Sabtu, Desember 15, 2007

MEMAHAMI NUBUATAN

Perihal kedatangan Kristus yang kedua kali menjadi perbindangan yang menarik, dari masa abad kedua hingga sekarang banyak dari para hamba Tuhan bernubuat tentang kedatangan Kristus yang kedua kali atau menyatakan nubuatan-nubuatan yang ada di Alkitab dengan diaplikatifkan pada masa sekarang. Bayank orang telah salah memahami tentang nubuatan dan bernubuat tidak sesuai dengan apa Alkitab tulis. Joel B. Green dalam bukunya Memahami Nubuatan, menjelaskan kembali tentang esensi, makna, penggenapan, dan berita nubuatan. Buku Memahami Nubuatan tulisan Jeol B. Green ini di terbitkan oleh Persekutuan Pembaca Alkitab Jakarta, yang dicetak pada tahun 2005 dengan tebal 189 halaman.

Garis besar tulisan dari buku memahami Nubuatan dibagi dalam sepuluh pasal yang dipaparkan sebagai berikut: pada bagian pertama membahas Apakah Kita Sanggup Memahami Nubuatan Alkitabiah?; kedua, Tinjauan terhadap Pendekatan Para Penafsir; ketiga, Masalah-masalah dalam Penafsiran Nubuatan Alkitab; keempat, Nubuat sebagai Bagian dari Alkitab; kelima, Nubuat sebagai Genre; keenam, Simbolisme: Perkakas Sang Nabi; ketujuh, Nubuat dan Yesus; kedelapan, Nubuat Digenapi; kesembilan, Nubuat dan Maksud Allah; kesepuluh, Berita Nubuatan; dan buku ini diakhiri dengan Catatan-catatan, Senarai Istilah, dan Bacaan-bacaan yang Disarankan untuk bantuan-bantuan konkret dan praktis demi memahami teks-teks nubuat..

Menurut Joel B. Green, di tengah-tengah gereja Kristen, jarang ada isu lain yang bisa menandingi gelora perhatian yang ditujukan kepada masalah memahami nubuatan Alkitab. Bila seseorang berani menerbitkan sebuah buku dan memasuki arena perdebatan ini, ia boleh jadi telah melakukan suatu kebodohan besar, karena bisa dijamin akan muncil suara-suara tidak setuju dari kiri-kanan. Ketika ia pertama kali mencoba memasuki arena perdebatan perihal kitab-kitab seperti Yoel, Daniel, njil Yohanes, dan lainnya, ia tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menyajikan hasil-hasil pemikiran dalam buku ini kepada kalangan yang lebih luas. Sebagian dari materi ini, yang dulunya pernah dipresentasikan dalam bentuk yang lebih sederhana dalam sejumlah kelas dan beberapa konferensi, kini bisa memasuki tahap peredaksian untuk diterbitkan. Ini merupakan pertanda bahw amakin banyak pertanyaan seputar nubuat-nubuat alkitabiah yang muncul di antara kalangan orang Kristen masa kini. Ini juga menjadi bukti bahwa Allah mampu memakai hamba-hamba-Nya walaupun keengganan masih memenuhi hati si hamba itu.

Dalam penyajian prinsip-prinsip penafsiran nats=nats nubuat dan apokaliptik ini, Green berusaha bersikap lebih peka terhadap isu-isu yang dobangkitkan oleh penafsiran populer terhadap subyek ini sekaligus juga terhadap perkembangan dunia kesarjanaan biblika masa kini. Sejalan dengan usaha ini, Green mengikutsertakan senarai istilah dan daftara bacaan yang disarankan pada bagian akhir buku ini. Sebagian besar kutipan Alkitab dalam buku ini mengikuti New International Version-NIV, sedangkan penerjemahan buku ini menggunakan teks-teks dari LAI terjemahan baru, walaupun dalam beberapa kesempatan Green menggunakan hasil terjemahan sendiri.

Pasal pertama, Apakah Kita Sanggup Memahami Nubuatan Alkitabiah? Dalam pasal ini Joel B. Green menceritakan proses dari perubahan pemikiran dari yang bersifat apatis dan agnostik menjadi pentingnya nubuatan pada saat ini. Hal ini nampak dalam tulisannya yang mengemukakan ”perubahan” atas diri saya ini tidak berlanjut terus. Semakin jauh saya berusaha, semakin besar pula kesulitan yang timbul dalam mencocokkan semuanya. Lambut laun saya mulai bersikap apatis terhadap nubuat. Bila ada orang menanyakan perihal ajaran pengangkatan orang percaya (rapture) atau Armagedon atau si ”binatang” dalam Wahyu, saya akan mengaku tidak tahu. Tentang si antikristus ataupun ajaran tentang milenium/ kerajaan seribu tahun, saya bersikap agnostik. Memang, Tuhan akan datang kembali, tetapi siapa yang tahu waktunya? Karena waktu itu diri saya cenderung pragmatis, maka saya menyisihkan pemikiran-pemikiran masa depan demi memberi tempat bagi keprihatinan-keprihatinan masa kini; misalnya, membantu pertumbuhan orang-orang Kristen, hidup di hadapan hadirat Roh, membangun persekutuan, dan sebagainya, Bagi saya, diskusi tentang masa depan merupakan bagian dari masa lalu.
Walau sebenarnya bertentangan dengan rencana serta akal sehat saya, beberapa tahun kemudian saya akhirnya mau menuruti permintaan sebuah kelompok persekutuan pemuda dewaaa. Mereka meminta saya memimpin sebuah seri PA tentang Wahyu dan nubuat. Sebagai hasil dari interaksi yang segar dengan nubuat Alkitab itu, saya mulai mampu mcnyadari betapa piciknya perspektif iman yang kini saya kenakan. Dengan rasa kecewa saya menyadari bahwa saya telah mencabut pemahaman tentang kemuridan dari konteksnya di dalam totalitas maksud Allah. Kanvas pemahaman saya tentang Allah dan kehidupan bersama-Nya pun menerima tambahan warna-wama serla tekstur-tekstur yang baru.
Peziarahan saya ini bisa digambarkan secara melingkar; lingkaran yang menunjukkan bagaimana saya kembali percaya bahwa nubuat punya posisi yang penting. Dengan demikian, saya harap saya telah kembali ke pijakan semula sebagai orang yang berwawasan lebih dewasa dalam memahami dan mempraktikkan penafsiran Alkitab, dan memiliki kerendahan hati yang Iebih dalam ketika saya memaparkan penafsiran tersebut.
Makin bertambahnya jumlah buku Kristen di pasaran yang mendiskusikan ”hal-hal yang akan terjadi” rnenjadi tanda bahwa ada banyak orang yang rindu mengetahui apa-apa saja yang dikatakan Alkitab tentang hari-hari terakhir serta masa depan kita. Green meyakini bahwa bukan hanya dia satu-satunya orang yang merasa tidak puas dengan semua tulisan ini. Green meyakini bahwa ada banyak orang sepertinya yang merasa bahwa kebanyakan diskusi-diskusi tentang nubuat-nubuat Alkitab justru lebih banyak menimbulkan pertanyaan ketimbang menyediakan jawaban. Green merasakan juga bukan satu-satunya orang yang merasa frustasi bila berhadapan dengan penjelasan-penjelasan saling bertentangan yang disodorkan oleh orang-orang yang menyebut diri pakar. Karena itu, ia meyakini bahwa banyak orang membutuhkan alat-alat bantu agar dapat mengurai ikatan-ikatan bahasa nubuat, juga prinsip-prinsip yang memandu penafsiran pesan-pesan nubuat. Buku ini adalah sebuah undangan yang ditujukan kepada kalangan pembaca nonakademis, yaitu orang-orang Kristen yang hendak belajar membaca nubuat-nubuat di da¬lam Alkitab secara pribadi.

Pasal kedua, Tinjauan terhadap Pendekatan Para Penafsir. Pengharapan-pengharapan oranng percaya perdana itu memunculkan sebuah pertanyaan penting bagi gereja masa kini: Apakah peran yang dijalankan oleh eskatologi alkitabiah dalam meneguhkan iman dan kehidupari kia? (catatan: definisi bagi kata 'eskatologi' serta beberapa istilah teknis lainnya dapat dilihat pada bagian Senarai Istilah di akhir buku ini). Apakah jemaat-jemaat kita kini berkarya mengikuti tantangan para nabi-nabi Alkitab? Apakah kita kini hidup dalam pengharapan kepada hal-haJ yang disaksikan oleh para penulis seperti Yohanes atau Daniel? Apakah motivasi misi kita didasari oleh kehadiran Kerajaan Allah? Apakah kita justru hanya menyatakan iman kepercayaan kita tentang akhir zaman ketika kita mengikrarkan dua klausa terakhir Pengakuan Iman Rasuli?
Perspektif-perspektif apa saja yang berhubungan dengan nubuat alkitabiah. Green menjelaskan bahwa kaitan antara eskatologi dengan iman kita sangat ditentukan oleh cara kita mendekati Alkitab, dan secara khusus oleh cara kita mendekati bagian-bagian Alkitab yang umumnya dikenal sebagai ”nubuat-nubuat Alkitab”. Di dalam pasal-pasal berikutnya akan dipilah-pilah berbagai jenis sastra yang berbeda yang biasanya digolongkan sebagai nubuat Alkitab. Sementara itu, pasal ini mengmgat bahwa poin-pom pelajaran yang ditarik dan nats-nats Alkitab seperti ini terkait erat dengan sudut pandang penafsiran kita. Sayangnya, masih belum ada konsensus tentang bagaimana kita sebaiknya menafsirkan). Alkitab secara umum serta nubuat Alkitab secara khusus. Bahkan, perihal bagaimana memahami nubuat Alkitab ini pun sanggup memicu konfik dan saling ejek yang emosional, tidak seperli kebanyakan isu lainnya.
Green mengatakan bahwa pada umumnya, berbagai perspektif tentang cara mempelajari nubuat Alkitab dapat diringkaskan ke dalam empat golongan, walaupun tentu saja masih menemukan keberagaman di dalam masing-masin golongan. Kita akan memperhatikan metode-metode penafsiran ini secara singkat sebelum didisikusikan prisip-prinsip bagi penafsiran nubuatn Alkitab, yaitu:
1. Hanya untuk kalangan yang lebih dewasa. Bagi banyak orang Kristen, nubuat Alkitab tergolong daerah tak dikenal. Dengan demikian, maka untuk masuk ke wilayah ini diperlukan orang-orang yang sudah menjelajahi daerah ini, maksudnya adalah yang menjelajah atau mengeksplorasi adalah para pakar.
2. Mari tafsirkan secara harfiah! Prinsip ini memberikan suatu cara melihat nats-nats Alkitab yang atraktif, tidak hanya karena janjinya bahwa Alkitab akan memberikan berita yangdisampaikannya dengan mudah; bahwa tidak dibutuhkan kerja keras untuk memahaminya. Metode harfiah ini menyatakan bahwa kata-kata Alkitab harus dipahami sebagaimana adanya, tetapi kadang-kadang juga menuntut kerja keras si pembaca.
3. Skeptisisme penafsiran kritik-atas (higher criticism). Orang-orang yang menafsir berdasarkan praanggapan-praanggapan penafsiran kritik-atas yang salah kerap menandaskan bahwa berita-berita alkitabiah yang berasal dari zaman dahulu itu berlaku terbatas pada konteks kesejarahan semula. Walaupun demikian, pesan historis yang dihasilkannya itu bukanlah satu-satunya berita yang disampaikan suatu nas; sebagai kata-kata yang bersifat ilahiah, teks-teks Alkitab tersebut melampaui batasan-batasan konteks kesejarahan masing-masing. Pernyataan penegas ini akan dijabarkan secara lebih mendetail di dalam pasal empat.
4. Atensi kepada sastra dan sejarah, maksudnya adalah pendekatan ini seringkali disebut sebagai metode penafsiran gramatika-historis serta berupaya memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kesastraan dan kesejarahan. Metode ini mengakui bahwa bagian-bagian Alkitab yang berbeda itu dibentuk melalui berbagai genre sastra yang berbeda pula: ada beberapa yang bersifat puitis, yang lain bersifat perumpamaan, yang lainnya bersifat kesejarahan, dan seterusnya.
Buku ini pada dasarnya hendak menjelaskan tentang bagaimana menafsirkan nubuat-nubuat alkitabiah. Karena itu, fokus pembahasannya jatuh pada garis-garis pedoman serta prinsip-prinsip yang akan memampukan si pembaca memiliki keyakini diri untuk memasuki dunia yang penuh dengan binatang dan naga, penglihatan serta simbol-simbol: memasuki dunia nubuatan alkitabiah.

Pasal ketiga, Masalah-masalah dalam Penafsiran Nubuatan Alkitab. Di antara nubuat-nubuat yang telah digenapi di zaman ini, yangpaling penting adalah kelahiran kembali Israel sebagai sebuah negara. Alkitab menyatakan kepada kita bahwa pada haris-haris terakhir Israel akan kembali menjadi sebuah negara sebelum kedatangan Kristus yang kedua kali. Bahkan berdasarkan tanggal pendirian ulang negara Israel, kita dapat menentukan saat pengangkatan orang kudus secara cukup akurat.
Dalam pasal-pasal berikutnya, kita akan memperhatikan sebagian dari asumsi-asumsi yang berada di balik gaya penafsiran Alkitab seperti ini serta sejauh mana kesetiaannya kepada nats-nats nubuatan. Di sini, kisah ini merupakan ilustrasi yang tepat untuk menunjukkan kendala-kendala yang muncul di dalam penafsiran nubuat-nubuat. Tentu saia terdapat perbedaan-perbedaan pcndapat yang signifikan bahkan di antara orang-orang yang sama-sama menerima ajaran inspirasi Alkitab. Walaupun demikian, perbedaan-perbedaan mi masih bisa ditanggulangi dan tidak perlu membual gentar mereka yang hendak menafsirkan nas-nas nubuat. Memang benar bahwa perkataan para nabi tidak selalu dapat kita pahami semudah bagian-bagian Alkitab lainnya. Akan tetapi, berupa kenabian bukanlah sesuatu yang berada di luar kita. Bila kita rindu memahaminya, kita harus punya tugas penafsiran ini dalam sikap penuh doa sambil dibarengi dengan kehati-hatian dan kerajinan.
Ketika kita mcmpelajari nubuat-nubuat Alkilab, kita harus awali terhadap masalah-masalah yang mungkin akan timbul. Sebagian di antaranya langsung dapal kita kenali dan hindari sejak awal. Namun yang lainnya harus kita terima sebagai porsi wajar yang muncul ketika kita berurusan dengan hasil-hasil komunikasi purba dari orang-orang yang percaya kepada Allah. Rintangan-rintangan ini dapat kita bagi ke dalam dua kategori yang luas: yang pertama adalah rintangan-rmtangan seputar praduga kita sendiri terhadap para nabi scrta perkataan mereka; yang kedua adalah rintangan-rintangan yang memang terkandung di dalam nats-nats nubuatan itu sendiri.
Masalah apa saja dalam menafsirkan nubuatan Alkitab? Joel B. Green memaparkan ada enam masalah yang dibagi dalam dua pokok, yaitu masalah-masalah yang kita bawa ke dalam nats-nats nubuatan dan masalah-masalah yang memang hadir dalam nubuatan Alkitab. Pembagian ini secara jelasnya sebagai berikut:
I. Masalah-masalah yang kita bawa ke dalam nats-nats nubuatan. Tidak semua masalah dalam penafsiran nubuatan ditimbulkan secara langsung oleh nats Alkitab itu sendiri. Beberapa masalah justru diakibatkan oleh cara kita menangani nats-nats tersebut..
Masalah ke-1: Kegagalan membaca nats tersebut berdasarkan hakikat teks itu sendiri.
Masalah ke-2: Perhatian kepada pertanyaan-pertanyaan tentang masalah-masalah di luar Alkitab.
II. Masalah-masalah yang memang hadir dalam nubuatan Alkitab. Selain masalah-masalah kita sendiri, yaitu pendekatan-pendekatan yangsalah terhadap teks-teks Alkitab, juga trerdapat beberapa masalah alkitabiah yang harus dihadapi para penafsir nubuatan Alkitab. Keruwetan-keruwetan ini terkait dengan teks-teks itu sendiri.
Masalah ke-3: Sejauh mana teks tersebut bermakna harfia?
Masalah ke-4: Keruwetan-keruwetan kontekstual.
Masalah ke-5: Jarak kesejarahan.
Masalah ke-6: Menganalisa masa depan.
Dalam pasal ini Green hanya sekadar menetapkan agenda bagi pembahasan berikutnya. Walaupun demikian, telah diberikan cukup banyak alasan dalam uraian-uraian ini yang dapat menjawab pertanyaan mengapa banyak orang yang mengaku diri pakar tentang nubuat seringkali saling berselisih paham, bahkan hingga sedmeikian sengit. Juga telah ditegaskan di sini tentangsikap kesungguhan yang harus diberlakukan ketika kita berupaya memahami berita yang disampaikan para nabi.

Pasal keempat, Nubuat sebagai Bagian dari Alkitab. Pada awal bab empat ini Green menuliskan dari suatu kutipan di poster yang bertuliskan, ”saya tahu kamu yakin bahwa kamu tahu apa yang saya katakan. Tetapi saya tidak yakin kalau kamu menyadari bahwa yang kamu dengar bukanlah apa yang saya maksudkan”. Tulisan ini memberikan indikasi tentangkesulitan-kesulitan yangtimbul dalam tindakan berbicara, tindakan yang sebenarnya begitu alamiah dan tampak sangat sederhana. Pada kenyataannya, komunikasi yang baik selalu harus melewati banyak rintangan. Kadang-kadang kebisingan yang mengganggu pikiran kita. Kadang-kadang kita sulit melafalkan kata-kata dengan lancar atau pikiran kita sedang kusut atau kadang-kadang kita menggunakan frasa-frasa yang telah mengalami pergeseran makna karena perbedaan zaman dan tempat. Setiap hari komunikasi dilaksanakan, atau lebih tepat diupayakan, di dalam konteks rintangan-rintangan seperti di atas. Danhal ini dapat kita rasakan dan pahami ketika berhadapan dengan Alkitab.
Alkitab adalah buku yang mengupayakan komunikasi dengan memanfaatkan kata-kata dan frasa-frasa, juga kalimat-kalimat serta paragraf-paragraf. Karena itu, sama seperti buku lain, kitab ini juga menyimpan kesulitan-kesulitan penafsiran tertentu. Ini berlaku bagi Alkitab secara keseluruhan, dan juga secara khusus bagi nubuatan alkitabiah. Langkah pertama dalam memanfaatkan prinsip-prinsip pemahaman nubuat adalah penguasaan terhadap aspek-aspek penting dari penafsiran Alkitab. Nilah yang menjadi pokok perhatian dari pasal ini. Apa saja yang menjadi bagian dalam Alkitab, Green menjelaskan ada empat hal yang menjadi bagian Alkitab dalam kesulitan yang timbul, yaitu:
1. Firman yang ilahi sekaligus manusiawi.
2. Masalah dengan keharfiahan.
3. Menemukan makna awal suatu teks.
a. Versi Alkitab mana yang perlu saya pergunakan?
b. Apakah konteks kesejarahan dari nats ini?
c. Apakah konteks sastra dari nats ini?
d. Dalam cara bagaimana kata-kata digunakan ketika teks tersebut ditulis?
4. Pengaplikasian teks dalam kehidupan kita. Saran-saran bagi aplikasi teks Alkitab ini terutama terkait dengan cara kita hidup sebagai orang kristen. Di dalam hal-hal lain yang dinyatakan oleh Alkitab, misalnya poin-poin tentangdoktrin, kita harus selalu mengingat bahwa di sini pun Alkitab menyediakan kriteria penafsirannya sendiri. Kita tidak boleh melupakan suatu bagian Alkitab semata karena kita keberatan dengan satu atau dua poin di dalamnya.
Perjalanan waktu serta perubahan di dalam kebudayaan memunculkan beberapa kesulitan tertentu bagi setiap orang yang rindu memahami dan mengaplikasikan berita dari Alkitab. Namun, Alkitab memanghendak menyampaikan sebuah berita kepada generasi kita, dan berita itu adalah firman dari Allah. Semua orang Kristen di segala tempat diundang dan bahkan dipanggil untuk mencari tahu secara serius apa yang hendak disampaikan Alkitab waktu itu, dan apa makna berita itu hari ini.

Pasal kelima, Nubuat sebagai Genre. Pada pokok pembahasan mengenai nubuat sebagai genre, penulis mengarahkan tulisannya pada Perjanjian Lama bersama para nabi klasiknya serta Perjanjian Baru dengan Yeus dan Yohanes si penulis kitab Wahyu. Arah tulisan ini tidak hanya bersifat akademis; sebaliknya, penulis mengajak setiap pembaca untuk menangkap berita yang disampaikan para nabi serta memperhatikan relevansi berita itu bagi zaman kini. Tentu saja, langkah awalnya adalah memahami apa saja yang para nabi katakan kepada orang-orang sezamannya pada zaman itu. Pelajaran apakah yang didapat tentang hakikat dari nubuat serta kerabatnya, sastra apokaliptik, sehingga pembaca dapat memperoleh arahan menuju jalur penafsiran yang benar? Informasi tentang latar belakang para nabi mana yang dapat menolong kita mengerti berita mereka? Penanda-penanda khusus apa yang perlu kita perhatikan ketika kita hadapi di dalam pasal ini ketika kita mengeksplorasi latar belakang serta hakikat dari nubuat. Green memberikan contoh untuk pembahasan ini dalam Ulangan 18:14-22. Nats ini memberikan suatu paradigma tentang nabi Allah. Lalu kita akan melanjutkannya dengan sketsa tentang tradisi nubuatan dan tradisi si apokaliptik berdasarkan kitab Wahyu Yohanes.
1. Kekhususan nubuat Israel. Ulangan 18:14-22 secara khusus berbicara tentang cara-cara bagi Israel untuk mengetahui firman Tuhan. Nats ini ditempatkan di tengah-tengah sebuah khotbah panjang Musa tentang hukum Taurat. Visi dari Ulangan 18 sendiri adalah bahwa kata-kata Musa ini mengacu pada satu titik referensi masa depan tertentu, bahwa pada hari-hari terakhir kelak Allah akan membangkitkan seorang nabi-mediator yang agung.
2. Latar belakang sejarah. Kitab nubuatan Perjanjian Lama perdanapun dituliskan berabad-abad setelah Musa, dan hal ini perlu dilihat latar belakang sejarah yang berhubungan keberadaan kitab.
3. Penghukuman dan harapan.
4. Panggilan untuk setia saat ini.
5. Tulisan-tulisan Apokaliptik.
6. Wahyu Yohanes.
Nubuat dan apokaliptik, keduanya menjadi bagian dari apa yang secara populer disebut dengan istilah ”nubuatan alkitabiah”. Keduanya merupakan bentuk sastra yang unik dan menuntut metode-metode penafsiran yang sesuai. Bentuk-bentuk sastra ini tidak seperti perkataan-perkataan amsal yang bermakna langsung, juga tidak berformat kuliah, juga bukan berita-berita pada koran, dan karenanya tidak boleh dibaca dalam cara demikian. Nubuat dan apokaliptik adalah bentuk-bentuk komunikasi yang dipilih Allah untuk menyatakan sifat danmaksud Allah di dalam kondisi kehidupan yang tertentu. Agar kita dapat menafsirkan berita itu dalam cara yang sahih, kita perlu mengakrabkan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan serta kekuatan-kekuatan yang melahirkan cara-cara berpikir tersebut. Dalam pasal ini, penulis telah mensurvei secara singkat arus-arus yang menjadi pembentuknya, juga telah memberi perhatian kepada perspektif-perspektif kenabian dan apokaliptik. Sebagai tambahan, penulis juga memunculkan tema-tema penting yang perlu dicari dan dipelajari oleh pembaca ketika menafsir teks-teks Alkitab tersebut, dan juga telah meletakkan dasar bagi upaya mendekati teks-teks tersebut berdasarkan tuntutannya sendiri.

Pasal keenam, Simbolisme: Perkakas Sang Nabi. Simbolisme telah digunakan oleh para nabi klasik dan kemudian menjadi perkakas yang sangat banyak dimanfaatkan oleh para penulis apokaliptik yang muncul kemudian, seperti: Daniel dan Yohanes. Dari masa-masa awal hingga masa kini, makna dari imaji-imaji dan bilangan-bilangan apokaliptik kerap diperdebatkan dengan dahsyat. Beberapa orang menyangka mereka dapat menafsirkan gambaran-gambaran tersebut secara harfiah; misalnya, mereka sungguh-sungguh menantikan kemunculan ”seorang perempuan duduk di atas seekor binatang yang merah ungu, yang penuh tertulis dengan nama-nama hujat..... tanduk”. Orang-orang lain telah mengupayakan penafsiran alegoris, misalnya mengartikan ”kesepuluh tanduk ... yang muncul dari kerajaan itu” yang disampaikan Daniel sebagai simbol dari masyarakat Eropa masa kini. Orang lain bertanya-tanya apakah imaji-imaji fantastis seperti ini masih bisa dijelaskan maknanya, baik secara rasional maupun dalam cara lain. Dalam pasal ini Green menjelaskan tujuan penggunaan simbolis oleh para nabi dan penulis apokaliptik, serta memberikan poin-poin penuntun yang tepat bagi penafsiran tulisan-tulisan simbolis tersebut.
1. Imaji-imaji dan komunkasi. Puisi Ibrani secara konsisten menyeimbangkan satu pemikiran dengan pemikiran lain, satu kata dengan kata lain. Karena itu, pengenalan dasar terhadap paralelisme seperti ini merupakan syarat penting bagi pemahaman terhadap beritanya. Ada tiga macam paralelisme, yaitu:
I. Paralelisme Sinonim, di mana baris kedua mengulangi pemikiran yang terdapat pada baris pertama, contoh Yesaya 48:1-9.
II. Paralelisme Antitesis, dimana baris pertama diseimbangkan oleh baris kedua melalui kontras pemikiran antara kedua baris, contoh: Hosea 7:14.
III. Paralelisme Sintesis, di mana elemen kedua melanjutkan pemikiran pertama serta memberikan materi deskriptif tambahan, contoh Obaja 2:1.
Karena itu, bahasa simbolis menunjuk kepada sesuatu yang riil, namun imaji-imaji yang ditampilkannya bukan realitas itu sendiri.
2. Prinsip-prinsip dalam menafsirkan simbolisme. Di sini hendak dijelaskan lima prinsip penafsiran simbolisme dalam nubuatan Alkitab. Green menekankan bahwa para penulis apokaliptik karena bahasa yang mereka gunakan memang memunculkan masalah penafsiran seperti ini dalam taraf yang genting.
a. Dekati simbolisme dengan sikap yang rendah hati. Maksudnya adalah kita hanya mampu berspekulasi tentang sejumlah besar simbolisme yangdirekam oleh penulis apokaliptik di dalam Alkitab dan boleh meyakini bahwa simbol-simbol tersebut mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna bagi para pendengar/pembaca pertama yang disapa para penulis Alkitab, namun dalam beberapa kasus tertentu, kunci yang diperlukan untuk memahami tidak lagi tersedia bagi para pembaca modern.
b. Insafi keutamaan imajinasi atas rasio. Analisis yang logis bukanlah kunci penting yang dibutuhkan untuk menguak misteri-misteri simbolisme fantastis.
c. Temukan makna dari konteks. Salah satu aksioma yang umum diterima dalampenafsiran Alkitabiah adalah tafsirkan nats Alkitab dengan nats Alkitab. Hal-hal yang keliahatannya suram pada bagian tertentu seringkali dijelaskan secara tuntas di dalam bagian Alkitab lainnya.
d. Perhatikan pastoral yang dihayati si nabi.daripadaterfokus pada masa depan tertentu, perhatian Yohanes (sebagaimana para nabi Alkitab lainnya) lebih ditujukan kepada jemaatnya sendiri, juga kepada siatuasi-situasi yang sedang mereka hadapi saat ini. Penekanan pastoral ini mengemuka di dalam Wahyu 13:9-10.
e. Carilah poin utamanya. Alasan para penulis apokaliptik menggunakan penglihatan-penglihatan berpadanan dengan alasan Yesus mengajar melalui perumpamaan-perumpamaan: demi menandaskan sebuah poin yang signisikan di dalam cara yang dramatis dan terus dikenang. Karena itu, kita harus mempertimbangkan keseluruhan gambaran yang ditampilkan sementara kita hendak mempelajari perumpamaan-perumpamaan di dalam konteks besarnya.
3. Catatan mengenai angka-angka. Banyak solusi yang hendak menjawab masalah-masalah seputar akhir zaman dihasilkan dari perhitungan tanggal dan periode berdasarkan angka-angka Alkitab.
Pertama-tama, kita harus mengingat bahwa kepedulian orang-orang purba terhadap keakuratan angka-angka tidaklah yangkita rasakan kini, contohnya dalam PL dan PB, angka empat puluh mengandung makna simbolis yang khusus, seperti dihubungkan dengan masa-masa kristis (Kej. 7:4).
Kedua, kita tidak boleh melupakan fakta bahwa Yesus maupun gereja mula-mula (sepanjang pengetahuan kita) tidak pernah berupaya membuktikan kemesiasan Yesus berdasarkan matematika Alkitabiah.
Jadi saran-saran yang disampaikan di dalam pasal ini hanyalah garis-garis besar yang memandu para pembaca dalam memahami hal-hal fantatis yang ditemukan di dalam nubuatan Alkitab.
Pasal ketujuh, Nubuat dan Yesus. Salah satu aspek yang menonjol dari Perjanjian baru adalah kadar kebergantungannya kepada Perjanjian Lama, baik melalui kutipan-kutipan ayat ataupun alusi-alusi. Secara khusus, para penulis Kristen mula-mula berupaya mendemonstrasikan bahwa Yesus benar-benar Sang Mesias (atau Kristus) dengan menggunakan lusinan referensi dari Perjanjian Lama.
I. Sosok Mesias dan pengharapan masa depan. Pada permulaan abad pertama kekristenan, pengaharapan mesianis Yahudi pada umumnya terarah pada sosok Raja Mesia yang berasal dari keturunan Daud. Pengaharapan ini berakar pada 2 Samuel 7:12-16 yang mencatat janji Allah tentang tahta yang kekal kepada daud. Ada byukti bahwa pengaharapan bagi munculnya Raja Mesias juga dirasakan orang-orang yang hidup sebelum dan sezaman dengan Yesus. Karena itu, jelas bahwa gereja mula-mula telah mengikuti jejak Yesus; mereka menggali Perjanjian Lama demi menemukan nubuat-nubuat dan juga pola-pola bagi kehidupan dan karya Yesus. Mereka melakukannya karena mereka yakin bahwa Ia adalah titik puncak dari sejarah keselamatan Israel.
II. Yesus dan pengaharapan-pengaharapan Mesianik Sikap Yesus yang paling menonjol adalah pemahaman bahwa erjanjian Lama telah mencapai titik puncak melalui diriNya sendiri. Motif penggenapan seperti ini (”Apa yang telah dituliskan dulu kini sedang digenapi”) sering kali menjadi pusat perhatian di dalam pengajaran Yesus (Lukas 4:16-21). Cara membaca Perjanjian Lama dikenal dengan nama tipologi, sebuah cara ”yang secara sangat jelas mengekspresikan sikap dasar kekristenan paling awal terhadap Perjanjian Lama. Tipologi tidak sama dengan alegori, karena tipologi didasarkan pada fakta-fakta dan sejarah. Tipologi menuntut adanya keterkaitan yang nyata antara masa lalu dengan masa depan. Keterkaitan seperti ini tidak dibutuhkan oleh penafsiran alegoris, akrena penafsiran ini memberikan makna rohani kepada kata-kata, nama-nama, peristiwa-peristiwa dan bahkan detail-detail kecil; makn-makna itu bahkan jauh melampaui makna yangndituntut oleh nats-nats Perjanjian lama. Di dalam alegori, kata-kata berubah menjadi metafora-metafora yang meiliki makna-makna tersembunyi.0
III. Yesus dan penafsiran Perjanjian Lama. Karena itu, sekarang dapat dipahami bahwa sikap orang-orang Kristen perdana terhadap Perjanjian Lama ditentukan secara mendasar oleh pertemuan mereka denagan Yesus. Penafsiran yang paling penting bagi mereka adalah bahwa Kristus merupakan titik fokus bagi penafsiran Perjanjian Lama. Karena itu, Perjanjian Lama menolong kita memahami jati diri Kristus Yesus. Ia menyediakan latar belakang yang diperlukan, karena tanpanya Perjanjian Baru tidak mungkin bisa dimengerti. Adapaun dampak dari semua ini bagi cara kita pada masa kini membaca Perjanjian Lama, terutama-terutama bagian-bagian nubuatnya? Pertama, sekali lagi kita harus menginsyafi bahwa Perjanjian Lama memiliki signifikansi sendiri. Kedua, tidak bisa disangkal bahwa Yesus dan para penulis Perjanjian baru pun telah mengukir pengaruh mereka dalam penafsiran tradisi kenabian Perjanjian Lama. Pada titik tertentu, mengalami penafsiran ulang yang radikal ketika dikaitkan dengan kehidupan dan karya Yesus. Karena itu penafsiran Perjanjian Lama melalui kaca matan Perjanjian Baru merupakan suatu langkah yang valid dan benar-benar diperlukan. Bahkan sebenarnya, nubuat-nubuat Perjanjian Lama hanya dapat ditafsirkan dalam perspektif yang benar bila fokus pada nubuat-nubuat itu diarahkan pada Yesus Kristus, Sang Mesias yang datang dari Allah.
Pasal kedelapan, Nubuat Digenapi. Dalam pasal ini Green mengawali dengan sebuah pertanyaan, yang berbunyi, ”Bagaimana kita dapat mengaitkan perkembangan-perkembangan di Timur Tengah dengan nubuat Alkitab?” Bila diperhatikan lebih serius, upaya-upaya yang hendak menghubung-hubungkan siatuasi masa kini dengan nubuat ini justru gagal membaca nats tersebut sambil mengindahkan kondisi-kondisi sejarah nats itu sendiri. Walaupun demikian, bahkan dugaan-dugaan keliru bagi penggenapan nubuat purba pada masa kini pun membangkitkan sebuah permasalahan penting: beberapa nubuat yang berbicara tentang masa depan memang masih belum digenapi. Yang menjadi pertanyaan adalah, ”Apakah kita bisa menentukan dengan cukup akurat kapan nubuat seperti ini akan digenapi di zaman kita sendiri?”.
Dalam topik Nubuat Digenapi, Green memberikan contoh yang menonjol dari nubuat eskatologis yang sedang menantikan penggenapannya adalah gambaran yang disajikan dalam Wahyu 11:15. Nats yang menantikankedatangan Yesus serta penegakan kerajaan-Nya ini, seperti banyak nats lain yang sejenis, masih belum digenapi. Ada rintangan besar yang menghadang orang-orang yang menafsirkan peristiwa-peristiwa ataupun mengompilasikan nubuat-nubuat yang katanya belum digenapi ke dalam sebuah tabel waktu akhir zaman: pertama, kekaburan yang terkait dengan kata-kata berita nubuat itu sendiri; kedua, masalah yang ditumbulkan oleh sifat bersyarat yang terkandung di dalam nubuat; ketiga, kemungkinan terjadinya penggenapan nubuat prediktif dalam cara yang tidak disangka-sangka sebelumnya.
I. Kekaburan Di dalam Firman Nubuatan. Pemilahan antara elemen yang bersifat kekinian dengan elemen yang memandang ke masa depan di dalam kata-kata para nabi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dalam pembahasan sebelumnya telah diungkapkan bahwa nubuat pada hakikatnya lebih berminat memberitakan daripada memprediksikan sesuatu, dan pembedaan ini sama sekali tidak boleh kita lupakan ketika kita hendak berurusan dengan nubuat yang telah digenapi. Kesulitan lain yang menyulitkan pembedaan antara elemen-elemen kekinian dari elemen-elemen masa depan di dalam kata-kata para nabi juga disebabkan karena penulis Alkitab sendiri memaknai nats-nats Alkitab tertentu sebagai teks-teks yang merujuk peristiwa-peristiwa baik yang kontemporer maupun yang terjadi di masa depan, contohnya Ulangan 18:15.
II. Nubuat bersyarat. Beberapa penafsir masa kini menandaskan bahwa janji-janji serta nubuat-nubuat yang belum digenapi secara harfiah itupun pada akhirnya akan diwujudkan, contohnya Kejadian 17:8. Nubuat prediktif pada hakikatnya bersifat bersyarat. Bila kita menuntut adanya penggenapan harfiah bagi setiap firman yang belum digenapi, kita sebenarnya telah memahami hakikat nubuat serta sifat Allah dalam cara yang keliru. Bila kita memperhatikan sifat bersyarat dari nubuat, maka akan timbul pertanyaan-pertanyaan serius tentang kegunaan membuat garis besar tentang apa yang harus atau tidak boleh terjadi sebelum akhir zaman. Kita tidak akan pernah mampu berada satu langkah lebih maju dari Allah karena mempelajari nats-nats nubuat, sekan-akan kita mampu mengetahui setiap langkah-Nya sebelum Ia melakukan hal itu.
III. Tanda-tanda zaman. Dua tema yang populer di dalam diskusi tentang nubuaan Alkitab ini juga menyingkapkan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh penyusun daftar nubuatan Alkitab yang disusun rapi. Pertama, memperhatikan ”tanda-tanda zaman” atau ”tanda-tanda akhir zaman” yang ditemukan dalam Markus 13 (band. Mat.24). Dari tanda-tanda yang diberikan Yesus, kita tidak akan mampu menyusun kronologi pasti tentang peristiwa-peristiwa menjelang akhir zaman, juga kita tidak akan mampu menghitung-hitung kapan akhir itu akan terjadi.
IV. Si Antikristus. Kata ”antikristus” sendiri hanya muncul di dalam Surat-surat 1 dan 2 Yohanes, dimana si antikristus, atau tepatnya para antikristus, ditampilkan sebagai tokoh yang bersifat teologis. Kitab Wahyu tidak pernah menggunakan kata antikristus secara langsung. Namun, di pasal 13, kitab ini memberikan gambaran tentang sosok yang menjadi personifikasi kuasa kejahatan yang melawan Allah. Nats ini menggambarkan ”seekor binatang keluar dari dalam laut”. Sosok ini adalah imaji yang menjadi lawan dari Sang Juruselamat dunia. Ia adalah sosok antikristus politis, Kaisar Romawi yang menuntut penyembahan bak seorang dewa. Ketika si kaisar memakai gelar Tuhan, maka bagi orang Kristen ia pun menjadi sisik kristus tandingan, seorang antikristus.
Penggenapan Kerajaan Allah dan datangnya zaman yang baru itu terletak di hadapan kita. Kita harus menolak spekulasi-spekulasi yang tidak akan ada habis-habisnya, dan sebaliknya justru mulai merindukan dan memproklamasikan Kerajaan yang sedang tiba itu.
Pasal kesembilan, Nubuat dan Maksud Allah. Seluruh Alkitab, bukan hanya bagian-bagian nubuat ataupun apokaliptik, juga memberikan perhatian ”hal-hal terakhir”. Di dalam pasal ini, Green hendak membuat survei singkat tentang rencana akbar Allah. Bersamaan dengan itu, kita juga akan memperhatikan beberapa konsep penting yangdigunakan para penulis Alkitab: Kerajaan Allah, hari-hari terakhir, kedatangan Yesus yang kedua, serta beberapa hal lain. Akhirnya, kita akan menunjukkan beberapa implikasi penting dari hal-hal ini bagi penafsiran nubuat.
I. Maksud Allah di dalam penciptaan. Green menjelaskan bahwa mungkin pelajaran terpenting yangdisampaikan oleh dua pasal pertama Alkitab yangmemuat kisah penciptaan adalah pelajaran tentang relasi antara Allah dan ciptaan-Nya. Maksud Allah di dalam penciptaan berpusat kepada persekutuan dengan manusia, walaupun itu juga mencakup segala sesuatu yang teah Ia ciptakan.
II. Dua kerajaan.Alkitab menguraikan konflik ini dengan cara menampilkan adanya dua kerajaan. Yang pertama dikenal sebagai Kerajaan Allah; yang satunya disebut denagn berbagai nama, di antaranya kerajaan dari dunia ini, kerajaan kegelapan, atau kerajaan Setan. Maksud Kerajaan Allah dalam Perjanjian baru adalah memproklamasikan pemerintahan Allah di tengah-tengah masa kini. Salah satunya yang paling utama, pengakuan ”Yesus adalah Tuhan” juga merupakan pengakuan akan kehadiran dari Kerajaan Allah itu (lih. Kis. 8:12; 28:31).
III. Antara telah hadir sekarang dan belum hadir. Ketegangan antara ”yang telah hadir sekarang” dengan ”belum hadir” tampil dalam pengajaran Yesus. Kurun waktu ini merupakan masa transisi. Era lama berada di bawah penghakiman ilahiah dan pasti akan berakhir. Era baru, era Kerajaan Allah, telah hadir bagi mereka ”yang memiliki mata untuk melihat dan telingan untuk mendengar”. Hari ini adalah kurun waktu hari-hari pertobatan; iman serta persebaran loyalitas kepada kristus; waktu bagi misi, bagi menggiatkan diri dalam pekerjaan demi Kerajaan. Hari-hari terakhir adalah hari-hari penuh antisipasi, sambil berkarya dan berharap kepada hari terakhir itu, Hari Tuhan.
IV. Israel dan kerajaan. Kalau melihat di poin ketiga, maka bagaimana halnya dengan Israel? Apa hubungan Israel dengan Kerajaan Allah? Green menjelaskan beberapa poin yang terkait, yaitu:
1. Memperhatikan bahwa kita perlu menafsirkan Perjanjian Lama di dalam terang Perjanjian baru.
2. Kedatanagn Kerajaan Allah merupakan penggenapan dari maksud Allah bagi ciptaan-Nya.
3. Lagipula, Kerajaan Allah bukan hanya sebuah entitas masa depan. Kerajaan itu adalah pemerintahan Allah yang kini pun telah dimulai.
4. Di dalam Perjanjian lama, Israel dikenal sebagai umat Allah: dalam bahasa Ibraninya qahal, dalam bahasa Yunaninya ekkelsia.
5. Perjanjian baru mengaitkan nubuat-nubuat tentang Israel di dalam Perjanjian Lama kepada gereja.
6. Di dalam Perjanjian baru, batas-batas perbedaan antara Yahudi dan nonyahudi (dalam hal kedudukan mereka dihadapan Allah) dipatahkan (Kis. 10:1-11:8; Gal. 3:26-29; dan Ef. 2:11-19).
7. Maksud Allah yang mendasari pemelilihan-Nya atas Israel bukanlah supaya Israel dapat menerima suatu berkat khusus dari Allah, tetapi supaya Israel dapat menempati suatu posisi kepelayanan yang khusus.
8. Kelihatannya beberapa ayat saja mampu menyelesaikan dengan mudah perkara maksud Allah bagi Israel ini, seperti Rom. 11:26; Gal. 6:16.
V. Gereja dan kerajaan. Hal lain yang lebih berkaitan dengan pembahasan ini adalah relasi antara gereja dengan Kerajaan Allah. Gereja bukan Kerajaan Allah. Kerajaan itu bersifat universal, final, kekal, sempurna, transeden, dan merupakan perwujudan pemerintahan Allah yang definitif. Sedangkan gereja tidaklah demikian, walaupun anggota-anggotanya telah diperdamaikan denagn Allah melalui Kristus, namun gereja tidaklah sempurna dan terdiri dari orang-orang berdosa. Tidak hanya itu, gereja bersifat sementara dan tidak kekal; ia akan berlalu ketika yang sempurna tiba. Kuasa dan kemuliaan dari pemerintahan Allah itu masih ”belum tiba”. Hari Tuhan merupakan penandadari penggenapan maksud Allah, karena pada saat itu seluruh ciptaan akan dipersatukan ”di dalam Kristus sebagai kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef. 1:10).
VI. Nubuat Alkitab dalam terang kerajaan. Dari studi singkat tentang makna Kerajaan Allah ini, maka dapat ditarik kesimpulan yang akan membantu kita menafsirkan nats-nats nubuat dan apokaliptik Alkitab, yaitu pertama, Maksud Allah hanyalah satu. Kedua, maksud Allah memiliki cakupan yang universal. Ketiga, Kerajaan Allah adalah milik Allah. Keempat, masa sekarang adalah masa yang berada dalam ketegangan. Karena kita hidup di dalam masa-masa antara ini, kita pun dipanggil untuk bersikap setia dan melayani. Tugas kita adalah menjadi alat-alat Alalh dalam meluaskan pengaruh Kerajaan yang kini telah hadir di dalam dunia.
Pasal kesepuluh, Berita Nubuatan. Yang menjadi pertanyaan terhadap berita nubuatan adalah apakah yang dapay kita pelajari dari para penulis Alkitab ini? Tantangan apa yang mereka sampaokan kepada kita serta dunia kita? Tentu kita tidak dapat menelusuri seluruh pertanyaan ini, yang dapat kita lakukan di sini adalah mengembangkan beberapa poin penting dan menonjol yang kita temukan di dalam tulisan-tulisan para nabi danpenulis apokaliptik. Kita akan melakukan pengembangan ini dalam dua bagian, yaitu pertama berpusat pada perspektif kita sebagai orang Kristen, dan kedua berpusat pada motivasi kita.
I. Melihat berdasarkan terang maksud akbar Allah. Kitab-kitab nubuat dan apokaliptik menyampaikan berita yang jelas dan dahsyat tentang kekaburan serta ketidakadilan yang hadir di dalam dunia. Di sini Green memberikan garis besar tentang beberapa poin penting dari pandangan hidup yang segar ini, yaitu:
1. Kitab-kitab ini memberitahukan kita bahwa Allah tetap berkarya, seperti Habakuk dan hamba Elisa (2 Raj. 6).
2. Para jurubiacar Allah ini juga menyatakan kepada kita bahwa Ia terus menyatakan maksud eskatologis-Nya kepada seluruh dunia: sebuah ciptaan baru.
3. Bagi para nabi, kegenapan aktivitas penebusan Allah itu baru akan terjadi pada era yang akan datang dan bukan sekarang.
4. Hari-hari yang telah dijalani sekarang ini berada di dalam ketegangan, dan ketegangan ini merupakan cerminan dari konflik antara Kerajaan Allah dengan kerajaan dunia ini. Akhirnya, kitab-kitab nubuat dan apokaliptik membuka mata kita kepada realitas masa depan serta keterkaitannya dengan masa kini.
II. Motivasi bagi masa kini. Berdasarkan ancaman yang Di kebanyakan gereja , jarang sekali terdengar khotbah-khotbah yang berani mengulas bagian-bagian fantastis dari kitab Wahyu. Khotbah itu menyampaikan sebuah pesan yang kuat kepada orang-orang Kristen yang telah melalaikan kesaksian yang alkitabiah, juga menantang orang-orang iman agar tetap berjaga-jaga dan bersiap bagi intervensi Allah yang tidak diduga-duga yang akan mengakhiri zaman ini. Berdasarkan ancaman yang dimunculkan janji kedatangan Kerajaan, yaitu dimulainya Perjamuan Kawin Anak Domba (lih. Why. 19:6-8), banyak hamba (orang Kristen) yang masih belum layak dan perlu membereskan sopan santun serta ucap tutur sebelum umat Kristen mengikutinya. Para nabi dan penulis apokaliptik berkali-kali menyoroti bahwa kita harus hidup di dalam terang masa depan yang dijanjikan.
Dalam pasal ini dapat ditemukan beberapa motivasi kita dalam memahami nubuat Alkitab. Pertama, pengaharapan kita di dalam Kristus mendorong kita untuk berlaku setia setiap hari. Kedua, Kerajaan Allah yang mendobrak masuk bersama pengharapan dan janji akan ciptaan baru itu juga memotivasi kita agar kita menjadi bagian dari rencana penebusan Allah. Sebagaimana yang tampak dari cakupan maksud Allah, penginjilan bukanlah satu-satunya cara yang harus dilakukan gereja untuk melayani Kerajaan. Orang-orang Kristen juga harus menghayati keprihatinan Allah kepada berlakunya keadilan dan rekonsiliasi di dalam seluruh kehidupan bermasyarakat. Orang-orang Kristen harus berkarya bersama Allah untuk melawan semua bentuk penindasan, semua manifestasi kejahatan yang mengasingkan manusia dari sesamanya serta manusia dari Allah. Pemerintahan Kristus harus dihadirkan di dalam seluruh aspek kehidupan. Lerajaan Allah tidak hanya kelihatan ketika Allah memanggil orang-orang kepada pertobatan dan iman, tetapi juga kelihatan ketika panji-panji Kerajaan itu, yaitu cara-cara yang dikehendaki Allah, ditegakkan di dalam dunia ini.
Jadi melalui buku Memahami Nubuatan ini, penulis mengajak kita untuk menikmati firman Allah, terutama bagian-bagian nubuatan, dengan setia dan sebagaimana mestinya. Di dalam buku ini, Joel B. Green mengajak kita memahami hakikat nubuatan dalam Alkitab yangs esungguhnya. Kita diajak untuk menghargai konteks serta maksud penulis dari teks-teks nubuat sambil menyingkapkan kepada kita tentang dunia para nabi Perjanjian Lama, zaman antara perjanjian, serta gereja Kristen mula-mula, juga menyelami simbolisme, perbedaan antara nubuat dengan apokaliptik, penggenapan nubuat dan sebagainya.

Tidak ada komentar: