuju kepada kuasa rohani dan kematangan. Seorang anggota staf saya dahulu belajar di seminari bersama dengan seorang muda yang mengikuti bermacam-macam pertemuan dengan harapan agar mendapatkan karunia lidah. Pada waktu ditanya mengapa ia menginginkan karunia ini, katanya karena ia merasa sangat kekurangan kuasa dan persekutuan dengan Allah. Ia berpikir berbahasa lidah akan memberinya baik kekuatan rohani maupun perasaan akan kehadiran Allah. Pada waktu ditanya apakah ia berdoa secara tetap, atau membaca Alkitab secara teratur, atau memakai banyak waktu untuk bersama-sama dengan orang-orang percaya lainnya, ia mengakui bahwa dia tidak melakukan semua itu. Allah telah memberinya perlengkapan untuk pertumbuhan rohani – doa, Alkitab, persekutuan – tetapi ia tidak mempunyai kemauan untuk cukup berdisiplin dalam menggunakan perlengkapan itu. Baginya, karunia berbahasa lidah adalah jalan pendek untuk mencapai kematangan. Mungkin keluarnya dia dari seminari tidak lama sesudah itu dan pembatalan rencananya untuk menjadi pendeta, tidaklah merupakan suatu kebetulan.
Bahaya yang terakhir yang dapat disebutkan ialah kemungkinan bahwa karunia itu kadang-kadang palsu. Hal ini dapat disebabkan karena muslihat yang disengaja, atau mungkin disebabkan “karunia” itu kadang-kadang tidak bersumber dari Allah tetapi dari keadaan psikologis seseorang. Atau mungkin juga disebabkan kegiatan setan.
Mungkin perlu dikemukakan di sini bahwa peramal Yunani kuno dari Delfia berbicara dalam bahasa yang dapat disebut sebagai “bahasa lidah,” seperti yang dibuat oleh para imam di kuil-kuil besar di Korintus. Dr. Akbar Abdul Haqq menceritakan bahwa kejadian itu bukanlah suatu yang aneh di India di antara orang-orang bukan Kristen sekarang ini.
Juga, ada kejadian tertentu yang terbukti dari orang-orang yang dirasuk setan yang mendapat kemampuan untuk berbicara di dalam bahasa tertentu yang dikenal. Tetapi si pembicara itu sendiri tidak mengenal bahasa itu pada waktu dia sadar. Alkitab mencatat bagaimana tukang sihir Firaun dapat menirukan mujizat Allah sampai pada batas tertentu.
Tidak heranlah jika Yohanes mengatakan, “Janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah” (1 Yohanes 4:1). Kita sudah menyelidiki ini di dalam pembicaraan tentang karunia untuk membedakan di dalam pasal 12.
Bahkan orang Kristen juga telah memalsukan karunia ini. Seorang anak perempuan yang menghadiri pertemuan karismatik sangat ingin menerima karunia berbahasa lidah ini seperti yang dimiliki kawan-kawannya. Maka, karena ia telah dibesarkan di negara lain, ia berdoa dalam bahasa aslinya, pura-pura hal itu sebagai pekerjaan karunia Roh. Yang lain berpikir bahwa ia telah menerima karunia lidah itu. Sebagai hasilnya, di dalam lingkungan kecil ini, di mana berbahasa lidah itu penting sekali, akhirnya ia diterima!
Tak ada pengalaman apa pun – tidak peduli berapa besar artinya bagi kita, atau kelihatan seberapa terkesan – yang dapat mengganti Firman Allah dalam hidup kita. Pengalaman kita harus diukur dalam terang Alkitab; kita tidak dapat mengukur Alkitab dengan pengalaman kita. Allah Roh Kudus telah memberi kita Alkitab, maka tidak ada karunia yang sungguh-sungguh datang dari Roh Kudus yang bertentangan dengan Alkitab.
Keenam, bagaimana dengan pemakaian bahasa lidah secara pribadi dalam pemujaan sebagai cara untuk memunji Allah dan mengalami persekutuan-Nya? Sejumlah kawan-kawan saya menceritakan bahwa sesudah mereka berdoa lama sekali, tiba-tiba mereka mendapatkan diri mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak mereka kenal. Mereka menyimpan pengalaman ini sebagai pengalaman pribadi dan tidak mengatakan bahwa orang lain harus mengalami pengalaman itu. Mereka juga tidak mengatakan bahwa semua orang Kristen harus berbahasa lidah sebagai tanda kematangan rohani. Semua orang tahu bahwa Corrie ten Boom pernah berkata-kata dalam bahasa lidah, tetapi ia tidak pernah membicarakannya dan tidak pernah mendiskusikannya. Sering ia menegur mereka yang membicarakannya secara berlebihan.
Sebetulnya, Alkitab tidak banyak membicarakannya. Pemakaian bahasa lidah secara pribadi juga terjadi pada Rasul Paulus. Ia mengatakan “aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih daripada kamu semua. Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, daripada beribu-ribu kata dengan bahasa roh” (1 Korintus 14: 18, 19). Ada yang mengatakan bahwa nasihat Paulus untuk “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh” (Efesus 6:18) menyangkut doa dalam bahasa lidah. Tetapi yang diminta adalah berdoa secara khusus (yaitu pikiran dengan terang bekerja dan memusatkan dirinya pada pokok doa itu). Tekanan bagian ini akan menunjukkan bahwa bukan maksud Paulus membicarakan bahasa roh.
Sebagai penutup, saya harus mengatakan bahwa saya tidak dapat tidak terkesan akan pendapat-pendapat yang sangat berbeda-beda tentang berbahasa lidah antara orang yang menyebut diri mereka sebagai karismatik. Banyak yang merasa bahwa sangatlah tidak benar jika ada yang mengatakan berbahasa lidah adalah perlu untuk dibaptis atau dipenuhi dengan Roh Kudus. Suatu kelompok besar dari orang-orang Injili tidak merasa berbahasa lidah itu sebagai karunia Roh yang cocok untuk zaman ini, sama seperti jabatan rasul juga sudah tidak merupakan karunia yang relevan.
Saya mengenal salah satu organisasi yang dipakai oleh Tuhan yang bergerak dalam pelayanan seminar Alkitab yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada siapa pun yang berbahasa lidah, walaupun orang itu pandai sekali. Orang lain mungkin tidak setuju dengan cara ini, tetapi para pemimpinnya adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam keyakinan mereka sehingga kita perlu menghargai pandangan mereka.
Pada sudut lain, banyak orang-orang Injili yang tidak menjalankan bahasa lidah sendiri mengambil sikap netral. Mereka telah melihat bahwa gerakan karismatik sudah memasuki semua denominasi secara mendalam dengan berkat besar dan pembaharuan. Maka mereka bersedia untuk menerima semua karunia istimewa dari 1 Korintus itu masih relevan dan menerimanya sebagai karunia Roh.
Sebagai suatu keadilan kepada beberapa orang kawan karismatik saya, saya harus menambahkan bahwa walaupun saya tidak setuju dengan mereka bahwa “baptisan dengan Roh” harus diikuti dengan tanda berbahasa lidah, saya tahu dan mengajarkan akan perlunya orang-orang percaya untuk penuh dengan Roh. Dengan mengesampingkan hal berbahasa lidah sebagai tanda yang perlu dimiliki, kita dapat berbicara tentang suatu tahap pengalaman yang sama. Pendapat saya ialah bahwa Alkitab mengatakan orang percaya siapa saja dapat menikmati pemenuhan Roh Kudus, dan mengenal kuasa-Nya walaupun ia belum pernah mempunyai suatu tanda seperti berbahasa lidah. Pada waktu pemenuhan yang khusus, mungkin berbahasa lidah dapat jadi tanda yang diberikan Allah kepada sebagian orang, tetapi saya tidak mendapatkan bahwa tanda yang demikian itu untuk semua. Saya pikir, penting sekali bagi kita untuk memegang pendapat kita tanpa membenci dan tanpa memutuskan ikatan persekutuan di dalam Yesus Kristus. Kita menyembah Allah yang sama, dan kita bersyukur untuk hal ini.
Dalam 1 Korintus 14 Paulus dengan pasti mengatakan bahwa bernubuat itu lebih hebat daripada berbahasa lidah. Pada waktu yang bersamaan ia mengatakan, “Janganlah melarang orang yang berkata-lata dengan bahasa roh” (1 Korintus 14:39). Rupanya Paulus berbicara dalam banyak bahasa lidah tetapi ia tidak terlalu menekankan ini. Kita harus berhati-hati untuk tidak menetapkan posisi Roh Kudus seolah-olah Ia harus bekerja menurut cara kita. Roh Kudus adalah mahakuasa; Ia memberikan karunia-Nya menurut kehendak-Nya! Peter Wagner mengatakan: “Harus diingat bahwa tubuh Kristus itu ada di seluruh dunia, dengan banyak manifestasi setempat. Karunia rohani itu diberikan kepada tubuh Kristus sedunia, maka karunia tertentu mungkin terdapat dan mungkin tidak terdapat dalam salah satu bagian tubuh setempat yang khusus. Ini menerangkan mengapa, misalkan, suatu jemaat setempat atau bahkan seluruh denominasi mungkin tidak pernah diberi karunia lidah, sedangkan bagian tubuh lainnya mungkin mendapatnya.”
Kesimpulan. Pertama, ada karunia berbahasa lidah yang sesungguhnya, sekontras dengan yang palsu. Banyak dari mereka yang telah diberi karunia ini telah berubah secara rohani – sebagian sementara saja dan sebagian tetap!
Kedua, Allah memakai bahasa lidah pada waktu tertentu, dalam tempat tertentu, terutama pada garis terdepan dari pengabaran Injil untuk meluaskan kerajaan Allah dan untuk membangun orang-orang percaya.
Ketiga, banyak orang diyakinkan bahwa mungkin kita hidup di dalam zaman yang oleh Firman Tuhan disebut “akhir zaman.” Hosea dan Yoel kedua-duanya meramalkan bahwa di dalam hari-hari itu manifestasi Roh dan karunia-karunia tanda akan muncul kembali. Mungkin kita hidup di dalam zaman sejarah seperti itu. Tentulah kita tidak dapat menutup mata kita bagi kenyataan bahwa banyak dari karunia-karunia tanda yang mempertahankan keaslian Injil, timbul kembali saat ini.
Bertahun-tahun yang lalu dalam sebuah kelas diskusi pada Institut Alkitab Florida, seorang guru mengatakan sesuatu mengenai bahasa lidah yang saya tidak dapat melupakan. Ia menasihatkan pelajar-pelajarnya agar “jangan mencari; jangan melarang.”
Sesungguhnya, berbahasa lidah adalah suatu karunia dari Roh. Zaman sekarang ini ada orang-orang Presbitarian, Baptis, Anglikan, Lutheran dan Metodis, demikian juga Pentakosta, yang berkata-kata dalam bahasa lidah – atau yang belum pernah, dan tidak mengharapkannya.
Tetapi jika berbahasa lidah itu karunia dari Roh Kudus, ia tidak akan dapat memecah belah. Jika mereka yang berbahasa lidah salah menggunakannya maka ia menjadi pemecah belah. Itu menandakan tidak ada kasih. Dan mereka yang melarangnya juga dapat membingungkan Gereja sebab rupanya berlawanan dengan ajaran Rasul Paulus. Orang-orang percaya yang berbahasa lidah dan yang tidak, hendaknya saling mengasihi dan bekerja untuk lebih memuliakan Allah dalam penginjilan dunia. Ingat satu hal: mereka yang berbahasa lidah dan yang tidak akan hidup bersama di dalam Yerusalem Baru.
Apakah ini merupakan karunia yang Tuhan anggap cocok bagi Anda? Jangan biarkan karunia itu menjadi sumber kesombongan atau keasyikan. Biarlah kita berakar di dalam keseluruhan Firman Allah. Dan di atas semua, belajarlah apa artinya saling mengasihi, termasuk orang-orang yang tidak setuju dengan keyakinan Anda.
Apakah ini merupakan karunia yang tidak Anda miliki? Jangan biarkan itu menguasai pikiran Anda juga. Dan janganlah menjadikannya sebagai sumber pemecah belah di antara Anda dengan orang percaya lainnya kalau hal itu mungkin. Mungkin ada orang percaya lainnya yang mempunyai keyakinan yang berbeda dari Anda, tetapi mereka masih tetap sebagai saudara di dalam Kristus.
Di atas semuanya, kita dipanggil untuk “hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging” (Galatia 5:16).
Karunia-karunia tanda – kesembuhan , tanda-tanda mujizat, dan berbahasa lidah – mungkin sama dengan daya tariknya pada abad pertama seperti sekarang. Tanda-tanda itu kadang-kadang menyebabkan kebingungan dan penyalahgunaan pada abad pertama seperti yang terjadi pada zaman sekarang. Walaupun demikian, Allah Roh Kudus memberikan karunia-karunia itu kepada beberapa orang di dalam Gereja, untuk dipakai memuliakan Allah. Karunia-karunia itu tidak boleh dipergunakan untuk alasan yang mementingkan diri sendiri. Mereka juga tidak boleh menjadi sumber pemecah-belah dan kesombongan. Kita jangan sampai dipikat atau terlalu diasyikan olehnya. Terlebih dari semua itu, kapan saja karunia-karunia itu diberikan, karunia-karunia itu harus dipakai hanya menurut prinsip-prinsip yang telah dikemukakan Allah di dalam Alkitab. Kalau demikian jadinya, itu juga akan membawa kesatuan dalam Roh. Dan jika Allah mau memberikan karunia-karunia ini kepada beberapa orang zaman ini, kita seharusnya selalu berdoa agar karunia-karunia itu dipakai “untuk kepentingan bersama” (1 Korintus 12:7) dan untuk memperluas Kerajaan Allah.
( Sumber: Holy Spirit, Billy Graham, Lembaga Literatur Baptis, Bandung, 1998, Halaman: 272-294).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar