Sabtu, Desember 15, 2007

NISBAH PLURALISME DENGAN FINALITAS KRISTUS

Dewasa ini, dikalangan komunitas Kristen telah berkembang sikap toleransi yang tidak proporsional terhadap berbagai agama, pandangan filosofi dan gaya hidup yang mengkristal dalam bentuk faham atau pandangan. Faham atau pandangan tersebut mereduksi ketegasan iman Kristen yang jelas mengemukakan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan. Berbagai alasan dikemukakan sebagai dasar argumentasi guna melegalisir pandangan yang memungkinkan bahwa keselamatan juga terdapat dalam agama-agama non Kristen di dunia. Dengan pandangan ini maka terdapat sikap konformisme yang bisa berujung pada pengkhianatan terhadap kebenaran Injil yang original.

Dalam buku yang ditulis oleh Pdt. Dr. Stevri I. Lumintang, menyatakan bahwa toleransi bukanlah teologi melainkan suatu sikap etika yang tentu harus dibangun diatas prinsip-prinsip kebenaran. Dalam perspektif Kristen, etika toleransi adalah etika yang bersumberkan pada prinsip-prinsip kebenaran Kristen dan teologi Kristen. Etika ini bertentangan dengan apa yang diusulkan oleh kaum Pluralis Kristen, yaitu membangun etika toleransi yang sifatnya universal (etika global). Etika Pluralis adalah etika yang didasarkan pada semua prinsip-prinsip kebenaran yang diakui oleh semua agama-agama yang ada di dunia. Dengan pandangan kaum Pluralis ini, maka disangkalkannya kebenaran yang absolut dari Alkitab. Bila hal ini diterima, maka misi penginjilan secara otomatis digugurkan atau tidak lagi dibutuhkan, sebab misi penginjilan pada dasarnya dianggap sebagai perusak harmonisasi hidup bersama dalam masyarakat majemuk.

Pluralisme adalah paham yang mengakui adanya satu kebenaran yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda. Selain pluralisme agama, ada juga pluralisme teologis. Pluralisme teologis, ialah “sikap menerima semua bentuk dan hasil penafsiran tentang iman dalam kehidupan gereja Tuhan.” Kaum pluralis membuang teologi ortodoksi atau tradisional yang menjunjung tinggi keeksklusifan kekristenan yang bertolak dari finalitas Yesus. inilah cita-cita kaum pluralis dan inilah goal dari pluralisme. Sedangkan, pluralisme agama ialah: “the recognition of the right of various religious group.e.g. Jews, Muslim, and Christians to be allowed to function lawfully in a society” (Pengakuan mengenai hak dari kelompok-kelompok agama yang berbeda seperti Yahudi, Islam, dan Kristen, diijinkan secara hukum untuk berfungsi dalam suatu masyarakat).

Newbigin berkomentar bahwa perbedaan-perbedaan antara agama-agama adalah bukan masalah kebenaran dan ketidakbenaran, tetapi pada perbedaan persepsi terhadap kebenaran. Dalam hal ini perbedaan persepsi tidak perlu dipertentangkan, karenanya dianggap tidak perlu dikonfrontir. Perbedaan ini dianggap oleh mereka bukan perbedaan yang prinsip. Sebenarnya perbedaan bukan hanya pada persepsi semata-mata, tetapi juga pada konten masing-masing agama,yang kalau jujur memiliki berbagai paradok yang tidak dapat disatukan.

Teologi yang diupayakan oleh kaum pluralis adalah teologi yang tidak hanya bersumber dari Alkitab, tetapi juga di luar Alkitab sehingga melahirkan teologi yang bukan dari Alkitab bukan pula dari Al Quran atau kitab agama lain apapun, bukan teologi kristen, bukan pula teologi agama lain, bukan putih, pukan pula hitam, melainkan gabungan dari semua kebenaran yang ada yang dianggap kebenaran. Pandangan ini melahirkan sikap relativisme. Relativisme mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif. Relativisme telah menguasai hampir semua bidang kehidupan dan penelitian, di antaranya dibidang etika dengan etika situasional dan dibidang agama dengan mencanangkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak.

Selain apa yang telah dikemukakan di atas, maka globalisasi juga telah memicu persemaian tumbuhnya pluralisme. Globalisasi telah memberikan kesadaran kepada kaum pluralis untuk menanggapi dan mengikuti proses globalisasi sehingga keterbukaan agama yang satu dengan yang lain dapat ditumbuh kembangkan. Inilah kesadaran pluralisme yang searah dengan tuntutan globalisasi. Dalam hal ini Knitter mengusulkan suatu teologi global atau teologi mendunia. Teologi global yang dimaksudkan ialah teologi yang dapat diterima oleh semua agama-agama. Teologi global tersebut adalah teologi yang tidak hanya dapat menjembatani pertemuan antar semua agama melainkan juga mewadahi dan menerima semua kebenaran agama-agama yang ada di dunia ini.
Munculnya pandangan diatas tidal lepas dari tampilnya teologi historis kritis. Pada dasarnya, teologi historis kritis adalah bentuk ilmu teologi yang berusaha melihat Alkitab dari sudut pandang historis dan menilainya secara kritis. Penekanan yang mereka anggap penting adalah dalam teologi kontemporer pendekatannya sebaiknya dengan filsafat. Filsafat menjadi landasan untuk memahami Alkitab. Hal ini tidak perlu mengherankan, karena dunia kontemporer adalah dunia yang memaksimalkan ratio, juga dalam memahami Alkitab. Ditambah pengertian bahwa filsafat diakui sebagai ibu dari segala ilmu pengetahuan yang merangsang aktifitas ratio, maka mereka menjadikan filsafat sebagai acuan tunggalnya.

Sebagai dampaknya pula, membaca Alkitab tidak berbeda dengan membaca kitab Negarakertagama atau catatan-catatan sejarah tentang Kerajaan Romawi. Disini kewibawaan alkitab telah dirongrong, sehingga kemutlakkan kebenaran Alkitab dicurigai. Alkitab dilihat sebagai mitos dasar agama Kristen. Di dalam Alkitab dinyatakan terdapat banyak mitos, seperti terjadinya dunia, kelahiran Tuhan Yesus dan kebangkitan Tuhan Yesus. Menurut pengikut faham ini, Kitab Suci memang diilhamkan, namun juga ‘mungkin mengandung kesalahan’. Menurut mereka, Alkitab adalah kristalisasi tradisi umat Allah semata-mata,yang tidak boleh diakui sebagai wahyu Tuhan, Dengan sikap ini , mereka merongrong kewibawaan Alkitab.

Tulisan ini diambil dari berbagai sumber, seperti dari tulisan Dr. Erastus Sabdono, Dr. Stevri Lumintang, Newbigin, dll.

2 komentar:

Yobta Tarigan Sibero mengatakan...

Allah menciptakan kehidupan dalam kemajemukan sebagai karakteristiknya.Karena itu,penyeragaman hidup tidak lain adalah sebuah upaya menyangkal kemajemukan. Dengan kata lain,menyangkal hidup itu sendiri. Dimana dalam konteks bangsa Indonesia,kepelbagaian agama adalah sebuah keniscayaan.Mengakui keragaman tidak sama dengan memadukan berbagai unsur perbedaan (Sinkretisme).Mengakui keragaman juga tidak sama dengan menganggap semua perbedaan tak ada artinya atau semua serba relative (Relativisme).Pluralisme bukan sinkretisme dan juga bukan relativisme.Tetapi,ragam kebenaran diakui.Kebenaran-kebenaran universal di temukan dalam kemajemukan.Bukan absolute dalam ketunggalan,tetapi absolute dalam kemajemukan.Oleh karena itu berbicara tentang pluralisme,haruslah tetap dilihat sebagai sebuah panggilan orang-orang percaya dalam mewujudnyatakan Kerajaan Allah didunia ini.

Bobby Putrawan mengatakan...

Yang menjadi penjernihan adalah Pluralis dan Pluralisme. Pluralis yang merupakan menjadi anugerah umat ciptaan Tuhan. Dan sesama umat bagaimana menghormati dan menghargai pelbagai kemajemukan, dimana Tuhan tempatkan. Pluralis dan Pluralisme diperlukan penjernihan yang jelas dan tentunya hal ini juga berangkat dari perspektif mana ia melihat. dan hal ini juga berdampak bagaimana orang-orang yang ada dalam Pluralisme memiliki anggapan berbeda. Hal ini juga seperti yang dikatakan oleh Romo Franz Magnis Suseno.