Minggu, November 23, 2008

Penyesuaian Dalam Pernikahan

Dalam Kejadian pasal 1, setiap mengakhiri satu hari penciptaan, Allah melihat bahwa yang diciptakan-Nya itu baik. Beberapa kali hal itu dinyatakan dalam pasal ini (ayat 4, 9, 18, 25). Bahkan setelah menciptakan manusia sebagai mahkota ciptaan-Nya, menurut gambar dan rupa-Nya, Ia melihat bahwa yang diciptakan itu "sungguh amat baik" (Kej 1:31). Tetapi di Taman Eden itu Allah melihat sesuatu yang tidak baik dan mengatakan, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kej 2:18). Ketidak-baikan itu karena manusia masih seorang diri saja.
Tentunya ayat ini tidak dapat digunakan untuk membuktikan bahwa keadaan menikah lebih mulia daripada keadaan tidak menikah. Sebaliknya, pernyataan Rasul Paulus dalam I Korintus 7:7 (Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku: tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu) juga tidak dapat digunakan untuk membuktikan bahwa keadaan tidak menikah lebih mulia daripada menikah. Seperti ayat di atas, Paulus dan juga Kristus mengajarkan bahwa setiap orang memiliki karunia dan panggilan yang berbeda-beda (Mat 19:12).
Untuk menghadapi setiap situasi hidup, kita memerlukan anugerah Allah. Supaya dapat hidup melajang dengan baik kita memerlukan anugerah Allah; demikian pula supaya dapat hidup dalam pernikahan dengan baik. Ada orang yang memang tidak mampu melajang seumur hidup sehingga ia menikah dan sebaliknya ada orang yang memang sebaiknya tidak menikah karena ia tidak mampu hidup dalam pernikahan dengan baik (misalnya orang yang cenderung menyebabkan penderitaan pada pasangannya dan merusak anak-anaknya).
Ada juga yang mampu hidup dengan baik, entah dalam keadaan melajang atau dalam keadaan menikah, tetapi sayangnya ada juga orang yang tidak dapat hidup dengan baik, entah ia menikah atau melajang. Memang ia memiliki kepribadian yang bermasalah.
Dalam Kejadian 2:18 kita melihat bahwa Allah sendiri yang membawa Hawa kepada Adam. Jadi, dengan iman kita juga dapat berkata bahwa Allah yang akan mempertemukan kita dengan seorang penolong yang tepat bagi kita. Memang sebagai seorang Kristen kita dapat menyerahkan diri kepada Allah agar Ia mengatur kita, termasuk pilihan teman hidup. Kita dapat yakin bahwa Dialah yang mempertemukan kita dengan suami/isteri kita. Dialah yang memberikan seorang yang baik dan tepat bagi kita.
Dalam hal ini kita harus berhati-hati dengan pemakaian kata-kata "Jodoh di tangan Tuhan.” Kata-kata ini tidak ada dalam Alkitab. Ini hanya populer di masyarakat, jadi ada kemungkinan ini adalah konsep yang salah dan kita tidak perlu mempromosikan atau meyakini konsep tersebut.
Pandangan Kristen tentang "jodoh" dan "takdir" juga tidak bersifat fatalis seperti pengertian sekuler atau beberapa agama lain. Kehidupan kita sepenuhnya ada di dalam tangan Tuhan yang melakukan semuanya itu demi kebaikan kita. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan fatalis atau "Yang akan terjadi biarlah terjadi" (Que sera-sera).
Iman Kristen tidak akan berkata, "Kalau memang saya ditakdirkan beruntung, ya akan beruntung. Kalau tidak, ya terima saja," atau, "Bintang kita memang suram tahun ini, kita tidak dapat berbuat apa-apa." Kita juga tidak berkata, "Saya memang sudah dijodohkan dengan dia dan ditakdirkan tidak akan bahagia," atau "Saya sudah dijodohkan dengannya dan memang ditakdirkan bahagia; jadi, biar bagaimanapun 'nakalnya', akan tetap bahagia."
Bagi orang-orang Tionghoa Kristen, kita juga tidak berkata, "Memangnya saya 'ciong' dengannya, makanya selalu cekcok seperti ini." Kebahagiaan pernikahan kita juga tidak ada kaitannya dengan shio, she, hari nikah, pertanda sial, bintang dan sebangsanya. Iman Kristen percaya sepenuhnya bahwa Allah yang mengasihi akan mengatur segala sesuatu demi kebaikan orang-orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28).
Allah adalah agape (1 Yohanes 4:8). Ia menghendaki, merencanakan, dan melaksanakan yang baik bagi kita, kekasih-Nya. Juga dalam hal pilihan teman hidup. Ia akan memberikan pasangan yang baik dan tepat bagi kita. Hanya dalam hal ini perlu kita menyadari bahwa yang baik bagi kita BUKAN berarti yang cantik, yang ganteng, yang kaya, yang sudah mantap karirnya, yang sudah memiliki kerohanian tinggi, yang sudah sangat dewasa, yang paling sabar, yang paling memahami kita dan sebagainya.
Yang baik bagi kita adalah yang tepat bagi kita dan kita baginya. Tidak semua kita adalah orang yang cantik atau ganteng. Sering juga kita dan pasangan kita bukan orang yang sabar, bukan yang sudah sepenuhnya dewasa, yang karirnya belum menentu, yang masih belum dapat mengendalikan emosinya. Justru dengan segala kekurangan yang ada pada kita, Allah yang maha tahu dan maha bijak mempersatukan kita dengan pasangan kita supaya bersama-sama kita menjadi dewasa sesuai dengan rencana-Nya.
Dalam pernikahan itulah--yang ada kecocokan dan ketidakcocokannya, yang ada penyesuaian dan ada konfliknya--makin lama kita makin menjadi dewasa. Memang pernikahan dengan segala gesekan dan benturan di dalamnya, menjadi alat yang ampuh dan efektif dalam tangan Allah untuk mendewasakan kita, untuk menjadikan kita seperti Kristus (Christ-like, Roma 8:29).
Mungkin bila dipasangkan dengan orang yang paling sabar di dunia, sifat kita yang sewenang-wenang justru tidak akan hilang. Mungkin dengan orang yang terlalu sabar justru tidak baik bagi kita. Allah yang mengetahui keadaan dan kebutuhan kita dengan tepat dapat mempertemukan kita dengan pasangan yang paling baik bagi kita.
Dalam Kejadian 2:18 Allah menjanjikan bagi kita seorang penolong yang sepadan dengan kita. Hawa diciptakan Allah untuk menjadi penolong Adam, bukan untuk menyainginya, menekannya, mengalahkannya, atau menindasnya. Tetapi sepadan tidak berarti sama. Jelas seorang pria tidak sama dengan seorang wanita. Secara fisik, baik dari luar ataupun dari dalam berbeda sekali. Fungsi alat-alat tubuh juga banyak berbeda. Secara psikis juga banyak berbeda.
Kesepadanan atau kecocokan itu dapat kita kiaskan antara anak kunci dengan induknya/kuncinya. Anak kunci sangat berbeda bentuknya dengan induknya. Tetapi agar mereka dapat berfungsi dengan baik, mereka harus pas satu dengan yang lain. Kalau tidak pas/cocok keduanya kehilangan kegunaannya. Hanya kalau pas, mereka dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tetapi untuk menjadi pas diperlukan proses dan usaha.
Kalau misalnya anak kunci itu rusak atau patah, kita pergi ke tukang kunci. Pertama-tama harus dicari bentuk anak kunci yang kira-kira cocok. Setelah itu anak kunci harus dibentuk, dipotong dengan mesin potong, dan dihaluskan dengan sebuah kikir. Baru setelah melalui proses yang "menyakitkan" itu, anak kunci itu cocok dengan induknya. Dan mereka dapat berfungsi menurut "panggilan" mereka.
Pasangan yang diberikan Allah kepada kita, dan kita sendiri, harus juga melalui proses penyesuaian yang memerlukan usaha keras dan konflik yang "menyakitkan," agar dapat tercapai keharmonisan seperti yang dikehendaki Pencipta kita. Pasangan kita dan kita sendiri adalah bahan dasar yang sepadan. Melalui usaha keras dalam hubungan suami-isteri, kita dibentuk oleh Allah sehingga menjadi dewasa sesuai dengan kehendak-Nya (Ef 4:13-15). Kebahagiaan dalam keluarga TIDAK datang secara otomatis karena kita dijodohkan Allah, tetapi pada kita diberi potensi untuk bahagia. Dan dalam Kristus kita menerima Roh-Nya yang akan membantu kita dalam proses penyesuaian ini.


PENYESUAIAN DALAM PERNIKAHAN

Coba kita pelajari usaha penyesuaian dalam pernikahan:
Pertama kita menarik sebuah garis yang kita sebut garis nol (lihat gambar 5a). Bila hubungan sepasang suami-isteri terletak di atas garis nol ini, maka mereka berbahagia. Makin jauh di atas garis nol (titik A), makin tinggi ting¬kat kebahagiaan mereka. Sebalik¬nya bila hubungan seorang dengan pasangannya terletak di bawah garis nol, itu berarti mereka tidak berbahagia. Makin jauh di bawah garis nol (titik D), makin tidak berbahagia pasangan itu.
Keadaan bahagia itu terjadi di mana ada keserasian, menjadi seperti yang dikehendaki Allah bagi kita, serta banyaknya emosi-emosi positif seperti kasih sayang, sabar, lemah lembut, tenang, damai. Sebaliknya ketidak-bahagiaan ditandai dengan konflik terus-menerus yang tidak terselesaikan dan banyaknya emosi-emosi negatif seperti: kemarahan, kesedihan, kepahitan, iri, cemburu, benci dan dendam untuk waktu yang lama.
Dalam pernikahan banyak hal yang dapat menyebabkan berkurangnya kebahagiaan, yang dalam gambar di atas dinyatakan dengan panah ke bawah, dan banyak pula yang menambah kebahagiaan (panah ke atas). Untuk menjelaskan penyesuaian dalam pernikahan, kita akan melihat contoh tentang beberapa faktor yang mungkin bersifat negatif (menurunkan penyesuaian dan mengurangi kebahagiaan) dan kemudian beberapa faktor yang bersifat positif (meningkatkan penyesuaian dan menambah kebahagiaan). Faktor-faktor ini bersifat relatif, artinya bagi satu pasangan sebuah faktor mungkin bersifat negatif, sedang bagi pasangan lain, hal yang sama justru bersifat positif.
Suami isteri merupakan dua orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Mereka dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dengan nilai, prioritas dan kebiasaan yang berbeda. Karena perbedaan-perbedaan ini maka di antara mereka, sedikit banyak akan ada konflik.
Pepatah “Asam di gunung, ikan di laut bertemu dalam belanga” menggambarkan perbedaan suami-isteri itu dalam pernikahan. Meskipun akhirnya bertemu di belanga dan di bawah olahan seorang koki dapat menjadi masakan yang enak, tetapi yang satu adalah asam dari gunung dan yang lain adalah ikan dari laut. Yang satu dari daerah tinggi, sejuk dan kering; yang lain dari daerah rendah, panas dan basah.
Contoh perbedaan yang mungkin dapat menimbulkan faktor negatif tampak pada gb. 5b.
Yang pertama ialah adanya perbedaan PENDIDIKAN yang besar. Perbedaan seperti ini mudah menjadi faktor negatif dalam penyesuaian suami-isteri.
Seorang isteri mungkin putus sekolah waktu di kelas 2 SMA, jadi ijazahnya adalah ijazah SMP, sedangkan suaminya adalah seorang ahli bedah. Mereka bertemu waktu suami masih mahasiswa tingkat pertama dan menikah sebelum ia lulus menjadi dokter. Sementara suaminya kuliah, isterinya bekerja.
Lingkungan suami adalah lingkungan intelektual medis di sebuah rumah sakit sehingga dalam aktivitas sosial mereka, isteri dapat merasa terasing. Kalau ada pesta di rumah sakit dan suami mengajak isterinya, si isteri mungkin akan merasa rendah diri di tengah para dokter dan jururawat. Mungkin ia berpikir, "Saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Kenapa mereka tiba-tiba tertawa. Kalau saya berbicara sedikit saja dengan jururawat-jururawat, akan ketahuan bodohnya saya ini."
Akibatnya, dalam pesta itu ia menyendiri saja duduk di pojok, dan hanya berbicara kalau diajak berbicara. Lama kelamaan suaminya mungkin akan menjadi malu karena isterinya. Akhirnya si isteri mungkin segan datang ke pesta-pesta di rumah sakit. Tentunya suami yang sendiri datang ke pesta-pesta bukan merupakan hal yang baik. Godaan perselingkuhan akan besar.
Selain itu perbedaan pendidikan yang besar menyebabkan perbedaan dalam cara berpikir, menalar, mengambil kesimpulan dan mengambil keputusan. Suami jengkel melihat cara isteri mengambil keputusan yang "kekanak-kanakan" dan isteri tidak mengerti cara suami mengambil keputusan.
Hal yang sama berlaku pula bila isteri yang pendidikannya jauh lebih tinggi dari suaminya. Suaminya yang akan menjadi minder. Itulah sebabnya pilihan calon suami bagi wanita-wanita yang sudah sarjana menjadi berkurang (pria yang berpendidikan lebih rendah akan minder mendekati wanita yang berpendidikan lebih tinggi).
Tidak adanya penyesuaian seperti ini dapat dikurangi bila pasangan yang berpendidikan formal lebih rendah memiliki kecerdasan yang cukup tinggi dan mau terus belajar dan membaca hingga ia dapat mengimbangi pendidikan pasangannya.
Perbedaan KEBIASAAN yang pasti ada antara sepasang suami-isteri, mungkin merupakan faktor negatif yang besar.
Seorang isteri dibesarkan dalam sebuah keluarga besar oleh seorang ibu yang perfectionist, yang menghendaki semuanya harus sempurna dan tepat. Karena itu, segala sesuatu di rumah harus berfungsi pada tempatnya. Sepatu-sepatu harus diletakkan di rak sepatu kalau tidak dipakai. Perabot-perabot harus selalu teratur, tetap letaknya dan rapi. Lantai bersih mengkilap. Setiap bangun tidur anak-anak harus segera membenahi tempat tidur masing-masing. Tempat tidur hanya digunakan untuk tidur, tidak boleh untuk tempat bermain, bergurau ataupun membaca. Pakaian-pakaian bersih dimasukkan dalam lemari masing-masing dan ada tempat tersendiri untuk pakaian kotor.
Sebaliknya suami adalah anak tunggal yang dimanjakan oleh ibunya. Waktu pulang sekolah dulu, sementara masuk rumah, bajunya yang basah oleh keringat dilepaskan dan diletakkannya di sofa depan. Ia melepaskan sepatu dan kaos kakinya di ruang tamu. Sementara itu, ia menceritakan pengalamannya hari itu kepada ibunya yang sedang mempersiapkan makan siangnya. Setelah itu, masih tanpa baju, ia duduk di meja makan, sambil ditemani ibunya yang telah rindu pada anaknya setelah ditinggal setengah hari. Ia tahu bahwa nanti ibu atau pembantunya yang akan mengumpulkan baju, sepatu, kaos kakinya, dan ibunya akan melakukannya dengan senang untuk anak tunggal ini.
Di tempat tidurnya anak tunggal ini sering belajar, mendengarkan CD-nya, ngobrol dengan teman-temannya dan sekali pernah mengadakan rujak party. Ia tidak pernah harus merapikan kamar tidurnya.
Setelah keduanya menikah, si isteri selalu mengomel kalau suami tidak menggantungkan pakaiannya di tempat semestinya. Ia menjadi perfectionist seperti ibunya dan menganggap cara ibunyalah yang paling baik, karena itulah satu-satunya cara yang diketahuinya. Ia marah kalau sehabis mandi suaminya meletakkan handuk basah di tempat tidur. Suatu saat tulang keringnya terantuk keras pada laci lemari yang oleh suaminya lupa didorong masuk seluruhnya. Ia sangat marah, melihat suaminya yang berpendidikan tinggi "tidak masuk akal.” "Selamanya dan di mana saja laci itu setelah selesai dipakai harus didorong masuk sepenuhnya." Sang suami menganggap isterinya tidak masuk akal.
Sebaliknya sang suami tidak dapat mengerti mengapa isterinya marah-marah kalau ia mengangkat anaknya dan bergelut dengannya di tempat tidur ("Jangan main di tempat tidur. Tempat tidur hanya untuk tidur. Namanya saja tempat tidur. Sudah sarjana masih belum mengerti juga.") Bantahannya: "Ini tempat tidur kita. Kita beli dengan hasil keringat kita sendiri. Mengapa tempat tidur hanya untuk tidur ? Mau kita bakar juga urusan kita. Penjualnya malah senang kita harus beli lagi."
Si suami juga merasa jengkel ketika berusaha mengajar isterinya untuk memencet tapal gigi/odol mereka dari ekornya, tetapi tidak pernah berhasil. Si isteri selalu memencet odol di leher atau perut. Memang si suami selalu melihat ayahnya memencet odol dari ekor. Kemudian setelah setengah habis, ayahnya menggunakan pangkal sikat gigi untuk menekan bagian yang telah kosong lalu secara rapi melipatnya ke depan. Dengan demikian tidak ada odol yang terbuang. "Mengapa memencet odol selalu di leher atau perutnya. Kenapa tidak di ekornya?.” Si isteri kemudian menjawab, "Ini odol kita sendiri, kita beli dengan hasil keringat kita sendiri. Mau dipencet di lehernya atau kita bakar juga urusan kita.'
Hal-hal seperti ini rasanya kecil, tetapi sering menjadi sumber konflik dan dapat menjadi pertengkaran yang tidak selesai-selesai. Dalam hal ini siapa yang harus kita salahkan? Siapa yang benar, siapa yang salah. Apakah ada bimbingan Firman Allah? Tidak ada. Memang tidak ada yang salah. Suami dan isteri itu mempunyai pendidikan dan latar belakang yang berbeda, kebiasaan-kebiasaan yang mereka lihat dan serap juga berbeda; sebab itu keyakinan mereka tentang “tingkah laku yang tepat” berbeda pula.
Kemungkinan faktor negatif lain dalam pernikahan ialah perbedaan SOSIAL EKONOMI keluarga asal mereka (lihat gb. 5b).
Perbedaan lingkungan sosial yang tajam, misalnya dari kalangan ningrat menikah dengan seorang dari kalangan buruh atau petani, dapat menyebabkan perbedaan nilai, etiket, dan etika; cara berbicara dan perbendaharaan kata mereka, cara menanggapi dan memecahkan suatu masalah hidup. Bahkan perbedaan cara makan pun ditentukan oleh perbedaan lingkungan sosial masa lampau seseorang.
Suatu ketika waktu masih menjadi mahasiswa di Kansas City, saya pernah diundang makan di rumah seorang teman gereja. Teman ini sebaya dengan saya dan waktu itu ia sudah menikah dan mempunyai seorang putra. Setelah makan kami masih duduk di sekitar meja makan sambil bercakap-cakap. Piring dan alat-alat makan lainnya belum disingkirkan. Sementara kami bercakap-cakap itu, tiba-tiba teman saya mengambil garpunya dan menggunakannya untuk menggaruk punggungnya. Melihat itu isterinya merasa malu dan marah padanya. Ia meminta maaf pada saya untuk perbuatan suaminya.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mungkin teman saya itu dibesarkan oleh seorang bapak yang juga sering menggaruk dengan sendok, garpu atau pisau makan. Seorang anak yang dibesarkan oleh orangtua yang sering meludah di lantai atau di tanaman hias, atau membuang sampah di sebarang tempat, tidak akan merasa bersalah dan tidak akan merasa malu dilihat orang lain melakukan hal-hal yang sama juga.
Memang kita tidak lagi hidup di jaman Siti Nurbaya, di mana pernikahan antara dua orang dari kedudukan sosial yang berbeda tidak dikehendaki, tetapi kepribadian dan kebiasaan kita tidak lepas dari bentukan lingkungan hidup dan nilai-nilai orang penting, terutama orangtua, dalam hidup kita. Ini berlaku juga di masyarakat modern.
Seorang pendeta pernah bercerita kepada saya tentang temannya yang dari keluarga ningrat di Yogya. Pemuda ini belajar di Australia. Di sana ia menikah dengan seorang wanita kulit putih Australia. Setelah menyelesaikan studi, mereka kembali ke Indonesia dengan maksud menetap di sini. Ternyata tidak lama kemudian mereka harus kembali ke Australia dan menetap di sana.
Tidak ada kecocokan antara ibu dengan isteri pemuda ini. Salah satu penyebabnya ialah kebiasaan wanita kulit putih ini. Ia suka bertolak pinggang--bukan karena menantang dan tidak menghormati, tetapi karena suatu kebiasaan yang lazim baginya sebagai wanita barat, bahkan suatu pose yang menarik dalam dunia peragaan. Mertuanya yang melihat hal itu tidak dapat menerimanya. Bertolak pinggang adalah suatu hal yang tabu bagi mereka, terutama di kalangan ningrat.
Hal lain ialah cara duduknya. Pernah satu kali ibu mertua ini keluar dari kamarnya untuk duduk di ruang depan. Ia melihat menantunya sudah duduk di sana dengan celana pendek dan kaki yang di silang tegak lurus, juga suatu cara duduk yang lazim bagi wanita barat itu. Melihat hal ini, ibu itu diam-diam masuk lagi ke kamarnya sambil mengelus-elus dadanya.
Masih banyak perbedaan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang menyebabkan wanita Australia itu tidak betah tinggal di Indonesia sehingga akhirnya mereka balik ke Australia.
Perbedaan nilai disebabkan oleh perbedaan sosial keluarga asal mereka, juga merupakan faktor yang peka dalam usaha penyesuaian dalam pernikahan. Mungkin perbedaan ini lebih tajam daripada perbedaan tata cara dan etiket. Perbedaan nilai ini juga dapat disebabkan karena perbedaan taraf ekonomi keluarga asal suami-isteri itu. Nilai-nilai menentukan tujuan hidup, filsafat hidup dan apa yang diutamakan dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Hal ini tentunya mempengaruhi hirarki keluarga dan prioritas hidup.
Seorang yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang berlimpah dengan uang akan mempunyai nilai yang berbeda sekali terhadap uang dibandingkan dengan seorang dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Kekikiran dan keborosan suami/isteri sering menyebabkan konflik-konflik yang tajam dalam keluarga.
Demikian pula suami isteri yang berasal dari bangsa atau suku yang berbeda (lihat gb. 5b). Perbedaan BANGSA/SUKU BANGSA ini dapat menjadi faktor negatif yang besar. Dalam hal ini perlu saya tekankan bahwa saya tidak menentang perkawinan campuran bangsa atau suku bangsa, tetapi kita harus melihat faktor-faktor negatif yang mungkin timbul dalam perkawinan antar suku/bangsa secara realistis.
Setiap bangsa atau suku mempunyai temperamen atau sifat sendiri, dan hal itu mempengaruhi dan membentuk kepribadian tiap anggota suku/bangsa itu. Bila sepasang suami-isteri berasal dari suku/bangsa yang mempunyai temperamen, adat, kebudayaan dan kebiasaan yang sangat berbeda, maka mereka mungkin sekali mengalami kesulitan dalam penyesuaian.
Jikalau kita mengadakan konseling pra-nikah dengan sepasang muda-mudi yang akan menikah, kita wajib membicarakan semua hal yang kelak mungkin menjadi hambatan dalam usaha mereka menuju kebahagiaan keluarga. Kita membicarakan perbedaan latar belakang mereka dan kalau kita mengetahui mereka berasal dari bangsa atau suku sangat yang berbeda adat dan budayanya, kita perlu menyediakan waktu untuk membahas perbedaan itu.
Perbedaan temperamen, adat, dan kebudayaan bangsa/ suku yang besar mungkin menyebabkan faktor negatif yang besar pula sedangkan perbedaan yang kecil mungkin tidak akan begitu berpengaruh. Misalnya konflik dalam pernikahan dari seorang asal Jawa Timur dan Jawa Tengah mungkin tidak akan sebesar konflik pernikahan seorang dari suku Batak dengan seorang suku Jawa dari Solo. Konflik-konflik karena perbedaan suku/bangsa ini tentunya harus diatasi dengan kedewasaan suami-isteri itu juga. Meskipun kita hidup di negara Bhinneka Tunggal Ika, tetapi sumber konflik karena perbedaan adat dan budaya suku akan masih ada.
Perbedaan temperamen suku bangsa sering tidak tampak pada dua sejoli yang sedang mabuk eros. Tampaknya perbedaan ini bukan masalah yang besar. Setelah mereka menikah dan cemerlang eros tidak lagi menutupi mata mereka, barulah mereka melihat konflik-konflik besar karena perbedaan temperamen dan adat suku. Untuk mengatasi konflik-konflik ini diperlukan agape.
Ada beberapa buku yang telah membahas temperamen, kepribadian dan cara berpikir suku-suku bangsa dalam negara kita (misalnya sudah ada buku-buku tentang orang Jawa, Minangkabau, Bali, keturunan Tionghoa dan lain-lain). Sebagai konselor kita perlu mempelajari perbedaan-perbedaan temperamen ini untuk dapat memberi konseling pra-nikah dengan baik kepada pasangan yang berbeda suku.
Suatu sumber konflik lain yang tidak digambar pada gb. 5b ialah TUJUAN HIDUP. Perbedaan tujuan hidup yang tajam dapat menimbulkan konflik. Bahkan tujuan hidup yang sama tetapi tidak diselaraskan pun dapat menimbulkan konflik. Misalnya sepasang suami-isteri bintang film mempunyai tujuan yang sama: menjadi tenar. Bagi mereka, tujuan yang sama ini dapat menjadi persaingan yang tajam, apa lagi kalau sang isteri melesat jauh lebih tenar dari suami dan sang suami menjadi minder.
Hal yang mirip dapat terjadi pada sepasang suami-isteri yang sama-sama bekerja dan berusaha memajukan karir, tetapi pendapatan isteri jauh lebih tinggi daripada pendapatan suaminya. Keadaan ini mungkin menyebabkan suami merasa rendah diri dan tidak dibutuhkan lagi, sedangkan isteri tergoda untuk menjadi dominan, merasa lebih dari suaminya, tidak mau tunduk lagi kepadanya, ataupun mempunyai perasaan "tidak membutuhkan" suaminya lagi.
Konflik karena perbedaan tujuan hidup ini tampak pula kalau suami atau isteri lebih mementingkan karirnya daripada keluarganya, lebih mementingkan pelayanan kepada orang lain, gereja dan masyarakat daripada melayani dan mengasihi pasangan dan anak-anak mereka. Mungkin suami mempunyai suatu tujuan untuk menyerahkan diri bagi panggilan hidupnya, misalnya pelayanan sosial, atau pelayanan dalam ladang Tuhan, sedangkan isterinya tidak mempunyai panggilan hidup yang sama, tidak memahami suaminya, atau malahan mempunyai keinginan yang berlawanan.
Seorang dokter yang idealis mempunyai panggilan hidup untuk melayani masyarakat di daerah terpencil dan minus. Ia sangat dihormati oleh orang-orang di desanya. Ia merasa dirinya sangat terpenuhi hidupnya. Tidak demikian dengan isterinya, seorang anak kota, Jakarta, dari keluarga kaya. Ia mempunyai hobi bermain piano dan suka sekali shopping di mal. Ketika sedang berpacaran mereka tenggelam dalam cinta eros. Si gadis bangga dengan calon suaminya walaupun mendekati saat pernikahan mereka, gadis ini mulai merasa cemas dan was-was.
Selama dua, tiga tahun si isteri dapat memaksa dirinya untuk ikut berkorban, tinggal di desa tanpa listrik, piano dan mal. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka tampak banyak konflik. Pada tahun ke empat si isteri merasa dirinya hampir menjadi gila. Ia kemudian memberi ultimatum kepada suaminya: kembali ke kota atau berpisah. Setahun kemudian mereka berpisah, isteri kembali ke kota dan suami tetap di daerah yang terpencil karena ia lebih memilih panggilan hidupnya daripada isterinya.
Dalam kasus seperti ini kita tidak dapat mudah mempersalahkan sang suami atau isteri. Kasus yang serupa sering terjadi pada seorang pendeta yang mempunyai isteri yang tidak dapat mengerti panggilan hidupnya. Konflik seperti ini bukan hanya terjadi pada pendeta yang bertugas di daerah yang gersang dan minus, tetapi juga di kota-kota besar. Isteri yang tidak merasakan "panggilan" sebagai seorang isteri pendeta, tidak akan dapat menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang mempunyai banyak batasan seperti itu. Dalam hal inipun kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak.
Pada pernikahan, ada satu hal lagi yang merupakan sumber konflik luar biasa, yaitu: PERBEDAAN AGAMA. Kalau kita dapat mengukur besar faktor-faktor negatif di atas, perbedaan agama jauh lebih besar daripada faktor negatif lainnya. Banyak agama yang menyadari hal ini sehingga melarang perkawinan campur agama.
Alkitab juga dengan tegas melarang hal ini. Di dalam Perjanjian Lama, Allah sudah memberikan petunjuk tentang hal ini dengan jelas dalam Kel. 34:16; Ul. 7:3, 4; Ezra pasal 10 dan Neh. 13:26, 27;. Tujuan dari larangan ini adalah pencegahan supaya umat Allah tidak menyembah berhala setelah mengambil suami/isteri asing. Kecenderungan untuk menyembah berhala ini sangat besar dalam pernikahan dengan pasangan yang masih menyembah berhala.
Larangan Allah bagi anak-anak-Nya untuk menikah dengan orang yang tidak bertuhankan Kristus seperti dalam Perjanjian Lama masih berlaku sampai sekarang. Di hadapan Allah nilai keselamatan kekal jauh lebih tinggi daripada seluruh isi dunia ini. "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Mat. 16:26). Yang dimaksudkan dengan "seluruh dunia" termasuk seorang suami atau isteri, yang bagaimanapun tampan atau cantiknya, berkedudukan tinggi, kaya, dan "baik,” tetapi menyebabkan kita berpaling dari Kristus. Nyata sekali bahwa keselamatan kita lebih penting dan lebih utama daripada hubungan kita dengan seseorang.
Begitu kuatnya kebenaran ini sehingga Allah dalam firman-Nya mengizinkan perceraian bagi pernikahan yang mengancam keselamatan seseorang. "Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat..." (1 Kor. 7:15).
Kalau suami/isteri yang tidak beriman kepada Kristus memberi ultimatum kepada pasangan yang beriman seperti ini: “Tinggalkan Kristus atau engkau akan kuceraikan, pilih aku atau Kristusmu,” maka yang beriman boleh menerima perceraian itu. Tetapi bila yang tidak beriman mau tetap hidup dengan pasangannya yang beriman, maka yang beriman tidak boleh menceraikan yang tidak beriman. Jadi, perceraian tidak boleh datang dari pihak yang beriman kepada Kristus. Memang kalau seorang dipaksa untuk memilih antara Kristus atau pasangannya, diharapkan Kristus lebih penting baginya daripada apa pun atau siapa pun.
Perlu diingat bahwa I Korintus 7:12-16 menggambarkan situasi sepasang suami-isteri yang pada waktu menikah keduanya belum beriman, tetapi kemudian seorang di antaranya menjadi Kristen. Untuk orang-orang beriman yang belum menikah, berlaku perintah Allah untuk tidak menikah dengan orang yang tidak bertuhankan Kristen seperti dalam II Korintus 6:14,15 dan I Korintus 7:39.
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat dalam antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?"
"Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya."
Sebuah faktor lain yang dapat menjadi faktor negatif dalam pernikahan ialah KEUANGAN. Keadaan keuangan yang selalu kurang dalam keluarga dapat melenyapkan kebahagiaan keluarga. Tentunya tidak adanya uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama keluarga akan sangat mempengaruhi hubungan suami-isteri itu. Mereka mungkin sering merasa cemas, frustrasi, rendah diri, dan menderita dalam kemiskinan yang parah. Jadi, penghasilan keluarga juga banyak menentukan kebahagiaan suatu keluarga.
Penghasilan keluarga ini sangat erat hubungannya dengan pendidikan dan ketrampilan pencari nafkah dalam keluarga itu. Memang secara umum, ada kaitan antara kebahagiaan keluarga dengan pendidikan suami atau isteri dalam keluarga itu. Dari penelitian didapatkan bahwa pendidikan suami-isteri yang tinggi akan menyebabkan kebahagiaan pernikahan yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan suami-isteri dengan pendidikan rendah.
Keadaan yang sebaliknya juga mungkin berlaku dimana kelimpahan uang yang luar biasa dapat menjadi faktor negatif suatu pernikahan. Dengan banyaknya uang, anak-anak dapat menjadi terlalu manja dan memiliki nilai-nilai buruk. Dengan berlimpahnya uang, keinginan untuk berdosa dapat timbul (misalnya hadirnya seorang PIL atau WIL—pria atau wanita idaman lain.)
Kembali kepada gb. 5b, kalau suami/isteri mempunyai faktor-faktor negatif besar seperti itu, dan misalnya kita dapat mengukur faktor-faktor negatif itu sebesar -50, maka dengan keadaan seperti itu, kemungkinan besar mereka tidak akan mempunyai pernikahan yang bahagia. Mereka mungkin akan bercerai, ataupun kalau tidak bercerai secara de jure (secara hukum), akan bercerai secara de facto (secara kenyataan).
Tetapi syukurlah, terutama bagi mereka yang dalam Kristus, karena ada faktor-faktor positif yang dapat mengimbangi faktor-faktor negatif itu. (lihat gb. 5c).

Satu faktor positif yang utama ialah kasih AGAPE. Agape akan banyak sekali menutupi kekurangan-kekurangan yang disebabkan oleh faktor-faktor negatif yang di sebelah kiri. Di samping agape, kasih EROS dan kasih FILIA juga merupakan faktor-faktor positif dalam pernikahan meskipun tidak sebesar agape.
Setelah itu, MENGAMPUNI adalah suatu faktor yang sangat diperlukan dalam pernikahan. Dalam hubungan sehari-hari sebagai suami/isteri akan banyak sekali tampak kelemahan dan kesalahan pasangan kita. Kesalahan dan kelemahan itu akan nyata dalam cara bertindak, berpikir, ataupun sikapnya. Sebaliknya kelemahan dan kesalahan kita juga akan tampak oleh pasangan kita. Setelah mengetahui kesalahan dan kelemahan ini, kita dapat menyimpannya di hati kita sehingga kita menjadi kecewa, kehilangan penghargaan terhadapnya, menjadi pahit dan getir, benci dan mendendamnya.
Kita dapat juga bertindak lain, yaitu mengampuni serta melupakan kelemahan dan kesalahan-kesalahan itu. Dengan demikian kita akan terhindar dari kepahitan dan kegetiran. Dengan mengasihi dan mengampuninya, kita akan dapat menerima kelemahan-kelemahannya sebagaimana adanya.
Memang sukar mempunyai faktor mengampuni ini, tetapi suami/isteri yang memilikinya akan dapat mengatasi banyak problema pernikahan dan tidak memberi kesempatan timbulnya banyak sumber konflik. Banyak pernikahan hancur, atau paling sedikit tidak bahagia, karena tidak adanya faktor ini.
Sering dalam perselisihan, kita mendengar suami/isteri mengungkit-ungkit kembali kesalahan pasangannya yang dilakukan seminggu, sebulan, setahun yang lalu, bahkan kesalahan yang dilakukan waktu mereka masih berpacaran. Sakit hati masa lampau diungkit kembali yang tentu saja akan semakin membakar dan mengobarkan perselisihan antar mereka.
Dalam Matius 18:21-35 Yesus Kristus memerintahkan agar kita mengampuni seseorang bukan saja sekali, tiga kali, atau tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Siapa yang mungkin bersalah kepada kita sampai 70 x 7 x itu? Hampir tidak ada, kecuali pasangan hidup kita dan mungkin anak atau orangtua kita. Kita mendengar seseorang berkata, mungkin dengan bangga, "Saya ampuni suami saya sekali, dua kali, bahkan sampai tiga kali. Sesudah itu, jangan harap saya mengampuninya lagi." Yesus meminta jauh lebih dari tiga kali saja dari orang beriman, bagi warga negara Kerajaan Allah.
Kalau kita bersalah terhadap pasangan kita satu kali seminggu saja--ini sudah sedikit sekali--maka setahun sudah 52 kali dan dalam sepuluh tahun sudah lebih dari 70 x 7. Lalu apakah ia boleh mulai mendendam dan menceraikan kita setelah lebih dari sepuluh tahun menikah? Yesus masih memerintahkan mengampuni lebih dari itu: 70 x 7 x, masih kali lagi, seterusnya, sama seperti Bapa kita di Surga tanpa batas, tak henti-hentinya mengampuni kita.
Faktor positif lain ialah MINTA AMPUN. Sering seorang suami atau ayah merasa bahwa dengan meminta ampun jika ia melakukan suatu kesalahan akan menghilangkan penghargaan isteri dan anak-anaknya terhadap dirinya. Sebab itu ia tidak akan minta ampun meskipun anaknya, isterinya, dirinya, dan bahkan para pembantu di rumah tahu bahwa ia yang bersalah.
Pandangan ini keliru sekali. Ia malah akan kehilangan respek isteri dan anak-anaknya jika ia tidak mau mengaku salah bila ia bersalah dan bersikeras menjalankan kehendaknya. Kalau hal ini terus terjadi, maka bukan saja isteri dan anak-anaknya akan kehilangan penghargaan terhadapnya, mereka malah akan benci kepadanya.
Seorang ayah dalam keadaan lelah pulang dari pekerjaannya mendapatkan putranya yang sulung ribut berkelahi dengan adiknya. Ayah itu langsung memukul si sulung sehingga anak itu menangis dan lari masuk kamarnya. Kemudian dari isterinya ia mendengar bahwa sebenarnya yang bersalah dan yang memulai perselisihan itu adalah si adik.
Apa yang sekarang dilakukan oleh ayah itu? Kalau ia berkata. "Biar, pukulan itu untuk waktu-waktu yang lalu ketika ia nakal dan tidak dihukum," mungkin ia mulai menumbuhkan rasa "tidak adil" dan sakit hati yang lama-lama bisa menjadi benci dalam diri si sulung.
Sebaiknya ia masuk kamar anaknya dan berkata, "Nak, ampuni ayah. Tadi ayah tanpa memeriksa lebih dulu langsung memukul kamu. Kata mama kamu tidak bersalah." Si sulung akan bisa mengampuninya dan rasa hormatnya terhadap ayahnya tidak akan berkurang. Lebih dari itu ia akan belajar bahwa ayahnya bukan Allah yang tidak bisa berbuat salah, tetapi manusia biasa saja. Anak itu akan memasuki suatu tahap penting dalam pendewasaan seseorang: sadar bahwa ayahnya bukan “Allah” yang tidak bisa melakukan kesalahan tetapi ayahnya juga bukan “iblis” yang jahat dan selalu sewenang-wenang.
Karena dalam hubungan suami/isteri kita sering bersalah dan berdosa terhadap pasangan kita, maka kita tidak boleh segan-segan meminta maaf dan ampun kepadanya. Permintaan ampun ini akan banyak meredakan kepahitan, benci, dan dendam.
Faktor positif lain ialah KESETIAAN pada pasangan.
Sebelum menikah, pada masa akan menentukan calon teman hidup kita, kita sering bingung dan bertanya-tanya melihat banyaknya pilihan yang ada. Kalau kita seorang pria, mungkin kita berpikir, "Mana pilihan yang tepat? Nita cantik dan anggun, Sinta sexy dan populer, Maria rasanya sangat rohani dan aktif di gereja. Mana yang baik buat saya?" Kemudian kita berpikir, "Nanti kalau saya sudah menikah, problema godaan ini pasti tidak akan ada lagi. Setelah menikah, wanita-wanita lain tidak akan menarik lagi karena saya akan sangat mengasihi isteri saya."
Tetapi kenyataannya tidak demikian, karena setelah menikah wanita-wanita yang tadinya menarik itu akan tetap menarik: Nita tetap anggun dan cantik, Sinta tetap sexy, dan Maria tetap rohani. Meskipun kita mencintai pasangan kita, godaan-godaan itu tetap ada. Godaan ini akan lebih parah lagi kalau ada perselisihan yang mendalam dan kekecewaan terhadap pasangan. Timbul pikiran-pikiran: "Apakah saya tidak salah pilih? Kalau saya menikah dengan Maria yang sabar itu, mungkin tidak seperti ini. Apa waktu menikah dulu saya ada dalam kehendak Tuhan?"
Bila godaan akan tetap ada, apa yang menyebabkan seorang suami tetap pulang setiap petang kepada isterinya? Jawabannya ialah: Kesetiaan. Meskipun di kantornya ia dikelilingi oleh wanita-wanita muda yang cantik, apa yang menyebabkannya tetap setia kepada isterinya yang sudah tidak muda itu? Jawabannya ialah: Komitmennya untuk setia. Ini adalah unsur ketetapan hati dan ketetapan kehendak. Kesetiaan suami/isteri kepada pasangannya sangat membantu kestabilan suatu pernikahan.
Ada suatu pepatah dalam bahasa Inggris yang mengatakan "Grass is greener on the other side of the fence." (Rumput dibalik pagar tampaknya lebih hijau daripada rumput di halaman kita, lihat buku “Mengatasi Masalah Hidup,” ps. VII). Memang apa yang bukan milik kita kadang-kadang kelihatannya lebih menarik, lebih indah, lebih cantik, dan lebih memuaskan daripada apa yang kita miliki. Setelah menikah, ada pria dan wanita yang kelihatannya lebih menarik daripada pasangan kita. Membanding dengan orang lain, kadang-kadang kita merasa bahwa pasangan kita kalah jauh dengan mereka, terutama kalau kita sedang berada dalam masalah yang lama tak terselesaikan. Kita akan tergoda untuk berpikir, "Betapa nikmatnya kalau saya memiliki Sinta, sayang tidak."
Banyak orang yang kemudian mewujudkan pikiran itu. Tetapi banyak dari mereka yang kemudian merasa kecewa karena setelah apa yang bukan miliknya itu menjadi miliknya, ternyata kemudian tampak tidak menarik lagi. Setelah "rumput" di balik pagar halaman tetangga itu masuk dalam halaman kita, "rumput" itu kelihatannya tidak hijau segar lagi. Apa yang dulu menggiurkan, ternyata setelah didapat sekarang, tidak menggiurkan lagi. Malah karena sekarang harus membiayai dua rumah tangga, isteri muda yang ternyata banyak permintaan itu, kelihatan jelek dan menjadi beban seperti lintah yang telah melekat.
Sebagai pengikut-pengikut Kristus, tentunya kita harus melawan godaan-godaan ini. Usaha ini akan lebih mudah dilakukan kalau didasarkan iman kepada firman Allah dan bukan hanya ketetapan hati belaka. Pada permulaan pasal ini kita melihat bahwa Allah tidak memberikan kepada kita pasangan yang cantik, yang sabar, yang dewasa dalam iman, dan sebagainya, tetapi yang baik dan tepat bagi kita.
Roma 8:28 memberi keyakinan kepada kita bahwa bagi kita yang sudah menikah, Allah bekerja untuk kebaikan kita ketika kita dulu menikah. Peristiwa itu bukan suatu kebetulan, bukan suatu kesalahan, dan bukan suatu yang luput dari pengetahuan Allah. Allah yang mahatahu itu sudah mengetahuinya berjuta-juta tahun sebelumnya. Soalnya sekarang ialah, apakah kita membiarkan godaan-godaan menghancurkan kita, atau, apakah janji nikah dan komitmen kita waktu pernikahan kita diberkati tetap berlaku?
Pertanyaan kunci yang menentukan sikap, tingkah laku dan kata-kata kita ialah bagaimana pernikahan kita dapat menjadi kebaikan bagi kita dan pasangan kita, menjadikan kita dari hari ke hari semakin dewasa di dalam Kristus? Bagaimana seharusnya sikap kita menghadapi konflik dan gejolak pernikahan sehingga godaan-godaan itu tidak menghancurkan kita, tetapi malah membuat kita menjadi lebih sabar, lemah lembut, mengasihi, baik dan pandai menguasai diri?
Selanjutnya, DAMAI sejahtera dan KESABARAN juga merupakan unsur positif. Kalau suami-isteri itu mempunyai damai sejahtera yang ada dalam Kristus sendiri dan yang sudah dijanjikannya bagi anak-anak-Nya, maka pernikahan mereka tidak akan mudah goyah.
Yoh. 14:27 "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu, Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu"
Bila damai sejahtera yang ada dalam Kristus hadir dalam diri sepasang suami-isteri, mereka tidak akan mudah merasa frustrasi atau cemas menghadapi segala peristiwa dan ancaman dalam hidup. Mereka seperti air yang tenang dan tak mudah bergejolak. Mereka tahan menghadapi hantaman-hantaman dalam hidup dan tidak mudah panik. Kesabaran adalah sifat yang penting pula yang berhubungan dengan damai sejahtera.
Faktor positif lain dalam pernikahan ialah KELEMAH-LEMBUTAN. Masing-masing tidak kasar terhadap pasangannya. Mereka tidak menunjukkan kekerasan fisik dan ketajaman kata-kata yang menyakitkan, tetapi kesabaran dan kelemah-lembutan. Biasanya bila bertengkar, kita berusaha memilih kata-kata yang dapat menghantam setelak-telaknya dan menyebabkan rasa sakit yang sedalam-dalamnya. Setelah menikah bertahun-tahun, kita tahu kelemahan-kelemahan pasangan kita sehingga pilihan kata-kata kita bisa kejam sekali. Suami/isteri yang mempunyai kelemah-lembutan tidak akan memilih kata-kata yang menyakitkan, melukai, menghina, meremehkan, apalagi yang membunuh harga diri pasangannya.
Untuk ini perlu juga faktor positif PENGUASAAN DIRI. Suami/isteri dapat menguasai atau mengendalikan dirinya, baik dalam ucapan, perbuatan, pikiran, maupun keinginannya. Tangan tidak suka melayang untuk menyakiti, mulut dapat dikuasai, dan keinginan-keinginan dapat dikendalikan.
Bila sebelum menikah, misalnya, kita suka sekali akan sepeda motor dan setiap tahun berusaha menukarkan sepeda motor lama dengan model terbaru, maka setelah menikah, kita mungkin tidak selalu dapat menuruti keinginan itu. Suatu saat kita mungkin mengetahui bahwa atap rumah kita harus diganti seluruhnya karena sudah lapuk dan dimakan rayap. Kalau kita memperbaiki atap, kita tidak dapat mempunyai sepeda motor yang baru tahun ini. Kalau menukarkan sepeda motor, atap tidak dapat diganti. Mana yang kita pilih? Sepeda motor akan terlihat oleh banyak orang dan membanggakan sedangkan atap yang diganti tidak akan kelihatan indahnya. Bila kita sudah dewasa dan dapat menguasai diri kita, mungkin kita akan memilih atap yang harus diperbaiki.
Penguasaan diri ini juga perlu untuk hal-hal yang tampaknya remeh dan kecil, seperti pulang tepat pada waktunya, menahan kritik atau memberi pujian, menahan emosi, menggunakan uang serta waktu secara dewasa, dan lain-lain.
Kalau faktor-faktor positif dalam contoh di atas kita kumpulkan dan kalau kita dapat menilainya, misalnya sebanyak +130 sedangkan jumlah negatifnya sebanyak -50 (lihat gb. 5c), maka masih ada kelebihan +80. Dengan demikian letak penyesuaian suami-isteri itu masih jauh di atas garis nol, artinya mereka berbahagia dalam pernikahan mereka. Meskipun ada faktor-faktor negatif dalam hubungan mereka--dan dalam semua pernikahan pasti ada--faktor-faktor positif yang ada cukup besar untuk dapat mengatasi konflik-konflik karena beberapa faktor negatif di atas.
KESEMBILAN BUAH ROH
Jika kita melihat kembali faktor-faktor positif tadi: agape, kesetiaan, damai sejahtera, kesabaran, kelemah-lembutan, dan penguasaan diri, kita teringat sembilan buah Roh seperti tertulis dalam Galatia 5:22,23: "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri." Memang buah Roh inilah yang dapat mengatasi konflik dalam hubungan dengan sesama kita, tetapi bagaimana kita memperolehnya?
Dalam Yohanes 15:1-8 Yesus memberi perumpamaan Pokok Anggur yang Benar. Di situ diajarkan bahwa hanya jikalau kita, sebagai ranting-ranting-Nya, melekat pada Kristus, pokok anggur yang benar itu, maka kita dapat berbuah. Jika tidak, kita akan layu, kering, dan mandul. Memang hanya kalau kita ada dalam persekutuan dengan Kristus, kita akan mengeluarkan ke 9 buah Roh itu. Jika kita berada di luar Kristus, kesembilan buah Roh itu juga tidak ada di dalam kita.
Mungkin kita sudah pernah mengalami sendiri, adanya buah Roh itu jika kita mempunyai persekutuan yang erat dengan Kristus. Jika kita baru saja keluar dari kamar setelah suatu persekutuan yang indah dengan Allah di mana kita berkomunikasi dengan-Nya dalam doa dan firman-Nya lalu kita melihat pasangan kita, maka kita melihatnya dengan kasih, kita mudah mengampuni kesalahannya, mudah menerimanya, dan serasa ingin memeluknya. Semuanya terasa beres karena hati kita mempunyai damai sejahtera Kristus. Bila anak-anak kita sedang ramai bermain-main di lantai, kita ingin ikut bermain-main juga dengan mereka di lantai.
Tetapi, jika kita sudah lama tidak bersekutu dengan Allah, tidak ke gereja, tidak membaca firman Tuhan, tidak berdoa, tidak bersaat teduh; kemudian pada suatu siang kita pulang dari kantor dalam keadaan lelah dan marah karena atasan marah-marah, maka kita frustrasi dan mudah merasa iritasi. Setibanya di rumah, isteri yang salah sedikit saja akan kita bentak, kucing yang menggesek-gesekkan diri di kaki kita akan kita tendang, dan anak-anak kita yang ramai bermain di lantai akan kita hardik. Sebenarnya suasananya sama, anak-anak itu sama ramainya, tetapi hati kita yang berbeda; yang satu penuh dengan buah Roh karena ada persekutuan dengan Kristus, yang lain penuh dengan kemarahan, dendam, frustrasi, dan emosi.
Faktor-faktor positif yang disebut ke sembilan buah Roh hanya ada dalam Kristus. Tanpa adanya buah Roh dan faktor mengampuni serta minta ampun dalam Kristus, maka faktor positif yang ada pada gb. 5c hanyalah Eros dan Filia. Keduaya tidak cukup untuk mengatasi faktor-faktor negatif yang ada. Bahkan eros mungkin lenyap ditelan konflik-konflik hidup dan digantikan dengan kebencian. Contohnya adalah apa yang disebut "pernikahan Hollywood.”
Suatu saat mungkin kita membaca dalam suatu majalah film tentang aktris A dan aktor B yang kelihatannya begitu mesra datang bersama-sama ke pesta-pesta. Mulai timbul desas-desus tentang hubungan mereka, apakah mereka akan menikah? Benar juga, enam bulan kemudian mereka menikah dengan pesta besar-besaran. Banyak tamu bintang film tenar yang diundang. Surat-surat kabar menulis tentang pasangan yang serasi ini. Aktris yang cantik dan tenar dengan aktor yang tampan serta sukses. Pernikahan itu dipuji sebagai "pernikahan paling ideal dalam dasa warsa ini."
Tetapi setahun kemudian kita membaca bahwa si aktris, berlibur di Bahama sedang si aktor berlibur di Roma. Kita merasa heran, mengapa mereka seakan-akan memisahkan diri sejauh-jauhnya untuk berlibur? Enam bulan kemudian kita membaca bahwa mereka sudah menghadap pengadilan dan perceraian mereka sudah disahkan.
Mengapa terjadi kegagalan ini? Mereka kelihatannya begitu mesra dan cocok, tetapi mengapa pernikahan mereka tidak langgeng? Dulu mereka tampak romantis, eros tampak tinggi menggebu-gebu. Tetapi apakah eros yang tidak stabil itu dapat mengatasi segala macam konflik hidup ini?" Banyak memang pernikahan seperti ini, yang hanya didasarkan pada eros, yang akhirnya kandas. Pernikahan ini akan langgeng kalau di tengah-tengah konflik hidup yang tajam, suami-isteri itu sadar akan perlunya faktor-faktor positif lain selain eros untuk mengatasi konflik hidup.
Sayangnya ada orang yang sudah kawin cerai beberapa kali dan masih belum memahami hal itu. Setiap kali mereka akan menikah lagi, mereka berkata, "Ini dia. Dia adalah laki-laki/wanita idealku, idamanku. Dialah yang kucari-cari selama ini," dan tak lama setelah menikah mereka gagal lagi.
Di sini jelas bahwa memang masuk akal mengapa Allah memberikan syarat pertama bagi anak-anak-Nya yang akan memilih teman hidupnya: hanya dengan orang-orang yang beriman kepada Kristus. Alasannya ialah supaya iman kita tidak hanya tetap terpelihara dan tidak mendapat tantangan dari orang yang paling penting dalam hidup kita, tetapi juga demi kebahagiaan pernikahan kita. Justru karena Allah mengasihi kita umat-Nya, Ia membatasi pilihan teman hidup kita. Ia menghendaki kita berbahagia dan mempunyai hidup yang dipuaskan.
Orang-orang yang secara tetap mempunyai banyak faktor positif seperti diuraikan di atas sering juga disebut sebagai orang-orang yang sudah dewasa. Tentunya di sini bukan dewasa secara umur, tetapi dewasa dalam iman dan kepribadian.
Saya mengakui bahwa faktor-faktor positif di atas juga bisa diperoleh melalui disiplin pribadi, melatih pengendalian diri sehingga menyerupai apa yang disebut buah Roh Kudus. Tetapi sebetulnya hasilnya berbeda. Yang satu adalah buatan sendiri sedang yang lain adalah anugerah dan pemberian Allah. Yang satu adalah buah kedagingan, yang lain buah Roh Kudus. Yesus membedakan hal ini waktu Ia berkata, ”... apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu ..." (Yoh. 14:27). Buah pemberian dunia selalu ada ulatnya.
Dalam ceramah-ceramah kepada kelompok-kelompok pemuda dan remaja tentang memilih teman hidup, sering saya menekankan pentingnya syarat kedua ini yaitu: pilihlah pria/wanita yang sudah dewasa iman dan kepribadiannya. Kemungkinan kita akan berbahagia sangat lebih besar kalau menikah dengan seorang yang dewasa daripada dengan seorang yang masih kekanak-kanakan.
Mari kita berandai-andai: misalkan kelak dapat ditemukan sebuah alat kecil seperti kalkulator yang bila kita arahkan pada seseorang dan kita tekan salah satu tombolnya, alat ini akan menunjukkan sebuah angka yang menggambarkan tingkat kedewasaan kepribadian orang tersebut. Dengan alat yang dapat mengukur kedewasaan seorang seperti itu, sebaiknya bila kita ingin memilih teman hidup, kita memilih seorang yang angka kedewasaannya tinggi.
Misalnya bila kita arahkan alat itu pada seorang pemuda, ternyata ia memiliki angka kedewasaan yang tinggi: +80 (skala antara –100 dan +100, antara sangat tidak dewasa dan sangat dewasa). Pemuda ini seorang yang dewasa. Ia berbakti dan aktif dalam sebuah jemaat di komisi pemudanya dengan anggota 60 orang. Seandainya dalam komisi ini ada 20 pria dan 20 wanita yang aktif dalam pelayanan.
Untuk menentukan teman hidupnya pemuda itu ditutup matanya dengan saputangan, kemudian ke 20 wanita itu diatur berdiri melingkarinya. Setelah itu pemuda ini diputar. Kemudian secara acak, dengan mata masih tertutup rapat, ia "memilih"—dengan menjamah--seorang di antara ke 20 wanita itu dan mereka dinikahkan. Kemungkinan besar mereka akan berbahagia; kecuali kalau wanita itu sangat kekanak-kanakan dan memiliki kepribadian bermasalah. Pemuda yang dewasa itu akan dapat berbahagia dengan sebagian besar dari ke 20 wanita itu.
Sebaliknya bila pemuda itu tidak dewasa, misalnya hanya memiliki faktor positif +10, maka untuk sedikit berbahagia saja ia harus dipilihkan seorang yang paling dewasa dari ke 20 wanita itu. Apalagi bila nilainya -50: ia seorang pemabuk dan penjudi, atau ia seorang tanpa nilai moral yang baik, atau seorang yang suka “main perempuan,” atau seorang morfinis, dan sebagainya, maka akibatnya lebih parah lagi. Memang tidak akan berbahagia menikah dengan orang-orang semacam ini.
Sering dalam ceramah-ceramah kepada para remaja dan pemuda saya mengatakan demikian: ada orang-orang yang sebaiknya tidak menikah sebab bila mereka menikah, mereka akan menyebabkan penderitaan yang dalam pada pasangannya. Para pemuda/remaja itu kemudian bertanya:
“Apakah mereka kemudian tidak akan menikah?”
“Kebanyakan dari mereka akan menikah. Hanya saja jangan dengan anda. Amit-amit menikah dengan orang seperti itu”
Celakalah pria dan wanita yang terperangkap dalam suatu pernikahan dengan mereka yang nilai minusnya besar.
Sayangnya belum ada alat semacam kalkulator atau komputer kecil seperti itu. Bagaimana kalau begitu kita dapat melihat kedewasaan seseorang? Dalam buku “Berpacaran dan Memilih Teman Hidup” saya menganjurkan para muda/i membuka mata mereka lebar-lebar ketika berkenalan dan berpacaran. Jangan malah "buta,” seperti dalam “cinta itu buta.”
Sudah ada beberapa tes psikologi yang dapat mengukur bermacam aspek kepribadian seorang, seperti: kemungkinan masalah dalam kepribadian, pengenalan seorang akan emosinya, keuletan seorang menghadapi tantangan hidup, optimis-pesimis seorang, kedewasaannya, kemungkinan penyesuaian dengan orang pilihannya, dll. Test-test ini sudah dipakai dan sebaiknya dianjurkan oleh beberapa konselor dalam konseling pra-nikah.

TIGA MASA DALAM PERNIKAHAN

Norman Wright dan M. Inmon (1978), dalam "Preparing Youth for Dating, Courtship and Marriage," mengatakan bahwa ada tiga masa dalam pernikahan, yaitu Masa Bulan Madu, Masa Konflik, dan masa Dewasa

Masa Bulan Madu
Masa Konflik
a. Fase Dilusi
b. Fase Putus Asa
Masa Dewasa

1. MASA BULAN MADU
Pada masa ini suami-isteri itu baru menikah dan digambarkan sebagai ada di surga ketujuh. Mereka belum turun ke dunia, belum melihat realita dan belum berhadapan dengan segala masalah pernikahan. Mereka belum sungguh-sungguh bergumul dengan tanggung jawab, usaha ke arah kedewasaan dan hubungan yang langgeng. Kalau mereka harus menceritakan pernikahan mereka, mereka menggunakan kata-kata seperti: sempurna, kita cocok sekali, jodoh dari Allah, surga dunia, dan sebagainya. Mereka memang masih terpukau oleh cinta berahi itu (eros), dan masing-masing mengidolakan pasangannya.
Masa ini relatif singkat dibandingkan kedua masa berikutnya. Ini bisa berlangsung setahun, enam bulan atau bisa singkat sekali, tiga bulan, sebulan, dua minggu. Bahkan tiga hari setelah pulang dari perjalanan berbulan madu ada yang mulai sadar bahwa kenyataan yang ada berbeda dengan fantasi masa remaja mereka. Waktu itu mereka memasuki masa berikutnya: masa Konflik.

2. MASA KONFLIK
Masa ini dibagi dalam dua fase: Dilusi dan Putus Asa.
a. Fase Dilusi:
Pada fase ini mereka mulai sadar bahwa kenyataan hidup lain dengan yang ada dalam dongeng anak-anak. Pasangan yang diimpikan dulu sebelum menikah ternyata tidak seperti yang diharap-harapkan. Mereka merasa kecewa. Mereka merasa serba salah, frustrasi, dan kecewa yang tidak kunjung hilang. (“Cilaka, saya tidak tahu suami saya ternyata suka main pukul dan suka godain cewek.” “Wah, ternyata isteri saya cerewet sekali, judes, pemarah, dan cemburunya berlebihan.”)
Pada fase ini mereka berusaha keras untuk mendapatkan keinginan mereka. Mereka berusaha mengubah dan membentuk pasangannya agar menjadi seperti yang mereka kehendaki, seperti impian mereka.
Tetapi cepat atau lambat mereka akan sadar bahwa tidak mudah mengubah pasangan mereka. Mereka sadar bahwa tidak akan ada seorang peri dengan tongkat wasiatnya yang dapat membantu mereka menyulap dan mengubah pasangannya serta melenyapkan semua persoalan dalam sekejap mata. Sebaliknya, mereka sendiri tidak mau dan tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan pasangan mereka sehingga pasangan itu juga akan kecewa. Akhirnya mereka mungkin masuk ke fase berikutnya (Putus Asa), atau sadar dan masuk ke masa berikutnya (masa Dewasa).

b. Fase Putus Asa
Mereka mulai merasa putus asa karena tidak mendapatkan apa yang mereka idam-idamkan. Suami tidak akan pernah menjadi si pangeran tampan berkuda putih dan isteri tidak akan pernah menjadi secantik, semurni, atau sesabar Cinderella. Mereka sadar dan tahu bahwa pasangan mereka tidak akan berubah meskipun telah dirayu, diminta, ditangisi, atau dihina, diancam, diomeli, dicereweti, dipaksa, dan dikerasi ataupun diacuhkan dan didiamkan. Tambah diperlakukan demikian, pasangannya terasa tambah melawan, menentang dan keras.
Mereka mulai merasa putus asa dan timbullah kebencian. Mereka kehilangan rasa hormat dan mulai menghina. Mereka merasa terjebak, hidup dalam neraka di dunia, pahit, tanpa harapan secara mendalam. Mereka mungkin memikirkan perceraian meskipun hal ini membuat mereka takut; atau bahkan sudah memulai prosedur perceraian sampai benar-benar bercerai.
Ada pula yang dalam keputus-asaannya berpikir sebagai seorang martir. "Memangnya ini nasib jelek saya, ini salib saya, tetapi katanya tidak boleh cerai. Ya udah, saya akan menanggung ini seumur hidup"--tetapi sementara itu ia menyimpan kebencian dalam atau tetap bertengkar terus menerus. Sebaliknya, mereka juga bisa sadar dan memasuki masa berikutnya: masa dewasa.
Masa konflik ini bisa singkat sekali--tiga atau enam bulan ataupun setahun saja--dan karena kedua-duanya dewasa atau memiliki potensi menjadi dewasa, mereka langsung memasuki masa berikutnya. Kalau terjadi demikian, mungkin pasangan suami-isteri itu tidak sadar akan adanya masa konflik dalam pernikahan mereka (“Kami rasanya selalu berbahagia, tidak pernah konflik.”).
Tetapi masa konflik ini juga bisa lama--lima atau sepuluh tahun. Dalam situasi seperti ini seorang konselor perlu menyadarkan mereka akan ilusi mereka dan mengarahkan mereka ke kedewasaan.
Masa konflik ini juga bisa dibawa sampai akhir pernikahan itu, yaitu sampai mereka bercerai atau salah seorang meninggal. Ada pasangan-pasangan tua, kakek-nenek, yang tidak dapat hidup bersama meskipun mereka secara hukum belum bercerai. Mereka harus hidup terpisah karena kalau bertemu mereka pasti akan segera bertengkar, bahkan untuk hal-hal sepele dan rasanya tidak masuk akal.
Seorang nenek tinggal bersama cucunya di Surabaya sedangkan suaminya tinggal di Denpasar, Bali bersama cucu yang lain. Pada suatu saat ada pernikahan salah seorang cucu mereka di Surabaya. Si kakek dibawa ke Surabaya dan tinggal bersama lagi dengan isterinya. Satu bulan setelah segala upacara dan perayaan selesai, si nenek yang kemudian pindah dan tinggal di Denpasar.
Ketika salah seorang cucu ditanya mengapa kakek dan nenek itu berpisah lagi, cucu itu malu-malu bercerita: Pada suatu hari terjadi pertengkaran hebat antara kakek dan nenek itu. Nenek itu mengejar suaminya dengan golok. Setelah dilerai, mereka dipisahkan lagi. Ternyata si nenek mencemburui suaminya yang rambutnya sudah semuanya putih “bermain gila” dengan pembantu di rumah.
Beberapa bulan kemudian terdengar bahwa si nenek telah meninggal di Bali.
Tampak pada contoh di atas sepasang suami isteri yang setelah menikah memasuki masa Bulan Madu tetapi kemudian mereka memasuki masa Konflik. Mereka sempat memiliki beberapa anak tetapi tidak pernah sesungguhnya keluar dari masa Konflik itu sampai mereka mati.

3. MASA DEWASA
Ini adalah masa yang menjadi tujuan pernikahan. Mereka dapat saling menerima pasangan mereka, meskipun tahu sedalam-dalamnya semua kelebihan dan kekurangan pasangannya. Mereka bahkan mengasihi karena melihat kekurangan-kekurangan itu juga. Mereka seakan-akan bertumbuh bersama dan bergandengan tangan menuju ke kedewasaan. Mereka rela berusaha keras untuk pertumbuhan masing-masing. Rela, bahkan bersuka-cita menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk kebahagiaan dan pertumbuhan pasangannya. Mereka merasakan kasih yang jauh lebih dalam daripada kasih bulan madu yang mereka anggap sebagai "cinta monyet.”
Mereka merasa tenang dan tenteram berdampingan dalam pernikahan. Mereka merasa aman dan tidak perlu bersandiwara. Mereka merasa bebas sebagaimana adanya karena diterima oleh pasangannya. Ada keyakinan kuat seperti ini: "Kami bersama-sama akan berhasil. Aku butuh dia dan aku dibutuhkannya. Aku mencintai dan aku dicintai." Hidup ini indah. Masa ini bisa dibawa terus sampai mereka tua dan meninggal.
Gambaran mereka adalah sepasang kakek-nenek yang duduk di serambi depan di kursi goyang mereka masing-masing sambil berpegangan tangan. Bila ada remaja-remaja yang lewat, mereka mungkin tertawa, “Lihat kakek-nenek porno itu. Udah tua dan keriput masa masih cinta. Cinta itu milik kami, anak muda.”
Bila kakek-nenek itu mendengar kata-kata itu, mungkin mereka berkata dalam hati, “Yah, itu sih cinta remaja, cinta yang belum di tes, cinta yang belum tahan menghadapi rumah yang terbakar, menghadapi di PHK, menghadapi kebangkrutan, menghadapi tugas berat membesarkan dan membimbing anak-anak hingga berhasil. Memang itu cinta indah tetapi belum tahan banting.”
Kita perlu mengetahui adanya masa-masa ini, supaya kita yang akan atau baru menikah tidak terkejut atau putus asa bila suatu saat memasuki masa konflik setelah masa bulan madu berakhir. Konflik yang kita alami adalah hal biasa, tidak unik, aneh, dan pernikahan kita bukan satu-satunya yang mengalami konflik dan masalah berat. Pengalaman pahit yang kita alami tidaklah aneh karena pernikahan-pernikahan lain juga mengalami hal yang serupa.
Dengan mengetahui adanya masa dewasa, timbullah pengharapan, karena ada suatu tujuan yang harus dicapai. Pernikahan-pernikahan yang bahagia, suami-isteri yang harus saling menyesuaikan diri dan ternyata mampu melakukannya, sudah ada sejak zaman purba dan akan tetap ada sampai milenium ke empat pun (bila Kristus belum datang kembali). Mereka selalu berinteraksi secara dinamis ke arah keserasian, penyesuaian dan kedewasaan.
Dengan memahami ketiga masa ini, keinginan untuk setiap hari bertumbuh dalam kedewasaan pun dapat dibangkitkan, dan kemauan untuk membayar harganya dilaksanakan--dengan tenaga, waktu, uang, perhatian.
Mengetahui hal ini kita dapat menilai dan mengoreksi pernikahan kita sendiri. Apakah kita masih terjebak dalam masa konflik atau sudah memasuki masa dewasa? Bila masih dalam masa konflik, sudah berapa lama kita berada dalam masa ini? Berapa lama lagi kita ingin tinggal dalam masa konflik ini?
Sebaliknya bila kita sudah dalam masa dewasa, apakah kita akan mundur lagi ke masa konflik karena kita melupakan faktor-faktor positif dalam penyesuaian pernikahan? Memang banyak pernikahan yang bolak-balik antara masa dewasa dan masa konflik. Setelah mendengar suatu ceramah, atau membaca suatu buku pernikahan, suami-isteri itu bertekad memperbaiki hubungan mereka. Mereka berhasil selama beberapa bulan tetapi setelah itu kembali jatuh ke dalam konflik yang mereka biarkan tidak terselesaikan dengan membolehkan benci, amarah, cemburu dan emosi negatif lainnya untuk menguasai hubungan mereka lagi.
Kemudian masing-masing pasangan perlu bertanya: berapa banyak waktu dan usaha yang rela saya korbankan untuk pertumbuhan pasangan saya dan untuk pertumbuhan diri saya sendiri melalui persekutuan dengan Kristus?
Bagi pembaca buku ini seharusnya sudah jelas bahwa kunci kebahagiaan dalam pernikahan Kristen ialah kerja dan usaha keras dalam Kristus. Jadi, kebahagiaan bukan tergantung pada jalannya bintang-bintang atau nasib dan "takdir," shio, she atau tanggal lahir yang di luar pilihan dan kehendak kita. Untuk mengasihi, mengampuni, menguasai diri, dan sebagainya kita harus mempunyai tekad dalam Kristus untuk melakukan hal-hal yang positif itu. Dengan demikian konsep yang kita bawa dari masa kanak-kanak, yang didapat dari dongeng penuh fantasi--bahwa setelah sang pangeran tampan bertemu dengan si gadis suci, keduanya akan hidup berbahagia selamanya--harus hilang.
Mungkin mereka yang masih suka akan fantasi tidak suka mendengar hal yang tidak romantis ini. Namun mereka yang dewasa dan hidup dalam kenyataan malah akan senang karena ada harapan untuk kebahagiaan. Mereka tahu bahwa kebahagiaan tidak tergantung dari faktor-faktor lain di luar kita, tetapi pada kemauan dan usaha kita dalam Kristus yang ditopang oleh Roh Kudus.

Tidak ada komentar: